View Full Version
Sabtu, 12 Feb 2011

Wacana Pembubarkan Ormas adalah Politik Kambing Hitam SBY

JAKARTA (voa-islam.com) – Wacana Presiden SBY soal pembubaran ormas yang dituding anarkistis dinilai tidak tepat. Wacana ini adalah politik kambing hitam yang emosional. Seharusnya, Presiden malu, bukan marah menyikapi insiden Cikeusik dan Temanggung.

Sosiolog dari Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola menilai tidak seharusnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) marah menyikapi aksi kekerasan di Cikeusik, Pandeglang Banten maupun di Temanggung, Jawa Tengah.

Presiden tidak seharusnya meluapkan kemarahan tersebut dengan memerintahkan pembubaran organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang dituding anarkistis. “SBY lebih pantas malu dari pada marah,” katanya saat diskusi bertema “Kekerasan Makin Keras” di Warung Daun Cafe Jakarta, Sabtu (12/2/2011).

Kemarahan seorang pemimpin, ujar Thamrin, harus diterjemahkan secara sistemik. Sebab, kejadian seperti di Cikeusik tidak terlepas dari buruknya kinerja aparat dan intelijen yang ada. Dalam konteks inilah presiden harus marah. “Kinerja polisi parah, presiden harus benahi polisi, intelijen tidak berfungsi, dan presiden harus benahi itu,” tambahnya.

Pernyataaan serupa diungkapkan Syahganda Nainggolan, sehari sebelumnya. Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circle (SMC) ini mengecam kebijakan SBY sebagai jurus kambing hitam.

“Ikuti saja proses hukumnya, jangan buru-buru memvonis ada Ormas melakukan tindak anarkistis,” katanya di Jakarta, Jumat (11/2).

Syahganda menyesalkan sikap pemerintah cenderung mencari kambing hitam dalam menyelesaikan kasus kerusuhan di Cikeusik Pandeglang dan Temanggung Jawa Tengah. Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih mengedepankan pendekatan hukum dengan melakukan penyelidikan tuntas atas masalah tersebut.

“Ini negara hukum, sudah ada mekanisme untuk menyelesaikan masalah kerusuhan berbau SARA termasuk mekanisme hukum pembubaran Ormas,” jelas mahasiswa doktoral Universitas Indonesia itu.

Mekanisme pembubaran ormas sudah diatur dalam UU No 8 Tahun 1985 tentang keormasan pasal 13 sampai dengan 17 dan PP 18 Tahun 1986 pasal 18-27 tentang pelaksanaan UU tersebut. “Tahapan pembubaran Ormas mulai pembekuan sampai dengan pembubaran diatur dalam UU dengan sejumlah syarat yakni yang berhak membubarkan organisasi massa adalah pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota sesuai level Ormasnya,” ujarnya.

Syahganda mengingatkan, pembubaran Ormas tidak menyelesaikan masalah untuk mengatasi kekerasan di tanah air. Sebab, kekerasan massa bisa terjadi karena banyak faktor. Antara lain bisa merupakan akumulasi rasa frustasi masyarakat, hancurnya kewibawaan pemerintah, dan bahkan akibat ketidakberdayaan aparat intelijen.

Karena itu, bagi Syahganda pembubaran Ormas yang dianggap anarkistis tidak memberikan jaminan akan meredam kecenderungan masyarakat untuk bertindak anarkistis. Itu akan terus terjadi jika pemerintah tidak menyelesaikan masalah ketidakadilan atau kesumpekan masyarakat. Termasuk kekecewaan tidak tegasnya pemerintah memberlakukan surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang Ahmadiyah, yang antara lain memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatan yang bertentangan dengan agama Islam.

“Pembubaran Ormas, selain bertentangan dengan hak menyatakan pendapat, juga hanya melegalkan politik kambing hitam pemerintah,” tegas Syahganda. [taz/inl]


latestnews

View Full Version