JAKARTA (voa-islam.com)- Pemerintah, apa pun alirannya, tidak boleh membuat syarat sepihak atas konsensus demokrasi. Ia harus berlandas hukum. Inilah makna negara hukum yang demokratis dalam konstitusi kita. Pancasila, agama, adat ketimuran bukan milik pemerintah, ia milik bersama.
Dulu, orde baru senang sekali memakai Pancasila untuk menyerang kiri dan kanan, juga menggunakan nilai ‘ketimuran’ dan agama serta sopan santun untuk membungkam para pembicara yang kritis kepada pemerintah,” Fahri Hamzah memperingatkan, Senin (15/7/2019), di akun Twitter-nya.
Kata Fahri, ada trauma di generasi tertentu pada terminologi yang dulu kita lawan. “Inilah yang sekali lagi harus dibicarakan. Maka, saya mendorong para juru bicara pasangan @jokowi - KH.Ma’ruf Amin untuk menjelaskan secara lebih luas makna pidato singkat itu.”
Sebab ia harus dapat menjadi bahan perdebatan kita semua. “Sebab Nawacita, poros maritim dan revolusi mental sudah tidak terdengar. Sekarang kita ingin tau kita akan di bawa ke mana; bagaimana masa depan kebebasan? Bagaimana dengan demokrasi? Apa jawaban pemerintah atas menguatnya oposisi?”
Itu, kata dia, semua PR masa depan rezim baru ini. Jangan dianggap mudah, sebab dalam demokrasi semua orang memang perlu makan dan pekerjaan, tapi mereka tidak mau makan dalam keadaan terkekang dalam sangkar emas pembangunan. “Inilah catatan singkat saya bagi juru bicara para pemenang. Kami menunggu jawaban.”
(Robi/voa-islam.com)