View Full Version
Sabtu, 30 Nov 2013

Tiga Celah Kapitalisme Masuk Indonesia Melalui Agen Neo Liberal

JAKARTA (voa-islam.com) Ada tiga misi luhur ketika Indonesia merdeka 68 tahun silam, yaitu kemandirian di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian di bidang budaya. Namun semboyan yang di kenal sebagai Trisakti kemerdekaan ini kini sudah dilupakan oleh pemimpin Indonesia.

Menurut pengamat ekonomi politik, Hatta Taliwang, cengkraman asing terhadap Indonesia kini telah menuju pada titik sempurna. Hal itu karena oleh adanya pintu-pintu masuk utama bagi kapitalisme global yang akhirnya mencengkram kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Termasuk karena karena lemahnya implementasi Trisakti. 
 
Kerja keras Umat Islam terdahulu, para Ulama & muhajid  bahu membahu hingga tetes darah menegakkan izzah yang sepantasnyalah sebagai pemilik saham kemerdekaan Indonesia dari para penjajah. Namun pengkhianatan demi pengkhianatan terus terjadi hingga kini, sejak di batalkannya piagam Jakarta dan menghapus 7 Kata tentang kewajiban menegakkan syariat Islam bagi pemeluknya, kini Polwan berjilbab cuma berumur sepekan dari pernyataan Kapolri Jend Pol Sutarman.

Sejarah mencatat, sekitar dua bulan sebelum proklamasi, atau Mei 1945, para pendiri negara mempersiapkan perangkat-perangkat yang dibutuhkan sebuah negara yang berdaulat. Dan pada 28 Mei  dibentuklah suatu badan yang diberi nama BPUPKI, yang diketuai Dr. Radjiman Wediodiningrat.

Badan yang punya anggota sebanyak 62 orang ini, pada sidang pertama (29 Mei 1945) membahas apa dasar negara yang akan terbentuk nanti. Dari 62 anggota, 35 orang yang berlatar belakang Islam menghendaki Islam sebagai dasar negara. Selebihnya, kaum nasionalis atau kebangsaan tidak menginginkan peran agama dalam negara.

Setelah melalui perdebatan yang seru dan panjang, dan dicapainya kompromi politik, pada 22 Juni  1945 akhirnya panitia ini berhasil merumuskan suatu konsensus politik yang mencerminkan dan mewadahi aspirasi semua golongan. Konsensus para  founding father  tesebut kini kita kenal dengan nama Piagam Jakarta.      

Pada 18 Agustus 1945, atau sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Bung Hatta, mengusulkan agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yakni: “dengan kewajiban  syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dihilangkan dari teks Piagam Jakarta itu. Hal ini karena ada keberatan dari tokoh-tokoh Indonesia dari bagian timur yang tidak menghendaki adanya kata-kata yang kesannya hanya menyangkut satu golongan saja dari masyarakat Indonesia, kendati pun golongan itu mayoritas.

Konon tokoh-tokoh dari bagian timur negeri ini mengancam memisahkan diri dari negara yang akan dibentuk itu apabila ketujuh kata tersebut  tidak dicabut dari Piagam Jakarta yang merupakan Pembukaan UUD 45. Di samping itu ada kekhawatiran bahwa pihak Belanda yang berusaha untuk menguasai Indonesia kembali, akan memanfaatkan kelompok yang tidak menghendaki ketujuh kata tersebut. Jika demikian, maka persatuan dan kesatuan Indonesia bisa pecah (Silalahi, 2001).

Tiga Celah Kapitalisme Masuk Indonesia Melalui Agen Neo Liberal
 
"Ada tiga pintu. Pertama, lewat kebijakan ekonomi via LOI, World Bank, IMF, ADB, dan lain-lain. Dengan agen utama mafia Barkeley dan pendukung neolibnya," ujar Hatta dalam diskusi bertajuk 'Fakta Liberalisasi Bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945' di Kampus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.

Revolusi fisik dan hukum dari rakyat wajib di kedepankan, karena semua pintu masuk utama bagi kapitalisme global yang mencengkram melalui ini sudah berjalan, berikut indikasinya :

1) Yang pertama melalui kebijakan ekonomi via LOI, World Bank, IMF, ADB, dan lain-lain. Para aktor dan agen utama tak lain berasal dari mafia Barkeley dan pendukung neoliberalnya.  output itu semua adalah mayoritas rakyat terlempar jadi miskin. Sumber daya alam Indonesia dikuras habis untuk memperkaya negara tertentu dan memakmurkan sebagian antek serta aktor aktor dalam dunia bisnis di tanah air. Sebaliknya rakyat Indonesia terjajah secara ekonomi terutama umat Islam.

2) Lalu yang kedua melalui kebijakan politik yaitu amandemen UUD 1945, UU yang dibiayai asing, agen-agen asing berkeliaran di hampir semua instansi. Semua LSM yang ditunjuk diperbantukan untuk mempengaruhi opini publik, kebijakan pemerintah dan merangsek ke lembaga negara. Contohnya saja
 
"Melaui KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang bekerjasama dengan asing yang melakukan screening terhadap partai, tokoh, dan lainnya yang boleh lolos untuk kontestasi pemilu. Outputnya, yang masuk ke DPR atau DPRD mayoritas ideologinya tidak jelas, tidak punya visi kenegarawanan, transaksional, dan bermental karyawan politik. Ini menyebabkan kita terjajah secara politik, karena aktor-aktor politik yang tidak bermutu hingga Indonesia dikendalikan penguasa global," jelas Hatta Taliwang.
 
3) Terakhir, cengkraman asing menyusup melalui kebijakan sosial, agama, budaya, dan pendidikan yang semakin liberal. 

Masalah kegelisahan umat Islam pada lembaga UIN yang condong kepada Sepilis (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme) belum tuntas adanya. Bahkan kini semakin berani, buktinya bible bebas berkeliaran di lembaga pendidikan Islam yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam memperkuat aqidah umat. Ini sama saja 'gol bunuh diri' di kandang sendiri! 

Contoh saja, di UIN Jakarta Fakultas Ushuludin yang esensinya menjadi fakultas pengemban dakwah Islam ini malah menjebol gawang sendiri dengan mengundang agama - agama lain yang telah jelas kesesatan dan permusuhannya kepada Islam dan mencoba mendakwahkan agama mereka kepada para mahasiswa UIN. 

Pada salah satu stand agama Kristen tanpa sungkan membagi-bagikan paket berupa Al Kitab (Injil), Komik Kristen, Mazmur, dan buku Kristen kepada para mahasiswa yang mengunjungi stand tersebut dengan terlebih dahulu didakwahi agama Kristen.

Ditopang siaran televisi, alat telekomunikasi yang makin canggih dan dikuasai mafia cina 80% rasanya menjadi tidak sulit. Hasilnya memang ada yang positif tapi banyak juga yang negatif. Manusia-manusia pintar makin banyak tapi nuraninya kering, hedonis, korup, exibishionist, serakah, mudah diadu domba, fanatik sempit, sukuisme, dan egois. Secara sosial budaya, kita tidak berkepribadian, kita mental terjajah. [ak/imam/voa-islam.com]

latestnews

View Full Version