View Full Version
Jum'at, 10 Jul 2009

Nasib Muslim Eropa, Korban Diskriminasi Kaum Mayoritas

BERLIN (voa-islam.com) – Ketika Rabia dan Mohamed Jovoski, yang mengenakan pakaian tradisional Islam, dilecehkan secara verbal dan diludahi oleh sekelompok pemuda di kota kecil Freiburg, Jerman, Mohamed hanya dapat memandangi mereka dengan perasaan terkejut. Mohamed yang berbadan besar dan tegap mengakui perlu beberapa waktu bagi dirinya untuk mengambil keputusan yang tepat: tak menghiraukan penghinaan itu dan pergi. Namun kedua pasangan itu juga bahkan tidak melaporkan kejadian tersebut ke pihak yang berwenang.

Mohamed adalah campuran keturunan Bosnia-Jerman dan memiliki penampilan fisik seperti layaknya orang Jerman kebanyakan jika ia tidak memakai jubah Islamnya, penutup kepala, dan menumbuhkan jenggot. Ia mengatakan bahwa Muslim Jerman mengalami sejumlah diskriminasi setiap harinya sehingga untuk melaporkan setiap insiden adalah sesuatu yang sia-sia.

“Lagipula kepada siapa saya harus melapor? Ke polisi? Dan apa hasil yang akan saya dapatkan? Ini benar-benar sebuah tantangan dan kami harus mengatasinya bagaimana pun juga,” ujar Mohamed.

Pengalaman masa lalu Mohamed dan Rabia membuat mereka enggan untuk melaporkan kasus anti-Islam ke pihak berwenang terkait, dan sikap semacam ini adalah hal yang biasa di kalangan Muslim Jerman.

Menurut laporan yang dirilis Mei 2009 oleh Badan Persatuan Eropa untuk Hak-hak Dasar (European Union Agency for Fundamental Rights – FRA),  Mohamed dan Rabia hanyalah dua dari ribuan orang di Eropa yang memilih tidak melaporkan insiden pelecehan.

Laporan FRA, yang didasarkan pada sejumlah wawancara dengan 8.000 lebih Muslim di 14 negara Eropa, mengungkapkan bahwa 79% korban mengatakan bahwa mereka tidak melaporkan insiden sejenis ke polisi atau organisasi apa pun. Bahkan yang lebih mengganggu lagi,  80% dari mereka tidak dapat menyebutkan satu organisasi pun yang mendukung korban-korban diskriminasi ras dan agama.

Laporan itu juga menunjukkan bahwa 59% responden percaya “tidak akan ada yang berubah” dan 38% tidak dapat melihat apa pentingnya melaporkan diskriminasi karena “itu adalah bagian dari kehidupan normal mereka sehari-hari.”

Yang menarik, penemuan laporan itu menyatakan bahwa mayoritas Muslim yang diwawancarai tidak merasa bahwa agama atau pakaian tradisional Islam yang mereka kenakan adalah satu-satunya alasan diskriminasi. Sebaliknya, banyak responden yang merasa bahwa pelecehan itu lebih didasari oleh latar belakang etnis mereka.

 “Istri saya adalah orang Maroko, dan sejak ia memilih mengenakan jilbab, ia sering dilecehkan secara verbal mengenai cara berpakaiannya di jalan, bahkan ketika saya ada di sana,” ujar Mohamed.

“Tapi ketika saya berjalan sendirian dengan pakaian Islami saya, saya juga mendapat komentar-komentar melecehkan,” tambahnya.

Menurut penelitian FRA, rata-rata satu dari tiga Muslim yang diwawancarai mengalami semacam diskriminasi selama 12 bulan belakangan, namun Muslim Afrika, baik dari Afrika Sub-Sahara atau Afrika Utara, mengalami tingkat diskriminasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Muslim dengan latar belakang etnis lainnya. Sebagai contoh, di Swedia, 33% Muslim keturunan Afrika Sub-Sahara mengalami semacam pelecehan ras, sementara Muslim keturunan Irak hanya 10%.

Ioannis Dimitrakopoulos, kepala Departemen Kesetaraan dan Hak Asasi Warga di FRA serta penulis laporan tersebut, mengatakan bahwa sementara Eropa memiliki kebijakan progresif mengenai kriminalisasi diskriminasi etnis, hasil penelitian itu menemukan bahwa sistem hukum tersebut kurang dipercaya.

“Ada kewajiban hukum untuk memiliki sebuah ‘badan kesetaraan’ independen di setiap negara anggota Eropa di mana korban diskriminasi dan rasisme dapat menyampaikan keluhan dan mendapat dukungan,” ujar Dimitrakopoulos.

“Bagaimanapun, penelitian menunjukkan bahwa hanya sedikit responden yang sadar akan keberadaan hukum itu dan badan kesetaraan yang dapat menampung keluhan mereka. Pesimisme dan pengunduran diri mungkin juga berasal dari hal ini,” tambahnya.

Dimitrakopoulos mengatakan bahwa penelitian itu memberikan pemahaman pada negara-negara anggota Uni Eropa tentang perlakuan terhadap etnis minoritas di lingkungan masyarakat mereka. Ia menambahkan bahwa membuat hukum yang  telah disusun menjadi lebih operatif dan ramah adalah sebuah tantangan.

Ercument Celik, seorang sosiolog dari Universitas Albert Ludwig di Freiburg, setuju bahwa penelitian ini harus menjadi langkah awal sebuah rencana aksi untuk mengatasai beberapa isu terumit dalam masyarakat Eropa. Ia mengatakan bahwa penelitian itu telah menempatkan isu integrasi Muslim ke dalam masyarakat Eropa ke jajaran teratas dalam agenda resmi Eropa.

“Mungkin sebuah penelitian lanjutan harus fokus pada seberapa siap Eropa sebagai tuan rumah dalam menjalani proses integrasi itu,” ujar Celik. Ia menambahkan persetujuannya mengenai beberapa penemuan dalam penelitian, terutama penemuan bahwa diskriminasi telah menjadi suatu hal yang biasa dalam masyarakat Eropa.

“Ini adalah penemuan yang paling mengerikan. Ketika diskriminasi menjadi hal yang biasa dalam kehidupan sehari-hari, maka inilah saatnya ini menjadi sesuatu yang berbahaya.”

Namun, Celik menekankan bahwa persoalannya bukanlah tentang ada atau tidaknya hukum. Persoalannya adalah tentang akses ke sistem hukum, dan bahkan jika penelitian itu dilakukan terhadap penduduk asli Eropa, sangat mungkin mereka tidak akan tahu melalui hukum dan prosedur apa mereka dapat melaporkan diskriminasi semacam itu.

Mohamed Jovoski mengatakan bahwa fakta pelecehan yang dilakukan para pemuda itu terhadap dirinya dikarenakan mereka tahu bahwa mereka dapat lolos dari hal itu. “Anda melihat ukuran badan saya kan?  Saya bukan pria kecil dan mereka pun hampir separuh lebih kecil dari saya. Apakah biasanya mereka akan berani menyinggung seseorang yang berukuran dua kali lipat lebih besar dari mereka? Fakta bahwa mereka berani melecehkan istri saya di hadapan saya menunjukkan bahwa mereka tahu saya tidak akan melakukan apa-apa tentang hal itu.”

Dimitrakopoulos mengakui bahwa sementara masyarakat Muslim harus lebih gigih mengakses sistem hukum, negara-negara anggota Uni Eropa juga harus lebih bertanggung jawab dan meningkatkan kinerja hukumnya.

Ia menambahkan,”Beberapa hal perlu dilakukan. Etnis minoritas harus lebih mengetahui hak-haknya dan bagaimana cara memperolehnya. Ini juga merupakan tanggung jawab negara-negara anggota untuk memastikan bahwa informasi dan kampanye peningkatan kesadaran menarget kelompok ini dengan efektif.”

Sementara Celik sepakat bahwa kemampuan mengakses sistem hukum adalah hal yang penting, ia juga menambahkan bahwa etnis minoritas di Eropa, termasuk Muslim dari berbagai latar belakang etnis, harus mengambil tanggung jawab untuk mempelajari dan mendapatkan hak-hak demokratisnya.

Setidaknya ada dua hal penting yang harus dirubah sebelum situasi ini membaik. Pertama, Uni Eropa harus membuat hukum dan institusi ini dapat diakses oleh masyarakat serta memberikan mereka rasa percaya diri dan harapan yang dapat membuat mereka percaya terhadap struktur tersebut.

Kedua, para imigran juga harus menyingkirkan perasaan inferioritas mereka dan memahami hak-haknya serta hukum yang melindungi hak-hak tersebut. Mereka harus mempraktikkan hukum itu. Situasi yang terjadi sekarang adalah kita memiliki hukumnya namun tidak digunakan. (ri/iol) sumber: www.suaramedia.co

Comments

Search

 


latestnews

View Full Version