View Full Version
Selasa, 22 Nov 2011

Kupang, Tempat Pembuangan Mujahidin Penentang Kolonial Belanda

Kupang (voa-islam) – Pada masa kolonial, mereka yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda, akan menghadapi hukuman berat, yakni pengasingan ke suatu tempat yang jauh dan terpencil. Ternyata, tak sedikit para ulama dan pejuang Indonesia yang dibuang ke Kupang hingga ajal menjemputnya. Selama di pengasingan, para mujahidin tersebut mengembangkan agama Islam di Kota Kupang dan sekitarnya.

Sejarah mencatat, setelah terjadi peletakan dasar pertama masyarakat Islam di Airmata, Kupang, lalu menyusul masuknya beberapa tokoh Islam yang ikut berperanan dalam usaha mengembangkan ajaran Islam di Airmata dan Kota Kupang pada umumnya. Ingin tahu, siapa saja yang dibuang pemerintah Belanda dan berjasa mengembangka ajaran Islam di Kota Kupang? Mereka adalah:

  • Pangeran Surya Mataram

Ia berasal dari Jawa Tengah. Ada pula yang menyebut, Surya Mataram berasal dari Mataram. Karena menentang melawan Belanda, ia diasingkan ke Kupang, karena terlibat dalam Perang Diponogoro tahun 1825-1830. Ia adalah saudara dari Pangeran Mangkudiningrat.

Menurut cerita Imam Birando bin Tahir, Pangeran Surya Mataram adalah anak buah Pangeran Diponogoro. Ketika berada di Kupang, ia berdiam di Kampung Airmata Kupang (di rumah Imam Birando bin Tahir).

 Ia menyiarkan ajaran Islam di Airmata Kupang melalui pengajian-pengajian yang dipimpinnya. Peninggalan yang ditinggalkan di Kupang adalah sehelai kain wasiat dan sebilas keris. Kedua peninggalan ini, kabarnya masih tersimpan dengan baik di desa Airmata Kupang.

  • Syech Syarif Abubakar bin Abdurrahman Al-Gadri

Ia adalah seorang keturunan Arabdari Hadramaut. Seperti dijelaskan oleh Haji Abubakar Atjeh dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya islam ke Indonesia:  Ketika itu ada empat Penyiar Islam, mereka adalah Sayyid Abdullah Al Kudsi, Sayyid Usman bin Shahab, Sayyid Muhammad bin Ahmad Alaydrus dan Sayyid Husin Al Gadri. Salah seorang dari keempat orang penyiar Islam inilah yang menurunkan raja-raja Siak. Al Gadri lah yang menurunkan raja Pontianak.

Maka, salah seorang dari keluarga raja Pontianak adalah Abdurrahman Al Gadri. Ketika itu ia melakukan perdagangan budak. Akibatnya pada tahun 1836, ia diasingkan pemerintah Belanda dari Pontianak ke Sumba. Ketika berada di Sumba, lagi-lagi Syarif Abubakar bin Abdurrahman Al Gadri mengadakan perdagangan budak ke Kupang. Setelah pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan tentang larangan perdagangan budak tahun 1838, lalu Abdurrahman menghentikan kegiatannya dan menetap di Airmata Kupang tahun 1860.

Selama berada di Kupang, ia aktif menerapkan ajaran islam bersama pemimpin-pemimpin agama Islam lainnya. Ia meninggal tahun 1899 dan dimakamkan di Perkuburan Umum Islam Batukadera, Kupang. Peninggalan beliau yang kabarnya masih tersimpan di Airmata Kupang adalah sehelai kain plekat dan sehelai sorban.

Syekh Syarif Abubakar bin Abdurrahman Al Gadri merupakan pembuka jalan bagi orang-orang turunan Arab yang datang ke Kupang. Setelah masuknya orang-orang Islam keturunan Arab ke Kupang, perkembangan Islam di Kupang mengalami kemajuan. Hal ini disebabkan, banyak diantara orang-orang Islam keturunan Arab yang menjadi guru ngaji. Tokoh-tokoh Islam keturunan Arab itu antara lain: Ahmad Wakid, Abdullah Machros, Umar Djawas, Ahmad Badzher dan Muhammad Ghafar Badzher. Mereka pernah menjadi guru ngaji dan madrasah di Airmata Kupang sekitar tahun 1932.

  • Pangeran Ali Basyah Machmud Gandakusumo (Pangeran Achmadin Danukusumo) dan Raden Sutomo

Mereka berasal dari Jawa Tengah. Keduanya diasingkan pemerintah Belanda ke Kupang, juga karena terlibat dalam Perang Diponogoro (1825-1830). Selama berada di Airmata Kupang, mereka turut mengajarkan ajaran Islam di kalangan masyarakat muslim di sini.

  • Dipati Amir bin Bahren dan Panglima Hamzah (Cing) bin Bahren

Mereka berasal dari Pulau Bangka. Keduanya diasingkan pemerintah Belanda ke Kupang tahun 1860, karena keterlibatannya dalam perlawanan rakyat Bangka di Gunung Maras. Ketika berada di Kupang, keduanya aktif mengajarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Berkat usaha Dipati Amir Bahren, ia berhasil mendirikan Masjid Bonipoi Kupang. Beliau wafat di Kupang tahun 1885, sedangkan Panglimah Hamzah Bahren wafat tahun 1.900 juga di Kupang. Makamnya kini ada di Perkuburan Umum Islam Batukadera, Kelurahan Airmata, Kecamatan Kelapa Lima , Kota Kupang, NTT. Salah seorang tokoh yang berjasa terhadap pembinaan umat Islam di Bonipoi Kupang adalah Imam Hasan yang berasal dari Pulau Bangka.

  • KH Muhammad Arsyad bin Alwan, KH Abdul Salam dan KH Mansyur

Mereka berasal dari Banten. Ketiganya dibuang pemerintah Belanda ke Kupang tahun  1892, karena terlibat dalam pemberontakan Cilegon di Jawa Barat tahun 1886. Oleh Belanda, mereka dilarang mendakwahkan Islam. Karena itu, mereka hanya aktif mengadakan kegiatan pengajian.

KH. Muhammad Arsyad bin Alwan lebih dikenal dengan sebutan Penghulu Banten. Pada tahun 1917, mereka dibebaskan dari hukuman, dan diperbolehkan kembali ke Jawa dengan ketentuan tidak diperkenankan lagi ke Banten. Setelah kembali ke Jawa, KH. Muhammad Arsyad bin Alwan dan KH Mansyur meneruskan perjalanan ke Makkah, sedangkan KH. Abdul Salam menetap di Demak dan meninggal tahun 1920.

Semoga Allah membalas kebaikan dan perjuangan mereka dalam menyebarkan agama Islam di kota Kupang. (Desastian)


latestnews

View Full Version