View Full Version
Selasa, 12 Jun 2012

Ironis! Muslim Mentawai Masih Suka Makan Babi (Bag-4)

MENTAWAI (VoA-Islam) - Muslim di Mentawai, 60% nya adalah muallaf. Tapi karena jarangnya pengajian dan dakwah kepada mereka, menyebabkan mereka belum bisa menghilangkan budaya lamanya, yakni makan daging babi di setiap acara-acara yang diadakan saat makan bersama, seperti: anak lahir dan pernikahan. Ironisnya lagi, ada kepala desa yang muslim, tapi masih suka makan daging babi di acara tersebut. Alasannya, hendak, menghormati yang mengadakan acara.

Ketika bersilaturahim dengan Kepala Sekolah dan Guru SD di Dusun Pei-pei, ada kisah menarik: seorang anak kelas 4 SD bernama Beni, sudah masuk Islam. Sejak menjadi muslim, anak ini menunjukkan perubahan, diantaranya: lebih senang ke masjid untuk shalat. Jika ada acara keluarga, yang ada pesta makan babinya, Beni lebih senang menyendiri. Ia tidak mau makan babi setelah ber-Islam.

Melihat perilaku anaknya yang demikian, orang tua Beni (yang juga muallaf) ingin agar anaknya tidak tinggal di rumah, bahkan menghendaki buah hatinya itu masuk pesantren di luar Mentawai. Kenapa demikian? “Karena, kalau masih di Mentawai, khawatir bisa terpengaruh oleh kebiasaan orang-orang Mentawai, seperti: makan babi, menenggak minuman keras, perdukunan dan lain-lain.

Beberapa bulan lalu, Ibu Camat setempat sempat berjanji untuk memasukkan Beni ke pesantren di luar Mentawai. Namun, karena pindah tugas, Beni tidak jadi masuk pesantren seperti yang dijanjikan. Masih ada waktu, hingga pertengahan Juli, saat memasuki tahun ajaran baru, untuk membawa Beni ke luar Mentawai untuk belajar ilmu agama.

Menurut jamaah masjid di dusun itu, memang untuk merubah kebiasaan atau perilaku orang-orang Mentawai itu sulit. Mengingat budaya itu sudah mendarah daging, bertahun-tahun. Untuk itu perlu meng-hijrahkan orang Mentawai selama 10-20 tahun keluar Mentawai, untuk diberi pendidikan dan ilmu. Setelah itu baru dikembalikan ke kampung halamannya untuk mengabdi.

Menuju Desa Taileleu

Perjalanan dakwah berlanjut menembus hutan belantara selama 1,5 jam, menuju Desa Taileleu. Medan yang dilalui cukup berat, semak belukar di sisi kanan dan kiri dengan jembatan yang berlubang serta licin, becek, menyebabkan ban motor selip.

Untuk menuju Desa Taileleu, harus menyebrangi sungai dengan rakit. Biaya menyeberang Rp. 10.000 per orang, sedangkan untuk motor dikenai Rp. 15.000. Lama menyebrang hanya 10-15 menit. Rakit pun tidak selalu tersedia. Jika sampai tidak ada rakit, maka kita harus berusaha meminta pertolongan warga yang lewat menggunakan perahu untuk memanggilkan rakit. Tapi kalai tidak ada warga yang lewat, maka terus berusaha dengan memanggil-manggil atau bersuara keras sampai rakit datang. Diperlukan waktu setangah jam untuk memanggil rakit.

Singkat cerita, tibalah di Desa Taileleu. Tak berbeda dengan Desa Sarausau, di desa ini juga tidak ada signal. Desa ini terdiri dari 235 KK dengan 61 KK saja yang Muslim. Ada tiga gereja di desa ini, berikut TK Kristen Terpadu “Filadelphia”. Di desa ini pula para misionaris sering berkunjung, mulai dari mahasiswa sampai pastor atau pendeta. Secara berbarengan, para misionaris itu kerap menggelar acara, ketika umat Islam menggelar tabligh akbar atau pengajian.

Satu-satunya masjid yang ada di Desa Taileleu adalah Masjid “Maznah Al-Muthoiri”, dibangun sejak 1992, dan sudah tiga kali renovasi akibat gemba. Alhamdulillah, sudah ada TK Islam “Bakti 47” di bawah Yayasan Pendidikan Bakti Wanita Islam Sumbar.

Muslim yang Hampir Terusir

Ada satu peristiwa yang baru saja terjadi sekitar awal Mei 2012, yaitu ada permintaan para pemuda desa Taileleu untuk mengusir bapak Ujang dan keluarga, karena menolak memberi sumbangan untuk perayaan hari Paskah.

Peristiwa ini bermula, ketika panitia paskah datang ke rumah Pak Ujang, tapi keluarga itu menolak memberi sumbangan. Selang beberapa hari, panitia Paskah itu datang lagi untuk hal yang sama.

Menurut Pak Ujang, kami Muslim tidak boleh memberikan sumbangan untuk perayaan agama lain. Kecuali untuk acara warga lainnya, Pak Ujang siap memberi sumbangan. Hal ini kemudian diadukan ke aparat desa setempat. Warga menginginkan Pak Ujang dan keluarga diusir dari desa Taileleu.

Setelah musyawarah, akhirnya disetujui, bahwa iuran warga untuk acara keagamaan hanya ditarik kepada warga yang agamanya yang sesuai dengan perayaan acara tersebut. Sedangkan warga yang tidak memperingati perayaan, tidak boleh atau tidak dikenai untuk memberi sumbangan. Akhirnya, ini menjadi keputusan warga bersama. Tentu saja, ini sangat menggemberikan umat Islam di sana, yang selama ini takut untuk menyatakan keimanannya dalam bentuk sikap nyata. Terlebih umat Islam di desa ini terbilang minoritas.

Perjalanan dakwah Ustadz Aldi ke Mentawai bukanlah yang terakhir. Masih banyak segudang rencana, agenda dakwah dan cita-cita yang ingin diwujudkan untuk memenuhi janji saudara-saudara muslim di sana. Ia kembali teringat pesan warga muslim di sejumlah desa dan dusun di Mentawai, yang mengantarnya pulang menuju Jakarta, mulai dari kaum bapak, ibu-ibu, remaja, hingga anak-anak.

“Tolong kembali ke sini, ajari kami dengan ilmu agama. Satu bulan atau bahkan satu tahun atau menetap sekalian, kami akan senang hati menerimanya.

Masih segar dalam ingatan, ketika orang-orang Mentawai berharap sangat: “Tolong, jangan berhenti datang ke sini, tolong ajak ustad-ustad yang lain, jangan pernah kosong ustad di tempat kami. Jika yang satu pergi, tolong ganti dengan ustad yang lain.”

Haru biru dan air mata pun menetes, saat saudara-saudara Muslim di Mentawai berkata, “Tolong bawa ustad-ustad yang selama ini kami bisa lihat di media-media. Tapi, maaf, kami tidak bisa memberi “sangu” jika ustad kembali. Tolong rindukan kami di dalam agenda dakwah para ustad kalian. Para ustad di Jawa itu sudah sangat banyak. Jangan lupakan dakwahi dan silaturahimi kami di sini.”

Di hari terakhir, Ustad Aldi menyempatkan diri untuk berziarah ke makam pelaku dakwah yang sudah merambah Mentawai sejak tahun 1980-an. Beliau adalah Ustadz. H. Muhammad Sidik.

Di desa Matotonan, Aldi kembali terharu ketika ia berjumpa dengan seorang aktivis dakwah yang berprofesi sebagai petani. Di desa itu, ada seorang pendeta bersama keluarganya yang telah mengucapkan kalimah syahadat (masuk Islam).  Termasuk kepala suku asli Mentawai yang berhasil di-Islamkan. (Desas/Aldi)


latestnews

View Full Version