View Full Version
Rabu, 09 Dec 2020

Ulama, Bukan Kaki Tangan Penguasa

 

Oleh: Wenny Suhartati, S.Si

MUI semakin moderat. Setidaknya itulah yang tergambar dari hasil kepengurusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2020-2025 yang resmi diumumkan pada Rabu (26/11) malam. Munculnya nama Miftachul Akhyar sebagai Ketua Umum MUI periode 2020-2025 dan Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin yang mengemban jabatan sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI, semakin menunjukkan dugaan kuat dominasidan kekuatan Ma’ruf Amin di dalam tubuh MUI. Selain itu, nampak kentara sekali campur tangan pemerintah di payung besar para ulama Indonesia tersebut.

Dari susunan kepengurusan yang dibuka ke publik, nama Din Syamsudin hilang. Raib juga nama mantan bendahara Yusuf Muhammad Martak, mantan wasekjen Tengku Zulkarnain, dan mantan sekretaris Wantim Bachtiar Nasir. Keempat ulama ini dikenal sebagai tokoh yang keras mengkritik pemerintah. Din Syamsudin yang aktif di Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), dan diketahui juga, tiga nama terakhir merupakan pentolan Aksi 212 (CNN Indonesia, 27/11/2020).

Di samping itu, gagasan Islam moderat dalam tubuh MUI diperkuat juga dari pendapat Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily, yang memiliki ruang lingkup tugas bidang keagamaan. Beliau  menyatakan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan organisasi politik. Dan MUI merupakan tempat ormas-ormas Islam berhimpun tanpa tujuan politik tertentu. Ace berharap kepengurusan yang baru bisa mengedepankan washatiyatul Islam atau Islam moderat. Islam yang rahmah dan ramah, bukan yang marah.

Gagasan Islam moderat ini sangat bahaya untuk umat Islam itu sendiri. Kenapa? Karena Islam moderat akan mengabaikan sebagian dari ajaran Islam yang bersifat qath’i, baik dari sisi dalil dan sumbernya. Seperti misal kewajiban berhukum dengan hukum syariah (QS. Al Maidah:48) dan kewajiban menerapkan Islam secara kaffah (QS. Al Baqarah:208).

Selain itu, tujuan dari Islam moderat tidak lain adalah agar umat Islam meragukan dan menjauhkan diri dari pemahaman Islam yang benar. Sehingga pada akhirnya nilai-nilai dan praktik Islam khususnya yang berhubungan dengan politik Islam dan berbagai hukum-hukum Islam lainnya dapat dieliminasi dari umat Islam dan diganti dengan pemikiran dan budaya barat.

Kenyataan seperti ini sebenarnya bukanlah hal yang asing di dalam sistem demokrasi yang diterapkan saat ini. Sebuah sistem yang dibangun diatas asas sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Agama hanya dipakai dalam urusan privat, dalam ranah ibadah ruhiyyah antara manusia dengan Allah semata, sedang untuk mengatur kehidupannya, manusialah yang membuat aturan sendiri.

Akibat dari penerapan sistem kapitalisme ini munculah gaya hidup hedonisme (materi sebagai standar hidup) dan liberalisme (kebebasan beragama, berbicara, berkehendak dan bersikap). Dan isme-isme inilah yang mempengaruhi pemahaman dan pola sikap dari seluruh individu termasuk ulama didalamnya. Banyak ulama ikut terbawa arus dalam gaya hidup, menjadi rusak dan segala tindakannya tidak lagi berdasar untuk mencari ridho Allah dan tidak lagi berjuang demi menegakkan agama Allah, tetapi hanya semata untuk kepentingan duniawi semata.

Rusaknya ulama pernah dikritik oleh Imam Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin, “Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah lah tempat meminta segala hal.” Ulama yang sudah mementingkan dunianya ini, atau ulama yang rusak ini akan mudah ‘dibeli’ oleh para penguasa kapitalis untuk kepentingan mereka. Ada ulama yang dijadikan corong penguasa, jadi alat partai politik untuk mengejar kekuasaan, bahkan ada ulama yang dibayar untuk melegitimasi aturan yang menguntungkan penguasa.

Pertanyaannya sekarang bagaimanakah ulama yang benar menurut islam itu?.Ulama adalah khairul julasa’ (sebaik-baik teman bergaul). Sebaik-baik teman bergaul adalah yang pandangannya mengingatkan kepada Allah, perkataannya menambah ilmu dan perilakunya mengingatkan kehidupan akhirat. Secara bahasa ulama berarti orang-orang yang berilmu, dan menurut definisi Al-Qur’an, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di kalangan hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”. (QS Fathir:28). Rasulullah di dalam hadist juga menyatakan “Ulama adalah pewaris para Nabi (waratsatul anbiyaa’)  (HR At-Tarmidzi dan Abu Daud).

Artinya ulama sebagai cahaya penerang bagi umat, memberi petunjuk kepada umat dengan aturan islam, menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar dan menunjukkan kebenaran serta kebatilan sesuai dengan hukum Allah. Sedangkan kedudukan ulama terhadap penguasa adalah mengoreksi dan meluruskan kebijakan penguasa yang zalim yang  bertentangan dengan aturan Allah. Peran ulamalah untuk mencerdaskan umat tentang ber-islam secara kaffah. Karena islam adalah agama yang tidak hanya mengatur masalah ibadah ruhiyyah semata, tapi mengatur juga tentang tatanan bermasyarakat dan bernegara.

Pada akhirnya peran ulama yang hanif, ulama yang hanya mengharap ridho Allah semata,  seperti point di atas itulah yang sangat kita harapkan pada saat sekarang ini. Memperbaiki kondisi umat yang sudah dirusak oleh sistem kapitalisme. Sehingga ulama bisa mencerdaskan umat, tidak lagi dapat ‘dibeli’ oleh penguasa dan dapat membawa umat menuju arah kebangkitan islam yang hakiki. Wallahu ‘alam bishowab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version