View Full Version
Senin, 04 Jan 2010

MUI Yogyakarta Desak KPI Kaji 'Suster Keramas'

YOGYAKARTA (voa-islam.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY mendesak Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) melakukan kajian secepatnya atas beredarnya film Suster Keramas.

Jika dalam kajian ini, KPID menemukan adanya unsur pornografi harus segera bersikap dengan menarik film tersebut dan melakukan gugatan hukum.

Sekretaris Umum MUI DIY Ahmad Mukhsin Kamaludiningrat mengatakan, dari segi isi film, pihaknya memang belum melihatnya. Namun dari hasil laporan masyarakat, di film tersebut banyak mengumbar aurat.Terlebih, artis dalam film besutan Maxima Pictures, Rin Sakuragi disebut merupakan bintang porno Jepang.

...”Kami tidak akan melihatnya, biarlah KPID yang melakukan kajian atas film ini,”kata Mukhsin

”Kami tidak akan melihatnya, biarlah KPID yang melakukan kajian atas film ini,”katanya, kemarin. Diakui Mukhsin, terhadap film ini, MUI DIY belum mendapat rekomendasi dari MUI Pusat. Namun, bila mendasarkan UU Pornografi dan Pornoaksi, daerah berhak untuk melindungi warganya dari tontonan-tontonan yang tidak senonoh.

...”Kami pernah melakukan itu dan berhasil. Ketika itu adalah film Virgin,” Terang Mukhsin...

Caranya dengan menolak atau merekomendasikan penarikan sebuah film. Atas dasar tersebut, MUI akan mengedepankan proses hukum selain tetap menyampaikan imbauan khususnya kepada masyarakat muslim.

”Kami pernah melakukan itu dan berhasil. Ketika itu adalah film Virgin,” terangnya. Menyoal kewenangan MUI, kata dia, sebenarnya tidak memiliki hak lebih untuk melarang penayangan sebuah film.

Sebab, hal tersebut sudah menjadi kewenangan pemerintah dengan mendasarkan pada regulasi yang sudah ada. Jika saat ini film tersebut bisa tayang di masyarakat,itu berarti sudah melalui uji sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF). ”Semestinya MUI ikut dilibatkan di LSF,”jelasnya.

Dalam salah satu sekuel film Suster Keramas ini, Rin Sakuragi memperlihatkan kemolekan tubuhnya tanpa satu lembar kain yang menempel di badannya. Film ini telah di-launching dan ditayangkan di seluruh bioskop di Indonesia sejak 31 Desember 2009 lalu, termasuk di Yogyakarta.

Wakil Ketua KPID,Tri Suparyanto mengutarakan, kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap penayangan sebuah film di bioskop bukan menjadi wilayah kerjanya.

Karena wilayah kerjanya hanya melakukan pengawasan terhadap tayangan-tayangan di televisi ataupun radio. ”Itu kewenangan dari LSF,”tandasnya.

Seharusnya KPI Menindak Tayangan Yang Tidak Mendidik

Hampir setiap hari kita disuguhkan tayangan sinetron yang di putar oleh beberapa stasiun TV swasta. Bahkan ada stasiun TV, 75% menayangkan acaranya berupa sinetron.

Dengan alur cerita yang bervariasi, mulai dari kehidupan rumah tangga hingga cerita cinta ABG yang tidak layak ditonton anak-anak. Hampir semua tayangan itu dinilai tidak mendidik, karena berpotensi merusak karakter bangsa.

Maraknya tayangan yang dinilai dapat merusak karakter bangsa tersebut membuat Menkominfo Tifatul Sembiring mendesak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar segera bertindak tegas terhadap sejumlah stasiun televisi.

Pihaknya telah meminta kepada sejumlah pengelola televisi swasta untuk mengevaluasi kembali program tayangan yang dapat merusak karakter bangsa itu.

Memang, harus diakui bahwa perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di Indonesia berkembang sangat pesat.

Namun, tidak semuanya baik, bahkan bisa merusak. Berdasarkan survei rating, pemirsa televisi Indonesia menempati posisi tertinggi dibandingkan Amerika Serikat, hal ini bisa dilihat dari lamanya durasi acara televisi yang ditonton.

Di Amerika, orang menonton televisi paling lama sekitar empat jam. Kalau di Indonesia bisa mencapai 4,5 jam. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa tingginya tingkat serapan masyarakat dari tayangan televisi didominasi oleh hiburan.

Di sisi lain, pihak stasiun TV swasta diminta untuk mempertimbangkan kembali penayangan acara-acara (film/sinetron) yang dinilai tidak mendidik.

Karena seperti yang kita ketahui bahwa penayangan acara itu lebih banyak mempertontonkan hal-hal yang sangat bertentangan dengan budaya kita yang menjunjung tinggi kesopanan, misalnya adegan kekerasan.

Tayangan sinetron di televisi kita semakin tidak bernilai, kecuali hiburan murahan. Seharusnya para pembuat sinetron membuat sinetron yang memiliki aspek edukasi dan mengedepankan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Jadi jangan hanya mengejar rating saja, namun juga harus memperhatikan nilai-nilai dan etika yang berlaku di negara kita. (Ibnudzar/dbs)

Baca juga: Republik Film Porno: Wajah Dekadensi Moral Film Indonesia


latestnews

View Full Version