Suatu hal yang sudah dimaklumi oleh mayoritas umat Islam, demikian juga oleh sebagian besar non-muslim, bahwa umat dan daulah Islam terdahulu adalah bangsa yang paling kuat dan mulia di belahan dunia, sekalipun mereka adalah penduduk minoritas di atas muka bumi ini. Hal ini berlangsung selama bertahun-tahun dalam waktu yang panjang, tanpa ada seorangpun yang menentang tentang hal ini. Adapun sekarang, telah berubah menjadi negara-negara Islam yang kecil, lemah, buminya dijajah, sebagian besar dirampas di bawah penjajahan pemikiran dan kekuatan pasukan, menjadi ekor bagi bangsa di luar Islam.
Apa yang telah terjadi? Mengapa bisa demikian? Padahal dahulu kekuatan ada pada mereka?
Pertanyaan ini selalu berputar-putar dalam benak kaum muslimin. Dan setiap kelompok atau golongan mencoba untuk menjawab pertanyaan ini dengan caranya masing-masing, mencarikan jalan keluar untuk mengembalikan kejayaan dan kemuliaan kaum muslimin seperti dahulu. Akan tetapi kebanyakan dari mereka tidak memahami faktor utama penyebab kelemahan, keterbelakangan, serta takluknya kaum muslimin di hadapan negara-negara kafir. Mereka pun merancang program untuk memecahkan masalah ini kemudian berjalan di atasnya, dengan dugaan kejayaan kemuliaan dan kekuasaan kaum muslimin di abad-abad pertama akan terwujud dengan langkah yang mereka tetapkan. Akan tetapi hal yang sebenarnya, mereka telah salah jalan, walaupun sebagian besar dari mereka melakukannya dengan ikhlas untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin dalam mengembalikan kejayaan dan kemuliaan kaum muslimin seperti dahulu.
Sebagian dari mereka menyangka bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah solusi. Untuk menuju hal itu maka kaum muslimin harus mengumpulkan peralatan-peralatan canggih dan modern, pemuda-pemuda Islam harus meraih ijazah setinggi-tingginya. Maka setelah semua hal itu tercapai, kita akan menang dan orang-orang kafir-pun akan tunduk dan kita akan kembali seperti sedia kala. Sampai-sampai salah seorang doktor muslim menulis di salah satu surat kabar yang peduli dengan urusan-urusan Islam dan kaum muslimin, dengan perkataannya:
“Sesungguhnya negara-negara yang akan jaya dan mulia adalah negara dengan teknologi yang maju....” (Majalah: Jazirah al Muslimun, edisi 265, 5-8 Sya’an 1410, Artikel dengan judul: Perubahan-perubahan pada dunia sembilan puluhan”.
Dia lupa akan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin.”(QS: Al-Munafiqun: 8)
Jika bukan hal ini yang menyebabkan kelemahan dan kemunduran kaum muslimin, lalu apa?
Sesungguhnya kekuatan pasukan dan kemajuan ilmu pengetahuan adalah 2 Hal yang Berbeda.
Kita harus membedakan antara kekuatan pasukan di satu sisi, dengan kemenangan pasukan di sisi lain. Demikian juga harus dibedakan antara kemajuan ilmu pengetahuan di satu sisi dan kemajuan teknologi di sisi lain. Sekalipun sebagian besar negara-negara yang mempunyai ilmu pengetahuan dan teknologi maju biasanya memiliki pasukan yang kuat, akan tetapi hal ini tidak berarti kekuatan pasukan itu disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara pasti.
Generasi-generasi awal umat Islam ketika melakukan pembukaan dan mengalahkan kekuatan militer terkuat di dunia pada waktu itu (Romawi dan Persia), tidaklah disebut bangsa yang maju ilmu pengetahuan dan teknologinya. Bahkan secara teknologi dan militer mereka terbelakang dibandingkan dengan negara-negara yang dikalahkannya, yang dihancurkan singgasananya dan pada akhirnya ditaklukan. Adapun umat Islam mengalami kemajuan ilmu pengetahuan seperti yang kita baca dan kita dengar dalam sejarah justru dimulai setelah pembukaan-pembukaan ini (terutama sejak jatuhnya negara Romawi dan Persia). Kadang-kadang negara-negara yang terdepan dalam bidang ilmu pengetahuan secara bersamaan mempunyai pasukan yang kuat, akan tetapi ini bukan berarti bahwa sebab kekuatan itu adalah kemajuan ilmu pengetahuan. Contoh-contoh dalam sejarah tentang hal ini sangat banyak, diantaranya seperti yang telah disebutkan di depan.
Contoh lain lagi adalah ketika bangsa Tataar (Mongolia) menyerang kaum muslimin di akhir masa pemerintahan daulah Abbasiyah. Mereka mengalahkan kaum muslimin, menyerbu sebagian besar wilayah daulah Abbasiyah. Ketika itu bangsa Mongol unggul padahal ilmu pengetahuan yang mereka miliki masih terbelakang dibandingkan dengan daulah Abbasiyah, yang ketika itu menjadi negara terdepan dan mencapai puncak kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Sampai-sampai kota Bagdad dan perpustakaan-perpustakaannya menjadi pusat ilmu pengetahuan (baik ilmu dunia maupun syari’ah) di muka bumi pada waktu itu. Banyak pelajar-pelajar dari seluruh penjuru dunia menimba ilmu di sini. Akan tetapi kemajuan ilmu pengetahuan tidak berarti bagi mereka. Dan contoh-contoh seperti ini dalam sejarah banyak sekali.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa, tidak ada keterkaitan yang pasti antara kekuatan pasukan dan kemenangan pasukan dari satu sisi dan kemajuan ilmu pengetahuan atau teknologi dari sisi yang lain, sekalipun biasanya kemajuan ilmu pengetahuan akan membantu suatu negara dalam mempersiapan peralatan tempur yang canggih. Akan tetapi semua peralatan ini bukanlah segalanya, apalagi menjadi hal yang terpenting. Allah Subhanahu wa Ta’ala befirman:
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar...” (QS. Al-Anfaal: 17)
Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman:
وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَى وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Anfaal: 10)
Adapun firman Allh Ta’ala:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ . . .
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang...” (QS. Al-Anfaal: 60)
Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan agar mempersiapkan “kekuatan apa saja” untuk menghadapi mereka. Dia tidak mengatakan, “dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan pasukan atau teknologi yang kamu sanggupi”.
Allah Ta’ala menjadikan kata kekuatan bermakna umum (apa saja). Maka maknanya, “dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu sanggupi berupa kekuatan iman, pasukan, teknologi atau kekuatan apa saja.” Allah Ta’ala juga tidak mengatakan, “dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan seperti kekuatan mereka atau setengahnya”. Hal ini karena kemenangan itu datangnya dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
"Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ali Imran: 126)
Oleh karena itu menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk mengetahui dan melaksanakan sebab-sebab yang dapat membantu untuk mewujudkan kemenangan dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apa yang Harus Kita Kerahkan Untuk Mewujudkan Kemenangan dari Sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan Keutamaan-Nya?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
"Sesungguhnya Alloh pasti menolong orang yang menolong (agama) –Nya. Sesungguhnya Alloh benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa." (QS. Al Hajj: 40)
Allah juga berfirman dalam ayat lainnya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Alloh, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad: 7)
Kedua ayat di atas menguatkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolong siapa saja yang menolong-Nya.
Bagaimana kita menolong Allah Subhanahu wa Ta’ala? Padahal Dia adalah Maha Perkasa, Maha Kaya yang tidak butuh kepada segala sesuatu, Dzat yang Maha Mulia?
Kita lihat apa yang dikatakan oleh syaikh Al-‘alaamah As-Sinqhiithie rahimahullah dalam tafsirnya Adhwaul Bayaan (Bab: 7 Hal: 422) mengenai ayat-ayat di atas:
“Allah Jalla wa ‘Alaa menyebutkan dalam ayat yang mulia ini, bahwa jika kaum mukminin menolong Rabb mereka, maka Rabb mereka akan menolongnya dari musuh-musuh mereka, dan meneguhkan langkah-langkah mereka yaitu menjaga mereka untuk tidak melarikan diri dan menjaga dari kekalahan.” dan makna ini telah diterangkan di berbagai ayat, dan dalam ayat yang lain dijelaskan karakteristik orang-orang yang mendapat janji dengan kemenangan ini. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
"(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan." (QS. Al Hajj: 41)
Ayat yang mulia di atas menunjukkan bahwa mereka yang tidak mendirikan shalat, tidak menunaikan zakat, tidak menyuruh kepada yang ma’ruf, dan tidak mencegah dari yang mungkar, mereka bukanlah yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kemenangan sama sekali. Adapun makna orang-orang mukmin menolong Allah adalah: mereka menolong agama-Nya, menolong Kitab-Nya, usaha dan jihad mereka semata-mata untuk meninggikan kalimat Allah, menegakkan hukum-hukum Allah di atas muka bumi, melaksanakan perintah-perintah-Nya, meninggalkan larangan-larangan-Nya, dan berhukum dengan yang diturunkan kepada Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. Nabi bersabda:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian berdagang dengan sistem 'inah (salah satu bentuk riba), kalian ridha dengan peternakan, kalian ridha dengan pertanian dan kalian meninggalkan jihad maka Allah timpakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan dicabut sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dalam al Silsilah, No. 11)
Dan sebab kehinaan yang merupakan lawan dari kemuliaan bukanlah karena terbelakang dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti yang disangka oleh mayoritas orang, melainkan sebab kehinaan itu adalah jauhnya kaum muslimin dari agamanya. Maka tidak ada jalan bagi kita kaum muslimin untuk mencabut kehinaan ini, kecuali kembali kepada agama kita seperti yang telah disebutkan oleh hadist di atas: “Allah timpakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan dicabut sampai kalian kembali kepada agama kalian”.
. . . melainkan sebab kehinaan itu adalah jauhnya kaum muslimin dari agamanya. . .
Imam Malik rahimahullah pernah berkata, “Tidak akan baik umat terakhir ini kecuali dengan kebaikan yang ada pada umat pertama”. Dan generasi pertama umat ini tidaklah baik dengan teknologi akan tetapi mereka baik dengan keteguhan mereka dalam memegang agama Islam.
Kita tidak mengatakan, bahwa terbelakang dalam ilmu pengetahuan dan teknologi adalah sebuah kebaikan, dan kita juga tidak mengatakan bahwa kita harus meninggalkan ilmu-ilmu dunia dan tidak mempelajarinya. Akan tetapi yang kita maksud adalah, telah salah orang yang mengatakan sebab kelemahan dan kekalahan kaum muslimin dikarenakan keterbelakangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ilmu-ilmu tentang teknologi memang kita perlukan dan butuhkan, tetapi lemahnya teknologi bukanlah penyebab kekalahan kita. Kebutuhan kita untuk kembali kepada agama Islam lebih besar dari pada kebutuhan kita kepada ilmu-ilmu dunia ini. Karena kembali kepada agama kita merupakan sebab utama yang dapat menghantarkan kita meraih kemenangan bifadlillah insyaa Allah Ta’ala, seperti yang telah Allah firmankan;
وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
"Dan kemenanganmu itu hanyalah dari sisi Allah . . ." (QS. Al Anfal: 10)
Kebutuhan kita untuk kembali kepada agama Islam lebih besar dari pada kebutuhan kita kepada ilmu-ilmu dunia ini.
Jika Demikian, Apa Solusinya ?
Keseriusan kita, umat Islam, dalam menolong agama Allah menjadi kunci datangnya pertolongan Allah yang menjadi sebab kemenangan. Allah subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Alloh, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad: 7)
Dan juga dengan kembali kepada agama Islam yang telah ditinggalkan atau diabaikan karena pekerjaan, kesenangan duniawi, dan lainnya. Dan makna ini kita dapati dalam sabda Rasul shallallahu 'alaihi wasallam:
سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Allah timpakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan dicabut sampai kalian kembali kepada agama kalian.”
Kembali Kepada Islam adalah solusinya, akan tetapi bagaimana caranya?
Kembali kepada agama Islam tidak akan bisa dan tidak mungkin terjadi kecuali melalui perkara-perkara berikut ini:
Pertama: memahami agama Islam dengan pemahaman yang benar sesuai yang dipahami oleh Nabi kita shallallahu 'alaihi wasallam, para sahabat, dan para pendahulu kita yang shalih.
Adapun orang yang mengaku bahwa dia kembali kepada agama Islam di atas jalan kesesatan seperti Ahmadiyah Al-Qodhianiah, atau Sufiah dan madzhab-madzhab sesat lainnya, sesunguhnya dia belum kembali kepada agama ini, justru ia menuju kesesatan, wa ‘iyadzu billaah!. Dan jalan yang benar itu hanya satu, seperti yang disabdakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadist yang dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah Shahih Sunan al Tirmidzi No. 2129:
“Sesungguhnya bani Israel telah pecah menjadi 72 golongan, dan umatku pecah menjadi 73 golongan semuanya di neraka kecuali satu. Dikatakan: siapa golongan yang satu itu wahai Rasulullah? Beliau bersabda, “yang aku dan para sahabatku ada di atasnya.”
Kedua: Menerapkan Islam yang telah dipahami dengan benar tadi dengan penerapan yang tepat, dan tidak mengingkarinya sedikitpun -baik itu perkara yang kecil atau perkara yang besar- hanya karena kita tidak mampu melaksanakannya. Akan tetapi wajib bagi kita untuk bertakwa kepada Allah semampu kita.
Wajib untuk kita pahami, barang siapa yang tidak menerapkan sebagian perintah-perintah agama, bisa jadi posisi dia adalah orang yang berdosa, maksiat, ataupun fasik. Namun orang yang mengingkari satu perintah dari agama Islam (walaupun yang diingkari itu sunnah) atau mengingkari suatu larangan agama maka dia adalah orang kafir sampai ia kembali dan bertaubat.
. . . orang yang mengingkari satu perintah dari agama Islam (walaupun yang diingkari itu sunnah) atau mengingkari suatu larangan agama maka dia adalah orang kafir sampai ia kembali dan bertaubat. . .
Dan inilah yang banyak menimpa orang-orang ketika kita dapati mereka tidak menerapkan sebagian ajaran Islam atau tidak meninggalkan sebagian larangannya. Syetan masuk kepada mereka dan menghiasi mereka, hingga mereka mengatakan, "tidak, ini bukan merupakan kewajiban atau ini bukan larangan." Mereka menentang dan menyangka sudah lepas dari tanggung jawab serta bebas dari siksaan karena keingkarannya. Padahal masalah yang sebenarnya sangat jauh sekali dari yang mereka sangkakan itu. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka sembunyikan dalam dada mereka.
Ketiga: setelah memahami dan mengamalkan ajaran Islam, kita wajib mendakwahkan dan mempraktikkan agama ini dengan sebenar-benarnya. Dan salah satu bentuk dakwah yang penting adalah menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan (al-amru bil ma’ruf wa nahyu ‘anil munkar). Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ
"Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, hendaknya kalian memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah dari kemungkaran atau Allah benar-benar akan menimpakan siksa kepada kalian, lalu kalian berdoa dan tidak dikabulkan." (HR. al Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Sunan al Tirmidzi no. 1762)
Menjadi keharusan bagi umat Islam untuk mengajak manusia dan menyeru mereka kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan yang terbaik perintah ini diawali dari diri sendiri, kemudian orang yang terdekat.
Menjadi keharusan bagi umat Islam untuk mengajak manusia dan menyeru mereka kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar.
Kita memulai dari rumah kita dengan mencegah dan menghilangkan keburukan yang ada di dalamnya. Menasihati dengan lemah-lembut orang yang berada dalam tanggungan kita terlebih dahulu. Kemudian jika mereka tidak menghiraukan maka bagi kita untuk memaksa mereka, karena Rasul shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda:
“Sesungguhnya Allah bertanya kepada setiap pengembala tentang apa yang digembalakannya; apakah ia menjaganya atau menyia-nyiakannya, sampai-sampai seorang laki-laki akan ditanya tentang keluarganya.” (Shahih Jami’ al Shaghiir, no. 774)
Inilah jalan yang bisa kita tempuh untuk menghilangkan kekalahan yang menimpa kita dan umat Islam, serta membebaskan tanah-tanah kita yang terampas. Karena kitalah yang berhak mendapat kemenangan dari Allah dengan sebab kembalinya kita kepada Islam dan kesungguhan kita dalam menolong Allah. Dan setelahnya, jika kita mampu untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih dari yang dimiliki Eropa dan Amerika maka tidak ada masalah, bahkan ini merupakan hal yang diharapkan.
Karena kitalah yang berhak mendapat kemenangan dari Allah dengan sebab kembalinya kita kepada Islam dan kesungguhan kita dalam menolong Allah.
Oleh : Badrul Tamam disarikan dari buku Kaifa Nastahiq an Nashr min 'Indillah Tabaaraka wa Ta'aala.
(PurWD.voa-islam.com)
Tulisan Terkait:
* Harus Ada Niat Untuk Berjihad
* Jihad: Kewajiban yang Hilang