View Full Version
Senin, 17 Feb 2020

Ada Upaya RUU Cipta Kerja Cabut Peran MUI, IHW: Jangan Kooptasi Hukum Agama dengan Hukum Negara

JAKARTA (voa-islam.com)—Direktur Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah mengungkapkan RUU Cipta Kerja berpotensi menjadi RUU cilaka (celaka) bila menghapus peran ulama dalam penetapan fatwa atas produk halal.

Dalam siaran pers IHW yang diterima Voa Islam, Senin (17/2/2020) Ikhsan mencermat RUU  Omnibus Cipta Kerja yang berkaitan dengan pemfatwaan produk halal yaitu pada Pasal 1 angka 10. Pasal tersebut berbunyi, “Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal”.

Ikhsan menilai pada pasal itu ada upaya mengkooptasi hukum agama oleh hukum negara. Pemerintah, jelas Ikhsan, memberikan kewenangan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk menetapkan kehalalalan suatu produk. Inilah masalah yang mempunyai potensi perlawanan dari umat Islam.

"Sejak kapan BPJPH diberikan hak oleh Negara menjadi komisi fatwa? Bukankah itu ranah dan kewenangan ulama. Justru negara harus memperkuat posisi Ulama dengan fatwanya bukan malah mendelegitimasi apalagi menghilangkan,” kata Ikhsan.

Ikhsan mengungkapkan, sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 10 bahwa sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI. Ketentuan UU yang sudah diterima dan berlaku di masyarakat harusnya diperkuat lagi oleh negara bukan diserabut.

“Bila RUU Cipta Kerja mengesahkan ketentuan pasal tersebut, maka sama halnya BPJPH,  Kementerian Agama dan Negara telah mendelegitimasi peran-peran lembaga keagamaan khususnya MUI dan ini akan berhadapan dengan Umat Islam,” tegas Ikhsan yang juga advokat publik.

Menurut Ikhsan, berkaitan dengan Jaminan Produk Halal, maka yang dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah penyederhanaan proses yang berbeda dengan peniadaan ketentuan yang bersifat substantive. Misalnya Fatwa MUI untuk kehalalan produk artinya bahwa sertifikasi halal harus diselenggarakan berdasarkan prinsip keagamaan, karena terminologi halal dan haram adalah hukum agama yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi keulamaan.

“Fatwa produk halal bersifat (qodoi) artinya final dan binding, karena merupakan penetapan fiqih qada’i yang  hasilnya tidak dimungkinkan lagi dibuka ruang untuk pengujian kembali, tidak boleh lagi terjadi perbedaan pendapat. Oleh karenanya fatwa produk halal harus ditetapkan oleh Majelis ulama Indonesia bukan diserahksn kepada ormas-ormas Islam apalagi oleh orang-perseorangan,” jelas Ikhsan.

Untuk menghindari perbedaan fatwa karena harus bersifat final dan binding, lanjut Ikhsan, maka sudah tepat bahwa penetapan fatwa atas produk halal dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).  “Sebagaimana kita ketahui bahwa MUI tempat bernaungnya ormas Islam tempat berhimpunya para Ulama, zuama dan cendekiawan muslim, dari Nahdhlatul Ulama, Muhammadiyah, Al Irsyad Al Islamiyah, Matlaul Anwar dan 59 Ormas Islam lainya hingga Persatuan Umat Islam,” ujar Ikhsan.

Semangat Omnibus Law, jelas Ikhsan untuk mengharmonisasikan semua peraturan perundang-undangan yang memiliki kesamaan tetapi dengan ketentuan yang bertentangan. Maka Omnibus Law harus difungsikan untuk mengatasi konflik antarperaturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien.

Selanjutnya, menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah guna mendukung iklim investasi; pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif; memutus rantai birokrasi yang panjang. Meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah tersistem dalam kebijakan Omnibus Regulation yang terpadu serta menciptakan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.

Ikhsan mengingatkan agar semangat Omnibus Law RUU Cipta Kerja itu tidak menabrak prinsip keterbukaan atau transparansi. “Tetapi dengan tidak menabrak UU 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan yang menganut prinsip keterbukaan,” ujar Ikhsan.

Selanjutnya, pada RUU Cipta Kerja Pasal 4, memasukan ketentuan norma baru yang sebelumnya tidak ada dengan cara menyisipkan sebuah pasal baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Dikatakan Ikhsan, ini jelas tidak lazim jikapun boleh dilakukan maka ketentuan RUU Cipta Kerja Pasal 4 sebenarnya Pemerintah sedang menciptakan fase kemunduran 30 tahun kebelakang. Dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan menganggu ketentraman masyarakat yang selama ini telah diberikan jaminan kenyamanan dalam mengonsumsi dan menggunakan produk yang berlogo halal MUI penanda jaminan kehalalan suatu produk yang tidak berdasarkan pernyataan sepihak dari pelaku usaha (self declare).

Karena pada dasarnya semua pelaku usaha ingin melakukan self declare atau menyatakan kehalalan produknya sendiri. Justru dalam rangka menentramkan konsumen dan umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia, maka ketentuan kehalalan produk harus berdasarkan ketentuan fatwa MUI dan bukan dari yang lain. Bila ketentuan ini dipaksakan, maka negara sedang meruntuhkan bangunan moral yang selama ini dilakukan oleh para Ulama.

Selanjutnya, Pasal 14 UU JPH yang mengatur pengangkatan auditor halal oleh LPH harus memenuhi persyaratan di antaranya, warga negara Indonesia, beragama Islam, berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi. Memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam, mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan; dan memperoleh sertifikat dari MUI.

“Dalam RUU Cipta Kerja tersebut dihilangkan pengaturan terkait syarat-syarat dari pengangkatan auditor halal yang dimana salah satu syaratnya adalah memperoleh sertifikat dari MUI,” ujarnya.

Menurut dia, tugas auditor halal harus dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi, memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk dan pengetahuan syariah, dengan standard yang telah dimiliki oleh MUI selama lebih dari 30 tahun. Maka dengan dihilangkannya persyaratan menjadi auditor halal, maka sangat jelas RUU Cipta Kerja ini telah mendelegitimasi peran dan kewenangan ulama.

“Ingat auditor adalah wakil dan saksi dari ulama dalam melakukan proses pemeriksaan produk. Auditor halal tidak sekedar orang yang memiliki kapasitas keilmuan tetapi dia juga memahami tentang syariah dan telah disumpah sebagai wakil Ulama dalam proses pemeriksaan produk yang dimohonkan Sertifikasi halal,” tuturnya.

Lembaga Advokasi Halal mengapresiasi niatan pemerintah untuk menghapuskan biaya sertifikasi halal bagi UKM . “Inilah yang disuarakan oleh kami selama tiga tahun terakhir ini dalam rangka membantu UKM memperoleh sertifikasi halal dengan mudah dan murah, sehingga dapat memberikan dampak bagi pertumbuhan UKM di pasar domestik dan menjadi daya saing melakukan ekspor keluar negeri mendorong kembangnya industri halal di Tanah Air,” ujarnya.*[Syaf/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version