View Full Version
Ahad, 04 Jan 2015

Kalangan Kristen, Golongan Paling Tidak Toleran dan Tidak Tahu Diri?

JAKARTA (voa-islam.com) - Kalangan Kristen  berang terhadap  Sultan Hamengku Buwono X, fasalnya Sultan dinilai tidak tegas menghadapi kalangan-kalangan yang melakukan ‘kekerasan’ terhadap kalangan Kristen, termasuk pengrusakan gereja di daerah Yogyakarta. Sultan dianggap gagal melindungi kaum minoritas.

Sejatinya, di Yogya dan dimanapun di negeri ini, kalangan Kristen itu mendapatkan kebebasan yang sangat tidak terbatas. Melakukan apa saja dibolehkan. Termasuk melakukan permurtadan di mana-mana, tidak ada yang peduli.

Bahkan, laporan yang ada mengatakan tidak kurang 2 juta orang Islam yang setiap tahunnya ‘MURTAD’. Tapi kalangan Kristen masih merasa di aniaya dan dianak tirikan di Indonesia.

Pertumbuhan gereja di Indonesia melebihi pertumbuhan masjid yang menjadi tempat ibadah kaum Muslimin. Sementara itu, gereja yang menjadi tempat ibadah kalangan Kristen, menurut laporan Litbang Depag, setiap tahunnya melebihi 200 persen. Sangat luar biasa.

Tapi, kalangan  Kristen masih merasa didiskriminasi. Dibatasi, dihambat, dan bahkan menuduh kalangan Islam tidak toleran,  dan terus melakukan kekerasan  terhadap kalangan Kristen.

Sejak zaman Soeharto kalangan Kristen terus dianak emaskan dan bahkan mendapatkan jabatan  yang sangat  tidak terbatass di dalam kekuasaan.

Sehingga, melakukan komplotan  dengan Soeharto menghancurkan golongan Islam. Dengan kekerasan yang lebih dahsyat. Seperti  pembantaian di Talang Sari, Tanjung Priok, semua berada ditangan Jendral Benny Murdani.

Pembantaian Muslim itu, sengaja dijalankan, guna menghancurkan golongan Islam. Dibidang ekonomi, Soeharto berkerjasama dengan Cina (Kristen), menghancurkan pengusaha pribumi Muslim.

Sejak zaman Soeharto  sampai sekarang golongan Islam, ditindas dan dihancurkan oleh rezim-rezim  yang berkuasa, tapi umat Islam tidak pernah ‘teriak’ tentang nasib mereka yang sangat tidak menguntungkan mereka.

Sementara itu, belum lama ini, Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) yang bergabung dalam Jaringan Antar Iman menyesalkan sikap Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X yang tidak tegas terhadap kasus-kasus intoleransi di DIY.

Sultan dinilai tidak bisa menggunakan otoritas tertingginya sebagai kepala daerah untuk mendesak Kepala Kepolisian Daerah DIY menuntaskan kasus-kasus intoleransi secara hukum.

Pada 2014 lalu, Jaringan Antar Iman melakukan dialog dengan Sultan di Keraton Kilen, Yogyakarta. Dalam dialog tersebut, Sultan berkeluh kesah, bahwa persoalan intoleransi yang masih terjadi di DIY karena penegakan hukum yang lemah.

Hanya saja, lanjut Woro, Sultan tidak bersedia menjelaskan kesulitannya untuk mendesak polisi memproses secara hukum. Apabila Sultan mau bercerita, Woro memastikan jejaring masyarakat sipil akan memberikan masukan. Lantaran jejaring masyarakat sipil adalah mitra kritis pemerintah, bukan menjadi musuh.

Lebih baik, menurut Woro, Sultan menggunakan hak keistimewaannya sebagai raja. "Kepala daerah lainnya kan abdi dalemnya. Itu juga bisa mendesak polisi," kata Woro.

Sebelumnya, The Wahid Institute telah merilis hasil surveinya selama 2014, bahwa kasus intoleransi tertinggi kedua ditempati DIY secara nasional. Jumlah kasus intoleransi di DIY selama 2014 ada 21 kasus. Mayoritas kasus adalah kekerasan antaragama.

Padahal, lanjut Woro, Yogyakarta telah ditetapkan sebagai City of Tolerance pada 3 Maret 2011. Sultan pun mendapat anugerah sebagai tokoh pluralisme yang diberikan Jaringan Antar Iman pada Mei 2014. Hanya saja, pencabutan anugerah itu, menurut Woro, tidak mungkin dilakukan.

"Anugerah itu bisa diartikan telah berhasil atau menjadi pemicu agar progresif," kata Woro. Kalangan Kristen juga berencana mencabut penghargaan kepada Sultan, tentangn ‘toleransi’, karena dinilai gagal melindung orang Kristen.

Sementara itu, Sultan mempertanyakan apakah benar masyarakat DIY mempunyai kebencian dan melakukan kekerasan yang berbasis perbedaan agama dan suku. "Enggak tahu ya. Apa benar begitu? Ya mungkin bisa terjadi intoleransi," kata Sultan saat ditemui di Kepatihan Yogyakarta, Rabu, 31 Desember 2014.

Namun Sultan menolak untuk mengajak kelompok-kelompok masyarakat yang intoleran untuk duduk bersama dan berdialog. "Enggak usah dikumpulkan. Itu kan kesadaran mereka yang didasari arogansi," kata Sultan.  Sejatinya yang tidak toleran?

Lihat menjelang NATAL, karyawan Muslim dipaksa menggunakan topi ‘SINTERKLAS’ dengan tulisan  ‘Mery Cristmas’, apakah ini bukan bertujuan memurtadkan Muslim? Padahal,  di dalam Islam orang yang ‘murtad’ harus dihukum mati !!

[dimas/dbs/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version