View Full Version
Selasa, 12 Jun 2012

Dai yang Dirindukan, Yuk! Bantu Bangun Rumah Da'i di Mentawai! (Bag 3)

MENTAWAI (VoA-Islam) – Pada hari keempat, tanggal 21 Mei 2012, Ustadz Aldi ditemani salah seorang ustad dan kedua anaknya, menuju Desa Taileleu. Tepat pukul 15.000, ia berangkat menggunakan perahu kecil (lebar 90 cm dan panjang 5 m) yang disebut pompon. Segala perbekalan telah disiapkan seperti jas hujan, alas tidur, logistic secukupnya serta pakaian ganti.

Untuk menuju Desa Taileleu, menghabiskan biasa sebesar Rp. 300.000 hanya untuk BBM (saat harga BBM Rp. 8000), belum termasuk sewa perahu dan biaya “supir perahu”, serta peralatan penunjang. Total budjet yang dikeluarkan bisa mencapai Rp. 1 juta.

Diperlukan strategi yang matang, setidaknya harus memperkirakan air laut pasang, karena dalam perjalanan akan melewati sungai-sungai yang berbatasan langsung dengan laut. Jika air pasang, perahu bisa terbalik. Jika air tidak pasang, maka harus mendayung dan mendorong perahu.

Kanan-kiri terlihat hamparan hutan bakau. Sunyi sepi, jarang sekali orang yang melintas. Perlu keahlian mengemudi dan mengendalikan perahu untuk melalui sungai yang sempit.

“Begitu waktu Ashar tiba, kami mampir di dusun Sarausau, kecamatan Siberut Barat Daya, untuk melaksanakan shalat Ashar berjamaah. Hanya ada satu masjid di desa tersebut, yakni Masjid Al-Hidayah,” kata Aldi.

 Meski masjid ini kokoh berdiri, tapi masih sedikit orang yang mau ke masjid. Kebanyakan orang di desa-desa pelosok Mentawai, baru mau ke masjid jika ada ustad atau dai yang menetap agar bisa memberikan pelajaran agama Islam, terutama anak-anak mereka. Shalat Jum’at paling bayak 2 shaft, atau biasanya hanya 1 shaft.

Menjadi khatib di pedalaman Mentawai, jangan mengharapkan diberi “sangu”” atau transport untuk ongkos pulang Untuk menjadi khatib shalat Jum’at, seorang ustadz harus mengeluarkan kocek sendiri untuk menyewa perahu dengan medan yang berat. Tak jarang, khatib yang sudah dijadwalkan untuk khutbah, berhalangan datang. Terpaksa, shalat Jumat diganti menjadi shalat zuhur.

Di Dusun Sarausau, umat Islam adalah minoritas, sehingga membutuhkan kehadiran da’i. Dengan adanya da’I, mereka bisa kembali ke masjid untuk shalat lima waktu secara berjamaah, dan mengikuti pengajian. Jika dainya tidak ada, bisa karena pindah tugas atau ada keperluan keluarga atau pulang ke Jawa, maka masyarakat di sini kembali menjauh dari masjid.

Dengan kondisi masyarakatnya yang jauh dari kata hidup layak, mereka terancam untuk didangkalkan akidahnya oleh misionaris. Bukan tidak mungkin, saudara-saudara muslim di sini akan dimurtadkan.  

Rumah Dai dengan Dana Cekak

Setelah menyambangi Dusun Sarausau, perjalanan dakwah dilanjutkan menuju Dusun Pei-pei. Dusun ini sedikit lebih ramai ketimbang Dusun Sarausau. Di Dusun Pei-pei terdapat Masjid As-Sa’adah. Jika shalat Jum’at masjid ini senasib dengan masjid-masjid yang ada pedalaman Mentawai lainnya. Jamaahnya hanya terdiri dari 1 shaft yang tidak penuh.

Jumlah penduduk di dusun ini hanya 130 KK, dan 18 KK diantara yang muslim. Untuk desa sekecil ini juga terdapat 3 gereja. Pengajian di Dusun Pe-pei adalah hal yang dirindukan bagi masyarakat Pei-pei.

Tepat di depan masjid, terdapat bangunan rumah terbuat dari kayu, yang sepertinya belum selesai pembangunannya. Ketika ditanya, “Rumah siapakah ini? Mereka menjawab, “Ini rumah da’I yang kami persiapkan secara swadaya dari masyarakat untuk da’I yang mau menetap di sini. Tapi, mohon maaf, kami sekarang kehabisan dana untuk menyelesaikannya.”

Saat ditanya,”Memang perlu biaya berapa lagi untuk menyelesaikannya?” Mereka menjawab,”Ya, sekitar 10 juta.” Subhanallah, begitu cinta mereka kepada dainya, sampai-sampai dibuatkan rumah untuk dai yang mau menetap untuk memberikan ilmu dan nasihatnya bagi warga Pei-pei.

Siapa yang tergerak untuk membantu menyelesaikan rumah dai tersebut. Bisa menghubungi Voa-Islam untuk diserahkan pada yang diberi amanah. (Desas/Aldi)


latestnews

View Full Version