Kecenderungan umat mencari metode lain di berbagai komunitas spiritual lintas agama untuk mendapat ketenangan batin, menjadi tantangan dakwah tersendiri bagi para da’i. Agar tak sesat, umat harus dibekali ilmu tauhid dan akidah yang kuat. Berikan pemahaman, bahwa Islam adalah agama yang komprehensif, termasuk ketika mencari ketenangan jiwa.
Ketua Umum Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Dakwah (LPPD) Khairu Ummah Ustadz Ahmad Yani tak memungkiri, pelajaran Ilmu Tauhid dirasakan sangat kurang di masyarakat. Dalam kondisi sekarang ini, umat Islam harus digiring kembali pada pemahaman yang utuh tentang Islam yang komprehensif, nanti baru yang detilnya. Ada kecencerungan, penyempitan dalam memberikan pemahaman Islam terhadap masyarakat Muslim. Boleh jadi, itu akibat para dai yang hanya menyampaikan Islam sebagian saja. Padahal masih banyak yang harus diurai.
Ahmad Yani memberi contoh, ada dai yang hanya stresing di akidah saja. Atau ada yang ambil zikirnya saja, atau sedekahnya saja. Juga ada yang ambil jihadnya saja dengan persepsi sendiri-sendiri. Lalu ada yang pengobatan, tahajud, kekhusyukan dalam shalat dan sebagainya.
”Kalau ngaji fiqih terus. udah fiqih thaharah saja. Gak habis-habis. Itu tetap penting, tapi Islam tidak hanya itu. Spesialisasi boleh saja, tapi dia harus berangkat dari kerangka umum. Biar tidak menyempit dalam memahami agama,” ungkap Ahmad Yani di Sekretariat LPPD Khairu Ummah, Jl. Sumbawa No 7, Menteng, Jakarta Pusat.
Nah, kenapa orang mau cari metode dan pendekatan yang lain, seperti Yoga dan sebagainya. Itu karena seolah-olah dia tidak menemukan dalam Islam. Padahal Islam, jika mau diadopsi begitu banyak rahasia-rahasia yang bisa diungkap, meskipun bukan yoga namanya. Itu artinya, ajaran Islam adalah solusi bagi kehidupan.
....Islam, jika mau diadopsi, begitu banyak rahasia-rahasia yang bisa diungkap, meskipun bukan yoga namanya. Itu artinya, ajaran Islam adalah solusi bagi kehidupan....
Apakah karena Islam ini terlalu luas, sehingga tak satu pun yang ditekuni? Tentu butuh waktu yang panjang, sehingga ada diantara umat ini mencari pendekatan lain yang lebih praktis. ”Meski Islam itu luas, tapi bisa dipelajari dengan metode yang praktis. Dibuat saja peta ajaran Islam, lalu urutkan mana saja yang perlu dikaji, kemudian diperdalam. Pendekatannya bisa pengajian, membaca buku, diskusi kajian, ceramah dan sebagainya,” kata Ahmad Yani.
Yang perlu diperhatikan adalah menentukan skala prioritas dalam menyampaikan materi dakwah. Contoh, jika jamaahnya kebanyakan kaum dhuafa, maka materi yang disampaikan bukannya kewajiban membayar zakat. Tapi, bagaimana agar mereka bersikap qonaah, mau berusaha, tidak pasrah dengan keadaan. ”Bukannya tidak boleh bicara zakat, tapi itu belum menjadi prioritas untuk disampaikan pada orang miskin. Yang jelas, masih banyak yang harus dievaluasi dari dakwah.”
Seringkali masyarakat bertanya tentang sesuatu, tapi dijawab oleh orang yang bukan ahlinya. Para pendakwah belum tentu punya kapasitas keilmuan yang memadai. Dia cuma pandai bicara, apalagi jika terpublikasi oleh media yang menyebabkan menjadi kondang, sehingga dianggap punya kapasitas. Padahal belum tentu. Seorang ustadz, juga harus memiliki kejujuran. Bahwa dirinya tidak punya kapasitas untuk menjawab hal-hal kurang dipahaminya.
”Seharusnya ustadz itu bertanya dulu dengan yang ahlinya. Yang susah keluar kalimat dari seorang ustadz adalah bahwa saya bukan ahlinya. Ketika ada yang bertanya tentang apa saja, ia berlagak sok tahu untuk memberi jawaban. Tak dipungkiri, masyarakat kita lebih melihat asesoris penampilannya ketimbang keilmuannya. Padahal keulamaan seseorang bukan diukur dari asesoris. Kalau tidak bisa menjawab, katakan saja tidak bisa. Kalau yakin benar, katakan dengan landasan kuat. Disinilah orang harus tahu diri, ia bukan ahli tafsir dan ahli fiqih. Kalaupun dijawab, ia akan mengatakan, itu menurut ulama tafsir, fiqih, bukan menurut saya,” jelas Ahmad Yani.
Seperti diketahui, banyak pimpinan spiritual tertentu yang berkedok kiai, bahkan menyitir Al Quran dan Hadits. ”Itulah sebabnya, masyarakat harus memiliki daya kritis, jangan cepat menerima pendapat seseorang, apalagi yang tidak punya kapasitas. Kuncinya, jangan terpesona dengan kata-kata yang dianggap intelek, terkesan sejuk, toleran, bijaksana dan penuh hikmah. Terpenting, setiap ungkapan yang keluar, tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan as Sunnah.”
....Masyarakat harus memiliki daya kritis, jangan cepat menerima pendapat seseorang, apalagi yang tidak punya kapasitas....
Metode yang dianggap baru, sebenarnya bukan baru. Mungkin hanya peralatannya saja yang baru, seolah-olah jadi baru. Metode baru memang membuat orang tertarik. Cuma tidak bisa memahami Islam hanya dengan training sehari-dua hari, satu–dua jam. Metode modern seperti ESQ, menurut Ahmad Yani, hanyalah pendekatan metode belajar, bagaimana agar orang tergugah dan paham. ”Buat rangsangan OK saja. Saya yakin Ary Ginanjar tidak akan menanamkan cara belajar Islam yang salah. Energi yang positif itu harus dikembangkan. Dia hanya perlu membuat follow up agar training yang hanya sehari-dua hari itu akan ada hasilnya. Tarbiyah pun terus berjalan.”
Pahami Islam Secara Benar
Islam itu agama yang sempurna, mencakup sekian aspek dalam kehidupan manusia. Namun dalam prakteknya, umat ini mengambil sepotong-sepotong, laluyang sepotong itu ditambah-tambah dan dicari hal-hal yang baru. Akibatnya, tercampurlah ketauhidan dan kemusyrikan, yang hak dengan yang batil. Ketika Islam tidak dipahami secara utuh, maka pelariannya adalah mencari komunitas spiritual yang secara akidah, terdapat penyimpangan dan tidak sesuai dengan syariat Islam. Seolah Islam tidak memiliki metode dan terapi bagi mereka yang mendambakan ketenangan batin.
Banyak kasus pimpinan spiritual yang tersesat setelah melakukan shalat tahajud. Kok bisa? ”Itu akibat tidak memahami Islam secara komprehensif. Bisa saja, setelah tahajud, dia belum merasakan ketenangan, dan tidak merasa dekat dengan Sang KhaliK. Yang jelas, shalat itu butuh penghayatan dan ilmu. Ketika tidak memiliki dasar ilmu yang memadai, akhirnya membuat shalat atau zikir model baru. ”Solusinya, umat Islam harus dikembalikan pada ajaran Islam. Gejala orang ingin menambah-nambah itu sudah ada sejak zaman Nabi. Makanya Nabi cegah.”
Rasulullah SAW pernah berkata, ”Aku ini orang yang paling bertaqwa diantara kalian. Aku shalat tapi tetap tidur, aku puasa tapi juga berbuka, aku berjuang di jalan Allah tapi menikah.” Maka, upaya untuk membentengi umat, menurut Ahmad Yani adalah: pertama, harus komitmen dulu pada Islam. Kalau sudah komit pada Islam, maka dia tidak gampang menerima hal-hal yang menyimpang. Selanjutnya orang harus punya pemahaman, wawasan tentang Islam. Disitu orang harus belajar tentang Islam.
”Belajar Islam itu harus lebih dulu mengenali kerangka umum ajaran Islam, baru detil-detil Islam itu dikaji satu per satu. Dan itu memerlukan intesitas belajar tentang Islam. Sayangnya orang tidak belajar Islam secara intens. Akibatnya sepotong-potong memahami Islam. Kalau kita memahami kerangka ajaran Islam, ada akidah, syariah, akhlak. Orang harus paham dulu, lalu diteliti akidahnya, syariahnya dan akhaknya bagaimana. Sekarang orang mengaji intens nggak mau. Maunya Tabligh Akbar. Bukannya tidak bagus, tapi itu hanya suplemen yang menyegarkan saja. Tidak bisa, memahami persoalan melalui tabligh Akbar. Perlu ada tarbiyah yang intens.”
Dalam hal menyampaikan agama, kata Ahmad Yani, bukanlah dalam rangka brainwashing. Menyampaikan agama harus menunjukkan mana yang hak dan batil. Yang hak dijelaskan, yang batil juga dijelaskan. Sampai mereka bisa memisahkan mana yang hak dan batil. Bukan malah mencampuradukkan hal yang sinkretis, agama dan budaya, hingga menjadi spiritual gado-gado. Ketika tradisi buang sesajen ke laut dianggap agama, mereka membaca Al-Fatihah, shalawat, Rabbana atina dan sebagainya. Padahal, agama tidak mentolerir itu.
Percampuran tradisi budaya dengan agama, bukanlah peninggalan Walisongo dan adanya dakwah yang terputus. Persoalannya, masyarakat terlalu menyederhanakan persepsi apa yang dilakukan Walisongo. Apa yang dilakukan Walisongo harus dihargai. Karena mereka mengembangkan kreativitas di dalam dakwah. Dia tidak merubah prinsip, yang diubah hanya teknis.
....Agar umat ini tidak mencari pelarian ke komunitas spiritual yang tidak ada landan syariatnya, maka harus dijelaskan Islam secara komprehensif (sumuliyah), bukan sepotong-potong....
Jika kemudian ada Syekh Siti Jenar yang menyimpang, maka sebelumnya telah ada Al-Hallaj. Yang berlebihan dalam pemahaman Sufi Syekh Siti Jenar adalah ihwal ana al haq. Bagi orang awam, doktrin yang diungkap terus menerus jelas berbahaya. Bagaimanapun, ketika seseorang mencapai makrifat, ia harus tetap sadar sebagai manusia, bukan menjadi malaikat. “Nabi Saw sepulang Isra’ Mi’raj saja tidak bilang ana al haq. Karena itu yang perlu ditumbuhkan dari umat adalah rasa dekat dengan Allah, bukan bicara ana al haq, tapi saya takut kepada Allah, saya diawasi oleh Allah.”
Agar umat ini tidak mencari pelarian ke komunitas spiritual yang tidak ada landan syariatnya, maka harus dijelaskan Islam secara komprehensif (sumuliyah), bukan sepotong-potong. Bekali akidah dan pemahaman yang benar, bahwa dalam Islam pun ada berbagai macam terapi, seperti terapi kesehatan (puasa), terapi penenang jiwa (tahajud dan baca Al Qur’an), persaudaraan (ukhuwah), dan pelbagai solusi problematika hidup lainnya. [Desastian]