View Full Version
Selasa, 22 Oct 2013

Suap Impor Daging Sapi:Fathanah Dituntut 17 Tahun & 6 Bulan Penjara

JAKARTA (voa-islam.com) – Dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/10) terkait kasus suap impor daging sapi di Kementerian Pertanian, terdakwa Ahmad Fathanah dijerat dengan hukuman penjara selama 7 tahun dan 6 bulan penjara.

Fathanah juga dituntut hukuman 10 tahun penjara untuk tindak pidana korupsi pengurusan permohonan kuota impor daging sapi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Fathanah tidak menyangka akan tingginya tuntutan jaksa. Namun, ia mengatakan, semuanya belum final. Ia dan penasihat hukum berencana untuk mengajukan nota pembelaan (pledoi) pada agenda persidangan berikutnya, pekan depan.

Jaksa menilai Fathanah menerima uang Rp 1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Maria Elizabeth Liman. Dana itu disebut merupakan bagian dari total komisi senilai Rp 40 miliar. Jaksa menyebut dana itu ditujukan untuk Luthfi Hasan Ishaaq yang saat itu masih menjabat sebagai anggota DPR RI dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pemberian dana itu agar Luthfi bergerak untuk memengaruhi pejabat di Kementerian Pertanian sehingga permohonan kuota impor daging sapi sebesar 8.000 ribu ton bisa terealisasi.

Sedangkan terkait TPPU, jaksa menilai Fathanah tidak bisa membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana korupsi. Selama periode Januari 2011-Januari 2013, Fathanah disebut melakukan transaksi senilai Rp 38,709 miliar. Ia disebut melakukan transaksi, antara lain mengirim uang ke sejumlah orang, membeli aset, seperti rumah dan mobil, kemudian membeli perhiasan. Harta itu dinilai tidak sesuai dengan profil penghasilan Fathanah. Fathanah mengaku mempunyai penghasilan Rp 100 juta per bulan dengan pekerjaan sebagai penghubung antar pengusaha.

Dalam tindak pidana korupsi, jaksa menuntut Fathanah dihukum tujuh tahun dan enam bulan penjara. Ia juga dituntut membayar denda Rp 500 juta subsidair enam bulan kurungan. Sedangkan dalam TPPU, jaksa menuntut Fathanah divonis 10 tahun penjara. Ia juga dituntut untuk membayar denda Rp 1 miliar subsidair satu tahun enam bulan kurungan.

Tuntutan Jaksa

Tuntutan Jaksa tersebut diajukan berdasarkan dakwaan kesatu perdana, yaitu sesuai Pasal 12 huruf a UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara 10 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun dan 6 bulan kurungan,” kata Rini, salah satu anggota jaksa penuntut umum.

Tuntutan tersebut berdasarkan dakwaan kedua, yaitu Pasal 3 UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP dan dakwaan ketiga dari Pasal 5 UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Tuntutan pidana itu diambil setelah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Fathanah. “Hal memberatkan adalah perbuatan terdakwa dilakukan di saat negara sedang giat-giatnya melakukan upaya pemberantasan korupsi, tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa secara bersama-sama dan terorganisir merusak kebijakan pemerintah terkait pembatasan kuota impor daging sapi dan berakibat pada pelanggaran hak ekonomi peternak lokal untuk memasok kebutuhan daging dalam negeri,” kata jaksa.

Fathanah dinilai bersama-sama dengan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq memberikan keuntungan kepada pengusaha tertentu dan merugikan hak-hak ekonomi masyarakat. “Perbuatan terdakwa bersama-sama dengan Luthfi Hasan Ishaaq selaku anggota DPR yang menjabat jabatan publik selaku presiden partai untuk memenuhi permintaan pelaku impor daging tertentu dan pengusaha-pengusaha lainnya agar mendapat keuntungan dan kebijakan izin dan proyek lainnya di lingkungan Kementerian Pertanian adalah perbuatan korupsi yang dilarang Undang-undang karena dapat memberikan kerugian terhadap hak-hak ekonomi masyarakat,” tandas Rini.

Hal lain yang memberatkan adalah karena Fathanah pernah terjerat masalah hukum di masa lalu baik di Indonesia maupun di luar negeri. “Terdakwa sebagai private sector birokrasi khususnya di Kementerian Pertanian terdakwa telah melakukan beberapa kejahatan, terdakwa pernah dihukum dalam perkara penipuan menurut hukum Indonesia pada 2005 dan dalam perkara illegal traficking menurut hukum Australia pada 2008.”

Dalam perbuatan tindak pidana korupsi, jaksa melihat bahwa Fathanah telah terbukti menerima uang Rp1,3 miliar dari Arya Abdi Effendi dan Juard Effendi dari PT Indoguna Utama untuk diberikan kepada Luthfi Hasan Ishaaq terkait jabatan Luthfi sebagai anggota Komisi I DPR dan Presiden PKS untuk mengatur kuota impor daging sapi bagi PT Indoguna Utama sebanyak 8.000 ton dengan commitment fee senilai Rp5.000/kg sehingga total komisi adalah Rp40 miliar.

“Terdakwa sudah menerima uang Rp1,3 miliar dari seluruhnya Rp40 miliar untuk keperluan Luthfi selaku anggota DPR dan ketua PKS dimana uang yang sudah diterima maupun yang dijanjikan terkait pengurusan permohonan kuota impor daging,” kata jaksa Wawan Yunarwanto.

Meski Fathanah berkilah bahwa dana tersebut diminta untuk kegiatan seminar dan kegiatan tambah-tambah kemanusiaan di Papua, hal itu tidak berkesuaian dengan keterangan sejumlah saksi lainnya seperti Elda Devianne Adiningrat, Ahmad Zaky, Ahmad Rozy, Arya Abdi Effendi, Sahruddin dan Maria Elizabeth Liman.

Dalam perkara tindak pidana pencucian uang dalam dakwaan kedua, jaksa menilai bahwa Fathanah terbukti telah menempatkan sejumlah uang dan membelanjakan uang tersebut sebagai upaya untuk menutupi tindak pidana korupsi. “Kami berkeyakinan perbuatan terdakwa telah memenuhi rumusan unsur yang patut diduga tindak pidana korupsi yaitu pada Januari 2011-2013 terbukti melakukan tindak pidana menempatkan, mentransfer, menukarkan sejumlah uang hingga mencapai Rp38,7 miliar yang patut diduga sebagai tindak pidana korupsi,” ungkap Wawan.

Jaksa juga menilai bahwa Fathanah menggunakan pengaruh Luthfi untuk mendapatkan komisi dalam proyek maupun dalam pencalonan pejabat publik. “Terdakwa menerima transfer merupakan transaksi keuangan tidak wajar dan tidak sesuai dengan profil keuangan dan tidak bisa dibuktikan sehingga patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi yaitu menerima uang terkait dengan ‘fee’ proyek atau pencalonan orang sebagai pejabat dengan menggunakan pengaruh saksi Luthfi sebagai ketua partai, sehingga perbuatan terdakwa menerima transfer sudah memenuhi tindak pidana,” tambah Wawan. [desastian/dbs]

 

 

 

 


latestnews

View Full Version