View Full Version
Ahad, 19 Oct 2014

Ustadz Yusuf Mansur Vs Ketum GP Anshor Nusron Wahid berlanjut Polemik

JAKARTA (voa-islam.com) - Polemik berkepanjangan terjadi antara Yusuf Mansur dan ketua GP Anshor, ini menjadikan semacam adu debat yang tak akan berujung.

Akibat pernyataan kontroversial Ketum GP Anshor, Nusron Wahid, yang menyatakan “ayat konstitusi di atas Ayat Al Quran” di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One, berbuntut panjang.

Ustadz Yusuf Mansur pun turut memberikan masukan, terkait ucapan Nusron Wahid itu. “Jangan sampe belagu lah, dengan mengatakan, ‘Hukum konstitusi lebih tinggi dari Hukum Agama…’ Cari bahasa lain yang gak menyinggung ummat dan Allah,” ujar Ustadz Yusuf Mansur melalui akun Twitter  @Yusuf_Mansur.

@Yusuf_Mansur juga menulis: ” Intinya sih, jangan sampe kelewatan ngomong. Sehingga kesannya lebih  tau dari Allah. Padahal bisa jadi kitanya yang belum nyampe. Jangan sampe kesombongan.”

Sebelumnya, di acara ILC yang ditayangkan TV One, Selasa (14/10), Nusron Wahid menyatakan bahwa “ayat konstitusi di atas Ayat Al Quran”. ILC menghadirkan perwakilan dari Front Pembela Islam (FPI) dan sejumlah tokoh agama lainnya.

Menyikapi pernyataan Nusron Wahid, secara spontan Ketua Majelis Syura DPP FPI KH Misbahul Anam menanggapi dengan ketus pernyataan itu. “Kepada semua anggota GP Anshor di seluruh Indonesia sesuai ‘Fatwa’ Ketumnya, maka mulai besok jangan baca Ayat Al-Qur’an tapi baca saja ayat konstitusi, dan kalau sekarat atau mati maka jangan dibacakan Yasin, tapi bacakan saja ayat konstitusi,” tegas KH Misbahul Anam.

Dalam acara itu, Nusron Wahid, Sekjen PBNU Marsudi Syuhud, dan Pendeta Benny Susetyo sepakat bahwa Ahok sah sebagai pemimpin Jakarta. Di sisi lain, fihak FPI yang diwakili Ketua Hisbah DPP FPI KH. Awit Masyhuri dan Sekum FPI KH. Ja’far Shiddiq tetap pada prinsip Islam bahwa Ahok haram menjadi pemimpin di Jakarta sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Al-Ijma.

Banyak yang berkomentar setelah Ketua Gerakan Pemuda Anshor, Nusron Wahid, menyatakan di sebuah acara di televisi bahwa “ayat konstitusi di atas ayat Alquran”. Ada media yang kemudian juga memberitakan bahwa ustaz yang dikenal sebagai penganjur kesalihan sosial dengan bersedekah, Ustaz Yusuf Mansyur, ikut mengomentasi pernyataan Nusron tersebut.

“Jangan sampe belagulah, dengan mengatakan ‘Hukum konstitusi lebih tinggi dari Hukum Agama…’ Cari bahasa lain yang gak menyinggung ummat dan Allah,” demikian ditulis media, yang dikatakan sebagai ucapa Ustad Yusuf Mansyur melalui akun Twitter-nya.

Diberitakan juga, Ustaz Yusuf Mansyur meminta kita sebagai manusia jangan berlebihan. ”Intinya sih, jangan sampe kelewatan ngomong. Sehingga kesannya lebih  tau dari Allah. Padahal bisa jadi kitanya yang belum nyampe. Jangan sampe kesombongan,” demikian diberitakan media.

Namun, pada Sabtu ini (18/10), Ustaz Yusuf Mansyur menjelaskan, dirinya tidak pernah mengomentari pernyataan Nusron Wahid. “Sya enggak pernah ngomenin Gus Nusron Wahid, lo…  Twit saya bareng tausiyah saya, yang pas saya amatin bareng dengan kejadian yang diramaikan. I’m not komeners,” kata Ustaz Yusud Mansyur lewat Twitter, dengan cara pengetikan yang sudah disunting agar lebih enak dibaca.

Jadi, komentar Yusuf Mansyur itu bukan ditujukan khusus kepada Nusron Wahid dan itu pun dilakukan Ustaz Yusuf Mansyur tanpa dirinya sebelumnya mengetahui kalau Nusron berkata demikian.

“Saya akhirnya nyari tahu. Rupa-rupanya ada kalimat di TV One. Saya enggak tahu persis gimana kejadian dan kalimatnya. Karena itu, enggak mungkin twit saya adalah komen atas itu,” ujar Ustaz Yusuf.

Kendati begitu, Ustaz Yusuf Mansyur menegaskan, dirinya adalah orang yang termasuk berprinsip bahwa tidak ada hukum yang lebih tinggi daripada hukum agama, Alquran, dan Tuhan. “Namun, pemaknaan orang barangkali berbeda,” tuturnya.

Yang menarik, twit-nya hari ini juga mengungkapkan informasi bahwa ternyata Ustaz Yusuf Mansyur pernah ditawari untuk menjadi menteri oleh presiden. Namun, ia tidak menyebut siapa presiden yang menawari posisi menteri itu, diminta sebagai menteri apa, dan kapan itu terjadi. Ustaz Yusuf Mansyur hanya mengatakan serunya dipanggil untuk menjadi menteri, yang kisahnya akan ia ungkapkan kapan-kapan.

Berikut ini adalah transkip dari komentar Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nusron Wahid dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) TVOne pada 14 Oktober 2014 :

Saya melihat ini untuk kesekian kalinya menilai bahwa kekurang-tepatan dalam implementasi berdakwahnya kepada masyarakat Indonesia, tadi disampaikan oleh teman-teman dari FPI mengatakan ‘kita ini punya 3 (tiga) hukum, konstitusi (hukum negara), hukum agama dan hukum adat’. Diatas hukum agama dan hukum adat itu ada konstitusi. Ketika kita ini bernegara, maka kita ini acuannya adalah konstitusi, nah karena itu sekali lagi acuannya adalah konstitusi.

kalau memang ada masalah-masalah terhadap individu Ahok, yang perlu dibuktikan ini adalah nalar konstitusinalitasnya, bukan pada nalar suka atau tidak suka,

kita ini orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang ada di Indonesia, sekali lagi saya katakan kita ini orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang ada di Indonesia. kita lahir, kita sujud, kita shalat di bumi Indonesia, karena itu kita tidak boleh mengotori bumi Indonesia karena kita sujud di bumi Indonesia. karena kita sujud di bumi Indonesia maka harus kita jaga Indonesia ini.

cara menjaganya bagaimana? dengan toleran, ada panduan-panduan yaitu Ud’u Ilaa Sabili Rabbika bil-Hikmah wal Mauidlotil Hasanah, kalau memang ada masalah dengan Ahok, kenapa tidak disampaikan dengan uswatun hasanah, dengan bil-hikmah, saya kira orang seperti Ahok itu orang yang senang berdebat, bukan anti debat, tadi dikatakan mulutnya ‘cablak’, orang ‘cablak’ pasti dia suka debat, suka dikritik, iya kan?! karena itu yang kita tekankan adalah apa yang dilanggar dalam undang-undang dasar oleh Ahok. Itu dibuktikan secara konstitusinalitasnya. Perkara dia kemudian ditetapkan oleh konstitusi menjadi Gubernur atau tidak menjadi Gubernur, itu urusan konstitusi, tugas konstitusional, bukan tugas suka atau tidak suka. kalau kita ingin menerima karena alasan agama gak mau dipimpin, karena mayoritas umat Islam gak mau dipimpin orang minoritas dan sebagainya, pada satu sisi kita melihatnya ‘ini Indonesia’. Di Indonesia tidak mengenal dominasi mayoritas maupun tirani minoritas.

Di NTT, saya sebutkan hari ini, ketua DPRD-nya muslim, saudara Anwar.., saya kenal baik karena orang golkar tapi tidak dipecat kayak saya. harusnya Romo Beni protes gimana mayoritas umat Katolik dipimpin oleh ketua DPRD-nya muslim, tetapi karena di Indonesia ini berdasarkan konstitusinya adalah Pancasila dan UUD’45, kita melihatnya adalah meritokrasi, siapapun di Indonesia ini sepanjang dia itu mumpuni, dia itu mampu melaksanakan tugas-tugasnya, sepanjang dipilih oleh rakyat dan ada konstitusinalitasnya, ya sudah.. mau apalagi?!

kalau bicara suka/tidak suka, kita gak mungkin suka dengan semua orang, hari ini pun kita gak suka dengan pak Desmot, bisa.., contoh ya. Tetapi kita gak masalah suka atau tidak suka, ini ranah publik, ini hukum publik bukan hukum privat, gak bisa didekati dengan pendekatan-pendekatan privat. Nah lagi pula nanti mungkin bisa ditambah, kalau bagi kami pak Karni Ilyas, ini kita serahkan kepada wilayah konstitusinalitas-nya, Ahok nanti kita nilai ketika dia menjadi Gubernur atau ditetapkan sebagai plt. Gubernur, apakah dia mampu mensejahterakan rakyat atau tidak.

kalau ada maulid Nabi yang dipimpin oleh Habib Muchsin dan teman-teman FPI, dilarang oleh Ahok, kita sama-sama datang, Ahok salah itu.., kalau misal ada peringatan haul Habib luar batang dilarang oleh Ahok, Ahok pun harus kita tegur, tidak boleh itu…, karena itu adalah ritus-ritus amaliyah yang baik, kenapa dilarang?!. dan itu dilindungi oleh undang-undang, tasharraful imam manuutun bil maslahah, keabsahan seorang pemimpin itu diukur dari kemampuan dia menyejahterakan rakyatnya, bukan dilihat dari agama, suka atau etnisnya, bukan disitu. mau dia itu cina, mau itu jawa, mau itu betawi, sepanjang dia itu adil dan dia mampu mensejahterakan rakyatnya bumi Indonesia, ya sudah.. itulah pemimpinnya, kita tidak boleh mempersonifikasi melihat orang itu dari perspektif-perspektif privatnya, dia agamanya apa, sukunya apa, tidak akan selesai, kecuali kalau dia pemimpin rumah tangga, ini pemimpin negara, ada undang-undang negara tentang itu,

Saya kira itu pak Karni, terima kasih… [ibnu L’ Rabassa/pribumi/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version