Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Saat muadzin mengumandangkan adzan kita diperintahkan untuk mendengarkannya dan mengikuti apa yang dibacanya, kecuali pada Hai’alatain (ucapani Hayya ‘Alash Shalah & Hayya ‘Alal Falaah), maka kita mengucapkan Laa Haula wa Laa Quwwata Illaa Billaah. Kemudian kita membaca shalawat atas Nabi dan doa setelah adzan.
Dari Abdillah bin Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu 'Anhuma, ia mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
إِذا سمِعْتُمُ النِّداءَ فَقُولُوا مِثْلَ ما يَقُولُ ، ثُمَّ صَلُّوا علَيَّ ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى علَيَّ صَلاةً صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ بِهَا عشْراًثم سَلُوا اللهَ ليَ الوسيلةَ فإنَّها منزلةٌ في الجنةِ لا تنبغي إلا لعبدٍ من عبادِ اللهِ وأرجو أن أكونَ أنا هو فمن سأل اللهَ ليَ الوسيلةَ حلَّتْ عليْهِ الشفاعةُ
“Apabila kamu mendengar adzan, ucapkanlah seperti yang diucapkan muadzin. Kemudian bershalawatlah atasku, karena siapa yang membaca shalawat kepadaku sekali, Allah bershalawat atasnya sepuluh kali kemudian mintakan kepada Allah al-Wasilah untukku. Sesungguhnya al-Wasilah adalah satu tempat di surga yang hanya diperuntukkan untuk seorang hamba dari hamba Allah. Aku berharap hamba itu adalah diriku. Maka siapa yang memintakan kepada Allah al-Wasilah untukku, ia berhak mendapat syafaatku.” (HR. Muslim)
Dalam Shahih al-Bukhari dari hadits Jabir bin Abdillah disebutkan redaksi doanya dengan jelas,
مَنْ قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ اَلدَّعْوَةِ اَلتَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ اَلْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا اَلْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا اَلَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ
“Siapa yang mendengarkan adzan lalu berdoa –dengan doa di atas-, maka dia akan memperoleh syafaat dariku pada hari Kiamat.”
Membaca shalawat setelah adzan ini berlaku bagi muadzin dan kaum muslimin yang mendengar adzan. Dan kita sering mendengar, muadzin yang mengumandangkan adzan dengan pengeras suara di masjid membaca shalawat dengan keras. Apakah ini benar?
Syaikh Ibnu Bazz dalam Majmu’a Fatawa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah: 1/439 yang dilansir di www.binbaz.org.sa, menjelaskan, apabila muadzin yang membaca shalawat setelah adzan dengan suara lirih maka itu disyariatkan. Sesuai sunnah. Sebagaimana disunnahkan juga bagi orang yang telah menjawab adzan.
Apabila muadzin membacanya dengan keras sebagaimana adzannya maka hal itu termasuk bid’ah. Karena bisa disangka oleh orang awwan, bacaan tersebut bagian dari adzan. Dan menambah bacaan dalam adzan itu tidak boleh. Dan adzan diakhiri dengan kalimat, “Laa Ilaaha Illallaah”.
[Baca: Bershalawat Sebelum Adzan, Adakah Dalilnya?]
Tidak boleh menambah bacaan adzan dari bacaan yang telah ditentukan syariat, walaupun bacaan tersebut dinilai baik. Jika penambahan shalawat dalam adzan –baik sebelum atau sesudahnya- dengan suara keras sebagaimana suara adzan itu baik, maka para muadzin di zaman salaf pasti sudah mengerjakannya. Bahkan, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pasti sudah mengajarkan dan memerintahkannya kepada umatnya.
Siapa yang mengerjakan amalan ibadah tidak sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam maka amal ibadah tersebut tertolak.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa yang melaksanakan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amal tersebut tertolak.” (Muttafaq ‘Alaih dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu 'Anha)
Ringkasnya, muadzin juga disunnahkan membaca shalawat setelah mengumandangkan adzan sebagai kaum muslimin yang telah menyimak dan menjawab adzan. Mereka juga diperintahkan membaca shalawat setelahnya. Caranya, muadzin membacanya dengan lirih. Tidak diperdengarkan sebagaimana ia mengeraskan adzan. Wallahu a’lam. [PurWD/voa-islam.com]