View Full Version
Selasa, 23 Jan 2024

Undang-Undang ITE Revisi Jilid II, untuk Siapa?

 

Oleh: Dewi Royani, MH

Dosen dan Muslimah Pemerhati Umat

 

Pemerintah resmi mengesahkan UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)  per 4 Januari 2024, (cnbcindonesia.com,4/5/2024). Pemerintah menilai bahwa UU ITE ini merupakan langkah maju yang signifikan dalam penyelenggaraan sistem dan tata kelola elektronik serta sinkronisasi dengan aturan UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP. Sementara bagi masyarakat sipil sejak awal pembahasan revisi UU ITE jilid II mendapat sorotan karena tertutup dan minim partisipasi publik.

Pasal-pasal UU ITE revisi jilid II tetap mendapat kritik dari berbagai kalangan karena masih adanya pasal karet dan berpotensi kriminalisasi, membatasi kebebasan berpendapat dan bersikap kritis. Seperti yang disampaikan pakar Hukum Pidana dan Kriminologi Universitas Brawijaya Malang, Fachrizal Affandi. Ia mengatakan Pengesahan Undang-undang ITE revisi jilid II ini menambah potensi kriminalisasi terhadap masyarakat sipil yang masih besar dan menciptakan kekacauan. Revisi yang kedua justru menghidupkan lagi pasal-pasal yang bermasalah (NU.or.id,10/1/2024)

Pasal-pasal bermasalah itu diantaranya pasal 27 yang dinilai dapat digunakan untuk mengkriminalisasi warga sipil yang kritis. Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik, pasal ini memiliki ketidakjelasan yang dapat menyasar siapa saja, tidak hanya aktivis, tetapi juga masyarakat umum. Frase dalam pasal tersebut sulit dibedakan antara kritik terhadap orang biasa dan pejabat publik.

UU ITE jilid II juga menambahkan ayat (3) pada Pasal 28. Ayat tersebut mengatur tentang larangan menyebarkan berita bohong. Pelaku penyebaran berita bohong diancam hukuman enam tahun penjara dan denda satu  miliar rupiah. Semangat penormaan pasal ini diambil dari pasal 14 dan 15 UU 1/1946 dan pasal 263 (1) KUHP. Pasal ini berpotensi multitafsir karena pasal ini tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan pemberitaan bohong.Ketentuan ini pun tidak ada safeguardingnya, jadi siapapun beresiko terkena pasal ini termasuk jurnalis dan media.

UU ITE Jilid II juga memberikan kewenangan kepada penyidik ​​kepolisian untuk membekukan akun media sosial, rekening bank, uang elektronik, dan/atau aset digital. Ketentuan ini ditambahkan pada Pasal 43 (I). Hal ini berarti tidak perlu lagi setingkat menteri untuk menutup akses akun media sosial⁴, rekening bank, uang elektronik, dan/atau aset digital, cukup  penyidik ​​PNS. Lantas bagaimana dengan pengawasan ketika kekuasaan disalahgunakan?

Berdasarkan fakta di atas, UU ITE rawan digunakan untuk membungkam kritik, meredam suara oposisi. Kritik terhadap pemerintah seringkali dimaknai sebagai ujaran kebencian, penghinaan, atau fitnah. Bagaimana kita bisa bebas mengkritik kalau masyarakat takut dengan UU ITE? Ruang kritik publik semakin sempit ketika UU ITE menjadi senjata utama untuk membungkam lawan politik.

Kelemahan UU ITE terjadi karena setiap undang-undang yang dibuat dalam sistem demokrasi kapitalis adalah buatan manusia. Demokrasi telah memberikan manusia kewenangan untuk mengatur segala aspek kehidupan sesuai keinginannya. Revisi UU yang sering terjadi pada UU buatan manusia ini menunjukkan lemahnya UU tersebut. Undang-undang seringkali digunakan untuk menguntungkan pihak tertentu,sarat kepentingan dan gagal menyelesaikan setiap persoalan.

Penerapan UU ITE banyak memakan korban mulai dari masyarakat awam, aktivis hingga politisi. Setiap tahunnya terdapat puluhan kasus akibat ekses pasal karet UU ITE atas tuduhan penghinaan terhadap pejabat publik atau rencana makar. Oleh karena itu, wajar jika pasal karet UU ITE dianggap sebagai alat pukul bagi siapa saja yang memberikan kritik pada rezim yang berkuasa.

Disinilah pentingnya membangun kesadaran bahwa UU produk akal manusia dalam sistem demokrasi sarat kepentingan dan tidak memberikan solusi atas permasalahan manusia.  Akibatnya, standar benar dan salah menjadi tidak jelas. Berbeda halnya dalam sistem Islam. Aturan yang diterapkan bersumber dari Allah Swt. Allah pencipta manusia, mengetahui secara pasti apa yang diciptakan-Nya, maka hanya Allah yang berhak membuat hukum. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-An'am yang artinya:

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.“ (QS. Al-An'am [6]: 57)

Sistem Islam menempatkan kedaulatan di tangan syara. Ketetapan ini memastikan tidak adanya revisi atas aturan dalam negara yang menerapkan aturan Islam (Khilafah). Kekuasaan penguasa juga harus taat pada hukum syariah.

Di dalam Islam, masyarakat, partai, media berperan dalam mengoreksi kesalahan sesama muslim hingga penguasa.Tujuannya mendapatkan predikat dari Allah sebagai umat terbaik. Media berfungsi sebagai sarana menebar kebaikan, alat kontrol dan sarana penyebaran dakwah Islam baik di dalam maupun ke luar negeri. Dengan demikan adanya pengaturan media dan penyampaian pendapat masyarakat difungsikan untuk mendukung penerapan dan pelaksanaan hukum-hukum syariat Islam. Bukan alat untuk memukul lawan politik dan membungkam kritik. Wallahua'lam bishawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version