View Full Version
Jum'at, 13 Aug 2021

Baha’i, Perlu Diselamati atau Diperbaiki?

 

Oleh: Wasi'ah Fitria, S.Si

 

Belum lama ini, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menjadi sorotan publik karena mengucapkan selamat hari raya Naw-Ruz 178 EB ke komunitas Baha'i. Hal itu tentunya memicu reaksi dari berbagai kalangan. Ada yang setuju dengan pendapat sang menteri, dan tentunya tidak sedikit juga yang kontra.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga turut mengomentari melalui ketuanya Cholil Nafis. Mereka meminta agar pemerintah tidak salah menyikapi keberadaan agama Baha'i, "Memang negara wajib melindungi umat agama, tapi jangan offside menjadi melayani yang sama dengan enam agama yang diakui," kata Cholil lewat pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Rabu (28/7).(CNNindonesia.com)

MUI sendiri telah lama mengategorikan Baha’i sebagai ajaran sesat yang menyimpang dari ajaran Islam karena mengakui ada nabi setelah nabi Muhammad.

Komentar MUI tersebut mendapat sanggahan dari Staf Khusus Menteri Agama, Ishfah Abidal Aziz menyebut bahwa langkah Menag Yaqut Cholil Qoumas yang mengucapkan selamat Hari Raya Naw Ruz kepada masyarakat Baha'i sudah berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku. Menag berpendapat bahwa agama Baha’i ini adalah agama tersendiri, bukan merupakan ajaran yang menyimpang dari agama yang sudah ada.

Sikap yang dilakukan oleh menteri agama dan jajarannya menggambarkan betapa kuatnya arus liberalisasi agama di negara ini. Hal ini terjadi karena negeri ini menerapkan sistem kapitalis yang mengusung ide kebebasan termasuk kebebasan dalam  beragama. Ide kebebasan beragama ini membuat siapa saja bebas untuk berpindah agama atau bahkan menjadi tidak beragama. Agama merupakan urusan individu sehingga tidak menjadi wewenang negara dalam mengurusnya.

Hal ini tentu sangat berdampak terhadap keimanan warga negara yang akhirnya menganggap agama bukanlah sesuatu yang penting serta lebih rendah nilainya dibandingkan yang lain. Agama menjadi sesuatu yang bisa diperjual belikan dan bahkan ditukar hanya karena urusan perasaan. Tentunya hal ini sangat berdampak terhadap rusaknya negara, karena agama adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan dan negara.

Fakta demikian akan mudah diatasi jika Islam yang memegang kepemimpinan. Tidak sekadar dipimpin oleh seorang yang muslim namun juga dihukumi dengan hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Aturan Islam yang berasal dari Sang Pencipta mampu menjaga agama, harta, jiwa dan keamanan warga negaranya. Dalam penjagaan agama, tidak ada paksaan terhadap siapapun untuk memeluk Islam. Namun jika seseorang sudah memilih Islam sebagai agamanya maka ia juga harus terikat dengan hukum Islam.

Orang yang keluar dari agama Islam (murtad) maka akan dihukum mati jika tidak bertobat setelah dinasehati dan dijelaskan kesalahannya. Hal ini tentu membuat orang yang lain tidak akan menyepelekan agama dan bersungguh-sungguh dalam beragama. Untuk warga negara yang beragama selain Islam (kafir) tetap dijaga hak keagamaannya sembari tetap mendakwahkan Islam dengan cara yang baik. Ketika negara menemukan adanya ajaran sesat yang menyimpang dari agama yang sudah ada, maka negara akan menindaklanjuti dengan cara segera melarang aliran sesat tersebut, membubarkan organisasinya dan menghentikan segala kegiatannya. Bukan malah dibiarkan dengan alasan kebebasan beragama.

Untuk orang-orang yang sudah terjebak dalam aliran sesat tersebut akan segera dibina, dijelaskan kesesatannya agar segera kembali ke agama yang benar. Selain itu, negara juga senantiasa mendidik umat dengan mengajarkan agama Islam secara terstruktur dan intensif kepada  warga negaranya sehingga menghadirkan kesadaran dan mereka akan beriman dengan keimanan yang kuat serta penuh kesadaran. Hal ini akan melahirkan banyaknya individu muslim yang beriman dan bertakwa.  Aktivitas seperti ini hanya akan bisa terwujud jika negara menerapkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version