View Full Version
Ahad, 10 Feb 2013

Dibalik Kemegahan Perayaan Imlek: Orang Cina Ingin Aset Bisnisnya Aman

SOLO (voa-islam.com) – Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Surakarta, KH. Sholekhan Mahdum Cahyana, Lc melihat ada nuansa politik di balik kemegahan perayaan imlek di Tanah Air. Itulah sebabnya, orang-orang China kaya yang ada di Indonesia, yang kebanyakan berprofesi sebagai pengusaha, ingin agar aset bisnisnya aman. Mereka pun ingin membuat sebuah pencitraan, seakan-akan komunitas mereka itu besar dan banyak. Setidaknya, mereka ingin masyarakat asli Indonesia tidak lagi membenci dan memusuhi masyarakat Tionghoa.

“Orang Cina di Indonesia yang punya aset bisnis banyak, tentu ingin mengamankan aset mereka disini. Nah, dengan adanya perayaan Imlek yang dibuat sedemikian besar dan megah itu, maka masyarakat yang dulunya -- sebelum Indonesia Merdeka – benci pada masyarakat Cina, diharapkan menjadi sedikit berkurang kebencian dan permusuhannya kepada orang-orang China,” tuturnya.

KH. Sholekhan menyatakan, perayaan Imlek yang setiap tahunnya dirayakan sedemikian megahnya di Indonesia, tentu  mempunyai maksud tertentu, yakni adanya misi politik didalamnya.“Yang namanya Konghuchu di China itu bukan agama, hanya budaya dan sebuah aliran kepercayaan saja. Begitu juga di Indonesia. Gus Dur lah yang menjadikan perayaan imlek ini sebagai dalih untuk membela kaum minoritas, ini politik,” ucapnya.

Menurut KH. Sholekhan MC, gerakan politik yang dilakukan oleh orang-orang China, terutama yang menetap dan tinggal di Indonesia, memanfaatkan orang-orang pribumi sebagai upaya untuk mendapatkan pengakuan dan hak yang sama sebagai masyarakat.

“Sampai hari ini, disemua lembaga negara di pemerintahan belum ada yang mengakui Konghuchu sebagai sebuah agama. Gus Dur dan konco-konconya itulah yang memperjuangkan hak masyarakat Konghuchu. Tujuannya agar istilah mayoritas-minoritas hilang, sehingga kedudukan masyarakat China sama dengan penduduk asli, dan secara social dan hukum punya hak yang sama,” terangnya.

Sekilas Imlek

Dalam litelatur sejarah China, Imlek adalah upacara adat istiadat yang dilakukan oleh aliran kebathinan atau sebuah aliran keyakinan di China yang bernama Konghuchu. Masyarakat China yang beraliran Konghuchu mempunyai keyakinan, jika mereka sedang memasuki musim panen atau mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah, maka masyarakat setempat harus mengadakan acara semacam selamatan atau syukuran.

Bentuk syukur yang mereka lakukan sebetulnya juga hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh sebagian orang islam yang ada di Indonesia, seperti ada istilah “sedekah laut dan sedekah bumi”. Sedekah Laut dilakukan jika para nelayan sedang memasuki musim tangkap ikan dan mendapatkan hasil yang banyak. Adapun Sedekah Bumi dilakukan oleh sebagian masyarakat di Indoensia jika sedang memasuki musim tandur dan mendapatkan hasil panenan yang melimpah ruah.

Namun perbedaannya, kalau masyarakat Konghuchu merayakan Imlek dengan cara menghias rumah mereka, saling memberikan uang kepada anak kecil atau sesama yang kemudian di istilahkan dengan memberi Angpao, dan sebagainya. Sedangkan, sedekah laut membuang sejumlah sesajen kelaut yang dipersembahkan untuk “sang penunggu laut”.

Saat Indonesia masih menjadi jajahan Hindia Belanda, tradisi perayaan Imlek ini kemudian dibawa ke Indonesia oleh orang-orang dari China yang rata-rata berprofesi sebagai pedagang. Namun yang perlu dicermati, dari perayaan Imlek di Indonesia adalah kenapa setiap kali diadakan imlek selalu dirayakan dengan event yang besar besar dan megah, bahkan sampai diekspos sedemikian rupa oleh sejumlah media televisi swasta? Padahal penduduk Tionghoa atau masyarakat Konghuchu di Indonesia hanya sekian persen saja dari mayoritas penduduk di Indonesia.

Dengan realita sejarah seperti itu, KH. Sholekhan menghimbau kepada masyarakat luas, khususnya kepada umat Islam, agar tidak ikut arus dengan mengikuti perayaan tahun baru Imlek yang memang bukan berasal dari budaya dan ajaran islam. Terlebih kalau dalam perayaan tersebut ada unsur kemaksiatan dan kemungkarannya seperti bercampur baurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya.

“Hendaknya umat Islam tidak asal ikut-ikutan budaya, adat istiadat dan keyakinan umat atau ajaran diluar agama islam. Apalagi jika budaya atau perayaan tersebut ada unsur kemaksiatannya. Yang pertama karena Islam tidak mengajarkannya. Kedua, karena mengandung kemungkaran,” pesannya kepada kaum muslimin. [Bekti]


latestnews

View Full Version