View Full Version
Selasa, 17 Jan 2017

Adian Husaini: Para Founding Fathers Mencitakan Indonesia Negara Tauhid

JAKARTA (voa-islam.com) - Dalam Majelis Akhir Tahun yang dilaksanakan Insists, Sabtu beberapa waktu yang lalu, peneliti senior Insists Dr Adian Husaini menyampaikan bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler, tapi Negara Tauhid.

Mengutip pernyataan Rois Am NU KH Achmad Siddiq, Adian menyatakan:

“Kata ‘Yang Maha Esa’ pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata ‘Yang Maha Esa’ merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu mencerminkan pengertian Tauhid (monoteisme murni) menurut Akidah Islamiyah. Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa,” terangnya.

Dalam makalahnya yang dibagikan kepada ratusan peserta, Adian juga menyatakan bahwa Ketua Umum MUI Prof Hamka pernah menjelaskan tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa pada pertemuan dengan Wanhamkamnas 25 Agustus 1976:

Jadi Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau diantara Preambul dengan materi undang-undang"

“Jadi Ketuhanan Yang Maha Esa di pasal 29 itu bukanlah Tuhan yang lain, melainkan Allah! Tidak mungkin bertentangan dan berkacau diantara Preambul dengan materi undang-undang.”

“Karena itu sudah sepatutya, sesuai dengan makna Pancasila yang sebenarnya, sebagaimana dirumuskan oleh para founding fathers, dalam negara Tauhid, yang mengakui Allah sebagai Tuhan, paham-paham syirik dan kemunkaran, tidak patut dikembangbiakkan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konsep Tauhid Islam, maka Tauhid sepatutnya diletakkan di tempat tinggi. Tidak disejajarkan dengan kemusyrikan. Konsep negara Tauhid ini tentunya dengan memandang bahwa Tauhid merupakan konsep ideal dan mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim,” jelas cendekiawan Islam yang produktif menulis buku ini.

Dalam Majelis Akhir Tahun 2016 Insists ini, Adian menyatakan dengan tegas bahwa tauhid dan syirik tidak boleh diberikan hak yang sama.

“Nggak ada hak murtad dalam Islam, sekali masuk Islam dibawa sampai mati,” terang Dosen Pasca Sarjana UIKA Bogor ini. Prinsip Islam ini berbeda dengan Deklarasi HAM PBB yang menyatakan bahwa termasuk hak asasi adalah hak untuk pindah agama.

Dalam majelis yang dihadiri mayoritas kaum muda terpelajar ini, Adian menekankan tentang pentingnya bangsa ini mempelajari sejarah masa lalunya. Ia mengutip pernyataan tokoh Islam terkenal Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam bukunya, Islam at the Crossroads : “No civilization can prosper or even exist, after having lost this pride and the connection with its own past”.

Pengalamannya dengan teman-teman Insists saat menimba ilmu dengan Prof Naquib al Attas di ISTAC Malaysia adalah bagaimana Prof Al Attas menekankan pentingnya kebanggaan (pride) sebagai seorang Muslim.  Adian menyampaikan bahwa kini umat Islam Indonesia diputus kebanggaannya terhadap sejarah bangsa ini, karena pelajaran sejarah yang kacau yang diberikan di sekolah atau universitas.

Penulis buku Wajah Peradaban Barat ini juga mengingatkan adanya penyakit bangsa ini yang berbahaya saat ini. Ia menjelaskan bahwa Pak Natsir (tokoh Masyumi) dulu pernah berdialog dengan Amien Rais, Kuntowijoyo dan lain-lain.

“Pak Natsir mengingatkan penyakit bangsa kita yang paling parah adalah hubbuddunya (cinta dunia),” jelasnya. Pak Natsir juga mengingatkan bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh guru yang mau berkorban untuk bangsanya.

Pak Natsir mengingatkan: “Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau. Mengapa keadaan berubah demikian? Kita takkan dapat memberikan jawab atas pertanyaan itu dengan satu atau dua perkataan saja. Semuanya harus ditinjau kepada perkembangan dalam masyarakat itu sendiri. Yang dapat kita saksikan ialah beberapa anasir dalam masyarakat sekarang ini, di antaranya:

Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu, dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang di luar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!… ”

Ia menjelaskan bahwa seorang Muslim harusnya 10 kali lipat kualitasnya disbanding orang kafir. Allah SWT menjelaskan : “Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (QS Al Anfal 65)

Terhadap masalah guru, Adian menekankan guru bukan tukang ngajar.

“Institusi pendidikan kita gagal melahirkan pejuang Islam (amar makruf nahi mungkar). Padahal Imam Ghazali menyatakan amar makruf nahi mungkar menentukan hidup matinya umat,” paparnya di Aula Gedung Insists yang baru, di Jalan Kalibata Utara II, Jakarta Selatan. [nuim/syahid/voa-islam.com]

 


latestnews

View Full Version