View Full Version
Kamis, 14 Oct 2010

Apakah Tidak Boleh Khutbah Jum'at Dengan Panjang?

Kedudukan Khutbah Pada Shalat Jum’at

Salah satu karaktristik shalat Jum’at bila dibandingkan dengan shalat wajib lainnya adalah di dalamnya terdapat khutbah sebelum pelaksanaan shalat. Dan kedudukan khutbah ini menjadi syarat sah shalat Jum’at, menurut pendapat jumhur ulama.

Dan dari riwayat-riwayat yang ada, bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam senantiasa berkhutbah pada saat shalat Jum’at (sebelumnya). Dan tidak pernah sekalipun beliau shalat Jum’at tanpa khutbah. Dan karena ada khutbah inilah, maka shalat Jum’at dilaksanakan dua rakaat. Sebaliknya, ketika tidak ada khutbah maka shalat dilaksanakan empat rakaat, dan itu tidak lagi disebut shalat Jum’at, tapi shalat Zhuhur. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal Salim, Pustakan al-Tazkia-Jakarta; 2/315-316)

Larangan Memanjangkan khutbah

Dan dari praktek khutbah Jum’at yang sudah berjalan di tengah-tengah umat, ada satu cara yang menjadi sorotan karena memberatkan jama’ah, yaitu kadar khutbah yang panjang. Bahkan di Saudi Arabia, seperti yang pernah diposting di voa-islam.com, Kementrian Agama Kerajaan Saudi Arabi sampai mengeluarkan himbaun kepada para khatib agat tidak memanjang khutbahnya. Hal ini karena banyaknya aduan dari masyarakat yang mengeluhkan panjangnya khutbah sehingga dianggap mengganggu perekonomian. Terlebih terdapat hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam yang menganjurkan untuk memendekkan khutbah, bahkan hal ini menjadi tanda kefakihan seorang khatib.

Abu al-Mundzir al-Saaidi dalam kitabnya Al-Jumu’ah, Adab wa Ahkam, menyebutkan beberapa larangan dalam khutbah. Beliau menempatkan pada urutan pertama, “Memanjangkan khutbah atau shalat sehingga memberatkan para makmum.”

Begitu juga Syaikh Masyhur bin Hasan Aal Salman dalam kitabnya Akhtha’ al-Mushalin menyebutkan beberapa kesalahan khatib Jum’at, salah satunya memanjangkan khutbah dan memendekkan shalat.  

Menurut kedua ulama tersebut, memanjangkan khutbah merupakan kesalahan yang sangat jelas berdasarkan sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,  

إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ وَإِنَّ مِنْ الْبَيَانِ سِحْرًا

Sesungguhnya penjang shalat seseorang dan khutbahnya yang pendek menjadi tanda dari kedalaman pemahaman agamanya. Maka panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah. Sesungguhnya sebagian dari kata-kata itu ada yang bisa menjadi sihir.” (HR. Muslim no. 866, Ahmad 4/263, al-Darimi no. 1556, dan lainnya dari Amar bin Yasir)

Larangan ini didukung dengan praktek khutbah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, seperti yang diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, ia berkata, ”Aku shalat bersama Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, ternyata shalat beliau itu sederhana (tidak penjang) dan khutbah beiau juga sederhana.”

Dalam riwayat lain, “Beliau tidak memanjangkan khutbah pada hari Jum’at. Sesungguhnya khutbah beliau hanya ucapan-ucapan yang pendek saja.” (HR. Muslim no. 866, Abu Dawud no. 1107, al-Tirmidzi no. 507, al-Nasai no. 3/110, dan Ibnu Majah no. 1106)

Sesungguhnya ruh dari khutbah adalah nasihat yang baik dengan menggunakan bahasa yang lugas, ringkas, dan jelas sehingga mudah dipahami oleh semua tingkatan manusia. Tidak menggunakan teori-teori dan rumus-rumus yang jelimet atau menggunakan sajak dan paribahasa yang sulit dicerna otak sehingga malah membuat bingung. Karenanya kemampuan menyampaikan khutbah dengan cara tadi menunjukkan kepahaman sang khatib tehadap dien.

Sesungguhnya dalam urusan nasihat, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah memberikan contoh yang bagus, yaitu dengan memperhatiakn sikon (situasi dan kondisi) serta meringankan.

Dalam Shahihain dan lainnya dikisahkan ada seseorang yang berkata kepada Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu 'anhu, “Wahai Abu Abdirrahman, aku senang kalau Anda memberi peringatan (nasihat) kepada kami setiap hari.” Lalu beliau menjawab, “Adapun yang menghalangiku melakukan itu bahwa aku tidak ingin membuat kalian bosan. Dan sesungguhnya aku mengatur (tidak terus menerus setiap hari) waktu untuk kalian dalam memberikan nasihat sebagaimana Rasulullah mengatur waktu untuk memberi nasihat kepada kami karena khawatir membuat kami bosan.” (HR. Bukhari, Muslim, al-Nasai, dan al-Tirmidzi)

Faidah Memendekkan khutbah

Dari ulasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa faidah memendekkan khutbah, kurang lebih ada dua macam: Pertama, supaya tidak membosankan. Kedua, lebih mudah dipahami dan diingat oleh siapa yang mendengarnya. Namun demikian, karena pemahaman dan kecerdasan khatib dalam menilai situasi dan kondisi mendorongnya untuk memanjangkan khutbah karena keadaan yang menuntutnya maka tidak apa-apa. Diriwayatkan dengan shahih bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam pernah berkhutbah dengan membaca surat Qaaf dan al-Mulk. Dan beliau membaca dengan tertil dan berhenti pada setiap ayat, karenanya bisa dipastikan khutbah beliau saat itu cukup panjang. Dari sini, hendaknya seorang khatib memperhatikan kondisi dan kebutuhan para jama’ah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal Salim, Pustakan al-Tazkia-Jakarta; 2/321)

Faidah memendekkan khutbah:

Pertama, supaya tidak membosankan. Kedua, lebih mudah dipahami dan diingat oleh siapa yang mendengarnya.

Kadar Memanjangkan Shalat

Sedangkan maksud dari memanjangkan shalat disyariatkan sesuai dengan khutbah, bukan secara mutlak. Dari situ, jika memanjangkan shalat malah memberatkan para makmum maka diharamkan, karena Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam pernah sangat marah terhadap Mu’adz ketika dia memanjangkan bacaan saat mengimami manusia pada shalat Isya’. (Muttafaq a’laih)

{PurWD/voa-islam.com}

Tulisan terkait:

1. Khatib yang Memanjangkan Khutbah Tidak Mengenal Sunnah

2. Hukum Edarkan Kotak Infak Saat Khutbah Jum'at


latestnews

View Full Version