View Full Version
Selasa, 06 Jul 2021

Acakadul Pencairan Insentif Nakes

 

Oleh:

Fita Rahmania, S. Keb., Bd.

 

DI TENGAH melonjaknya kasus Covid-19, tersiar kabar yang kurang sedap dari para tenaga kesehatan kita. Mereka menjerit menuntut haknya sebagai upah jerih payah dalam menunaikan tugas kemanusiaan. Nyawa berani mereka pertaruhkan demi nyawa yang lain. Bukan dengan percuma, karena sudah menjadi tanggung jawab negara membayar mahal sesuai kontribusi yang mereka keluarkan.

Faktanya, dilansir dari okezone.com, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda) masih menunggak biaya RS dan juga insentif tenaga kesehatan (nakes) sejak Maret 2020. Masih ada Rp1,38 triliun tunggakan pemerintah pusat untuk nakes di RS pemerintah pusat, dan pemda sekitar Rp8,11 triliun untuk nakes di RS daerah.

Hal ini disampaikan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX DPR secara virtual, Senin (5/7/2021). Ia mengatakan bahwa terdapat tunggakan insentif nakes sejak Maret 2020 sebesar 1,48 T, yang sudah diselesaikan sekitar Rp1,3 triliun, dan diharapkan semua bisa selesai di bulan ini. Untuk 2021, relatif lebih lancar pembayarannya, dari pagu Rp3,8 triliun sudah dibayarkan Rp2,6 triliun atau 69 persen, demikian juga dengan santunan kematian.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mengungkapkan alasan mengenai tunggakan pencairan insentif tenaga kesehatan tersebut. Ia menjelaskan, tunggakan pencairan insentif nakes yang terjadi tahun 2020 disebabkan oleh perubahan teknis pencairan. Menurut keterangan Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan (Kemkes) Rita Rogayah, tunggakan ini terjadi lantaran penyaluran anggaran melewati sejumlah proses di antaranya adalah review dengan BPKP. Review dengan BPKP ini kata dia dilakukan dengan sekitar 1.500 RS yang melakukan klaim Covid-19.

Budaya birokrasi yang berbelit di negeri ini ternyata juga menjadi salah satu faktor penyebab anggaran kian “tersedak”, padahal kasus Covid tak kalah meledak. Banyak nakes yang mengeluh tidak menerima insentif tepat waktu. Insentif yang seharusnya diberikan setiap bulan itu macet, terutama bagi nakes yang menangani Covid-19 di daerah-daerah.

Ketua Satgas Covid-19 DPP PPNI Jajat Sudrajat menyatakan, banyak keluhan karena insentif belum dibayarkan sejak Januari 2021. Bahkan ada yang belum dibayar sejak bulan September—Desember 2020. Padahal pasien kasus positif Covid di rumah sakit saat ini terus  membludak dan mereka kekurangan petugas kesehatan. Mereka juga kekurangan alat medis/kesehatan, di antaranya oksigen dan ventilator (detik.com, 25/6/2021).

Acakadul kebijakan dan penatalaksanaan penanganan Covid sebenarnya masih terasa di sana-sini. Sejak awal badai Covid menghantam negeri ini, spekulasi anggaran yang tidak pas selalu menjadi isu utama. Dalam pengambilan kebijakan penyelesaian pandemi, penguasa selalu mengkhawatirkan kondisi ekonomi. Seolah-olah pertumbuhan ekonomilah yang lebih penting dibanding keselamatan masyarakat.

Ketika di lapangan semua pihak (nakes, masyarakat) sudah babak belur berbulan-bulan dihantam Covid, tapi baru beberapa hari yang lalu sang pemimpin negara menekankan bahwa kunci pemulihan ekonomi adalah penyelesaian masalah Covid-19. Menurutnya, ekonomi tidak akan pulih jika pandemi tak bisa dikendalikan. (tempo.co, 30/6/2021)

Padahal penyelamatan nyawa, baik pasien, nakes, maupun masyarakat luas, harusnya menjadi prioritas sejak awal pandemi terjadi. Pada titik ini pula semestinya alokasi anggaran dilakukan.

Selain itu hal ini dilakukan agar sistem kesehatan negara tidak kolaps. Tidak perlu ribut soal ekonomi, sebab ekonomi bisa ditumbuhkan seiring berjalannya waktu selama penanganan pandemi memang sigap dan siaga.

Inilah mengapa solusi yang dibutuhkan untuk penanganan pandemi memang harus sesuai fitrah. Semua harus dikembalikan kepada bagaimana aturan mengenai kehidupan manusia itu bermula. Nyawa seorang manusia sangatlah berharga. Di sisi Allah Swt., hilangnya nyawa seorang muslim lebih besar perkaranya daripada hilangnya dunia.

Jelas, aturan yang sesuai fitrah, satu-satunya berasal dari Sang Khalik. Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya.” (HR Muslim)

Di sinilah sebenarnya terletak hikmah kebijakan lockdown (syar’i) ketika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh penguasa. Yakni, penguasa yang benar-benar mengurus urusan rakyatnya. Penguasa yang juga benar-benar paham kebijakan paling tepat perihal penanganan pandemi, sehingga alokasi anggaran tidak maju mundur sedemikian rupa terganjal birokrasi.*


latestnews

View Full Version