View Full Version
Rabu, 27 Jan 2010

200 Kyai Jawa-Bali dan MUI Haramkan TKW Tanpa Izin Suami

TUBAN - Haram hukumnya kepergian wanita ke luar negeri untuk menjadi tenaga kerja wanita (TKW) tanpa seizin suami. Demikian salah satu hasil bahtsul masail

Menurut Taha Hoir, salah satu panitia, menjadi TKW tanpa izin suami hukumnya haram, alasannya suami masih bisa mencari nafkah dan bertanggung jawab atas istri. "Kecuali seizin suami, tidak masalah. Dan juga karena suami terpaksa, karena sudah tidak bisa mencari nafkah," katanya, kemarin.

Sementara, terkait hukum liberalisme, pluralisme, dan aliran Ahmadiyah, lanjut Taha, pihaknya mendatangkan Ketua MUI Jatim Abdusshomad Bukhori untuk memberikan pertimbangan. Sebab, tiga hal itu menimbulkan multitafsir. "Maka dari itu kita memutusi tentang arti liberalisme, pluralisme, sesuai dengan arti dari arahan tim ahli, yakni ketua MUI," jelasnya.

Dia menjelaskan, jika memahami liberalisme dengan membebaskan akal tanpa batas, hal itu tidak sesuai dengan ulama salaf. Kalau memang itu yang dimaksud, maka tidak diperbolehkan. "Jadi, semua harus berdasarkan pada Alquran dan hadits," paparnya.

Sedangkan pluralisme, kata Taha, sejauh ini dipahami dengan maksud mengajarkan semua agama sama. Sebab, kebenaran agama adalah relatif, sehingga tidak boleh mengklaim agama lain itu salah. "Kalau ada pemahaman semacam itu, maka dianggap tidak boleh. Namun, jika pluralisme dipandang secara sosiologis, tidak masalah," terang Taha.

Mengenai aliran Ahmadiyah, Taha mengakui sejauh ini ada semacam iktikad pemahaman bahwa ada nabi selain nabi. Jika itu kenyataannya, tidak boleh. Sebab, hal itu bisa sangat mengkhawatirkan dan bisa mengarah kufur. "Untuk masalah lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mauquf atau terhenti. Sehingga kami belum menyimpulkan," ujarnya. Dia menambahkan, masalah hipnotis juga belum ada kesimpulan, karena terbatasnya waktu.

Hukum Wanita Bepergian Tanpa Mahram

Didalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Janganlah seorang wanita pergi (lebih dari) tiga hari kecuali bersamanya seorang mahram.” (HR. Muslim)

Imam Nawawi mengatakan bahwa—kata-kata tiga hari—bukanlah berarti pembatasan untuk bisa dinamakan bepergian dan Rasulullah saw tidak menginginkan batas minimal untuk dinamakan bepergian. Hasilnya adalah bahwa setiap apa yang disebut dengan perjalanan maka dilarang baginya tanpa disertai suami atau mahram baik tiga hari, dua hari, satu hari, setengah hari atau lainnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.

Beliau juga menyebutkan bahwa kaum wanita diharuskan melaksanakan haji apabila dia telah memiliki kesanggupan, sebagaimana keumuman dari firman-Nya :

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً


Artinya : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imron : 97).

Dan sabda Rasulullah saw,”Ditegakkan islam diatas lima perkara.”. Kesanggupannya persis seperti kesanggupan seorang laki-laki akan tetapi mereka berbeda pendapat terhadap persyaratan mahram baginya.

Abu Hanifah mensyaratkan keberadaan mahram dalam kewajiban berhaji baginya kecuali dia berada diantara rumahnya dengan Mekah sejauh tiga kali perpindahan (persinggahan). Pendapat ini disepakati oleh para ahli hadits dan ahli ra’yi dan juga oleh al Hasan al Bashri dan an Nakh’i.

Atho’, Said bin Jubeir , Ibnu Sirrin, Malik, al Auza’i, dan pendapat yang masyhur dari Syafi’i tidak mensyaratkan mahram akan tetapi adanya keamanan bagi dirinya.

Para ulama kami (Syafi’i) berpendapat bahwa keamanan tersebut adalah dengan adanya suami, mahram atau sekelompok wanita yang terpercaya dan menurut kami—seorang wanita—tidak diharuskan baginya haji kecuali dengan adanya salah satu dari mereka semua. Seandainya ia hanya mendapati seorang wanita yang terpercaya maka tidak wajib baginya pergi haji akan tetapi dibolehkan baginya berhaji bersamanya (wanita tersebut), inilah yang benar.

Imam Nawawi juga menyebutkan bahwa para ulama kami (Syafi’i) talah berselisih dalam hal kepergian wanita untuk berhaji yang sunnah, berziarah, berdagang maupun safar-safar lainnya yang tidak termasuk kewajiban.

Sebagian mereka mengatakan boleh baginya pergi untuk keperluan itu bersama sekelompok wanita terpercaya sebagaimana haji. Jumhur ulama mengatakan bahwa tidak boleh baginya pergi kecuali bersama seorang suami atau mahram, inilah pendapat yang benar sebagaimana (didalam) hadits-hadits shohih.

Al Qodhi mengatakan bahwa para ulama telah bersepakat tidak diperbolehkan baginya melakukan bepergian selain haji dan umroh kecuali bersama seorang mahram kecuali hijrah dari darul harb (negeri kafir yang memeranginya).

Mereka bersepakat bahwa wajib baginya untuk berhijrah dari darul harb menuju darul islam (negeri islam) walaupun tidak disertai dengan mahram. Perbedaan diantara keduanya adalah bahwa menetap di negara kafir haram apabila ia tidak bisa menjalankan agamanya dan khawatir akan agama dan dirinya...

Kata-kata “kecuali bersamanya mahram” adalah dalil bagi mazhab Syafi’i dan jumhur ulama bahwa seluruh yang dikatakan mahram adalah sama dalam hal ini. Boleh baginya bepergian bersama mahramnya dari jalur nasab, seperti anak laki-laki, saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-lakinya, anak laki-laki dari saudara perempuan dan yang semisalnya.

Ataupun bersama mahram dari jalur susuannya, seperti saudara laki-lakinya sesusuan, anak laki-laki dari saudara laki-lakinya sesusuan, anak laki-laki dari saudara perempuannya sesusuan dan yang semisalnya. Ataupun bersama mahram karena hubungan perkawinan seperti ayah dari suaminya, anak laki-laki dari suaminya dan tidak ada kemakruhan dalam hal ini.

Dan dibolehkan baginya untuk berkholwat (berduaan) dengan setiap dari mereka semua, melihat kepadanya tanpa adanya keperluan akan tetapi tidak dibolehkan melihatnya dengan syahwat kepada salah seorang dari mereka, inilah madzhab Syafi’i dan jumhur ulama.. (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz IX hal 146 – 149)

Dengan demikian tidak dibolehkan bagi seorang wanita melakukan bepergian untuk jarak dan rentang waktu berapa pun tanpa disertai mahramnya, baik mahram dari jalur nasab, sesusuan ataupun karena hubungan perkawinan, kecuali kepergiannya untuk menunaikan ibadah haji dan hijrah dari darul harb.

Apabila seorang wanita ingin pergi berhaji sementara tidak ada suami atau mahram yang menyertainya maka dibolehkan baginya untuk bergabung bersama dengan sekelompok wanita yang dapat dipercaya dan bisa menjaga dirinya.

Sedangkann berhijrah bagi seorang wanita dari negara kafir yang memeranginya dan dikarenakan tidak bisa melaksanakan ibadah-ibadahnya atau jika ia berada di sana maka akan mengancam agama dan jiwanya maka ia dibolehkan melakukannya walaupun tanpa disertai seorang mahram pun.

Namun apabila diyakini adanya keamanan di dalam perjalanan seorang wanita diluar ketiga jenis perjalanan tersebut maka diperbolehkan baginya untuk melakukannya tanpa ditemani mahramnya.(Ibnudzar/jpnn)


latestnews

View Full Version