View Full Version
Senin, 06 Aug 2012

Ngawur!! Muslim Rohingya Dikatakan Sebagai Pemberontak

JAKARTA (VoA-Islam) – Dalam sebuah Dialog Interaktif bertajuk “Rohingya Terlunta: Wajah Kaum Minoritas yang Tertindas” yang digelar ICIS (International Conference of Islamic Scholars), dikatakan, bahwa etnis Muslim Rohingya ingin mendirikan negara terpisah, yakni negara untuk Rohingya sendiri. Stigma ekstrim dan fundamental pun dilekatkan pada etnis Rohingya. Ini adalah sebuah penyesatan opini, dan upaya memutar balikkan fakta apa yang sesungguhnya terjadi di Myanmar.

Hadir sebagai narasumber dalam dialog tersebut, yakni: KH. Hasyim Muzadi (Sekjen ICIS), Muhammad Nashihin (Pemred Republika), Ifdhal Kasim (Ketua Komnas HaM), Riefqi Muna, Ph.D (Litbang PP Muhammadiyah), dan Rafidin Djamin (Wakil RI di Komisi HAM ASEAN).

Muhammad Rofiq, salah seorang pengungsi Rohingya yang kini tinggal di Cisarua-Boro, tidak benar pendapat, bahwa Muslim Rohingya ingin mendirikan negara, dan merusak kuil. Mengingat etnis Rohingya secara jumlah sangat sedikit, sehingga tidak mungkin terpikir untuk mendirikan negara sendiri.

Muhammad Anshor (Direktur Departemen HAM Kemenlu) mengatakan, Muslim Rohingya yang terusir di Myanmar, dan yang berteduh di kamp-kamp pengungsian adalah sebuah konflik komunal. Eskalasi konflik itu meningkat pada akhir Mei lalu yang diwarnai oleh tragedi kemanusiaan, baik dalam bentuk pemerkosaan maupun pembunuhan.

Anshor menjelaskan, ada sekitar 30 ribu etnis Muslim Rohingya, dan 14 ribu etnis Rakhin, termasuk yang selamat di Indonesia. Ia menyalahkan media massa, khususnya media online yang memberitakan secara sepihak, terkait kondisi Muslim Rohingya. Ia juga menyesalkan, jika banyak foto yang sudah direkayasa di media maya. Angka yang mati pun terjadi simpang siur, ada yang mengatakan yang syahid mencapai 7000-9000 orang. “Di Kemlu, kami menekuni masalah Rohingya sudah lama, terutama masalah pengungsi dan demokratisasi di Myanmar.”

Bicara sejarah, ternyata banyak pendapat berbeda mengenai asal muasal etnis Rohingya. Sejak tahun 1970-an dan 1978, Junta militer sudah melakukan politik diskriminasi pada etnis Rohingya. Politik diskriminasi kemudian didukung oleh sentimen publik Myanmar secara umum, dimana dikatakan bahwa etnis Rohingya dianggap sebagai pendatang, bukan sebagai orang Myanmar.

Diskriminasi semakin mengental pada tahun 1982, ketika dikeluarkan UU kewarganegaaraan, sehingga berdampak buruk bagi etnis Rohingya, karena telah dicabut status kewarganegaraannya (stateless).

Anshor malah mengatakan, orang Rohingya sendiri justru lari dari kampung halamannya ke negara tetangga, Bangladesh, ada sekitar 300-400 ribu di Bangladesh. Di negara itu, mereka beranak pinak, hingga ketika kembali ke Myanmar menjadi sulit diterima sebagai warga negara Myanmar. Begitu juga yang ada di perbatasan Thailand.

Tekan Bangladesh

Junta militer Myanmar kemudian memperlakukan etnis Rohingya untuk kerja paksa. Stigma ektrim dan fundamental pun dilekatkan pada etnis Rohingya, karena dituduh ingin mendirikan negara terpisah, yakni negara untuk Rohingya sendiri. Di negeri sendiri terlunta, di negara adopsi seperti Bangladesh pun tidak diakui. Maka begitu etnis Rohingya masuk ke negara Bangladesh, mereka akan dicegah dan ditangkap.

Setidaknya, ada tiga LSM internasional yang hendak memberi bantuan, namun oleh Bangladesh justru dihentikan. Pemerintah Bangladesh khawatir, etnis muslim Rohingya akan kembali berbondong-bondong untuk datang ke Bangladesh.

Ansor melihat, masih ada harapan pemerintah Myanmar terus melakukan perbaikan, sehingga peluang penyelesaian dan  kemajuan demokratisasi baru di Myanmar akan lebih terbuka. Presiden Myanmar mengatakan, untuk generasi ke-3 orang Rohingya (di negara bagian Rakhine) yang mendaftar akan mendapat rekomendasi dari negara bagian. Sedangkan untuk generasi ke-4 dan seterusnya otomatis diterima sebagai warga Myanmar. “Ini suatu kemajuan.” Desastian


latestnews

View Full Version