BANDUNG (voa-islam.com) - Hematnya dalam sistem pemerintahan kita, parpol-parpol yang pada Pilpres lalu tergabung dalam Koalisi Adil dan Makmur dan mendukung Prabowo idealnya menjadi oposisi.
Demikian disampaikan oleh pengamat politik dari Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik (PSDPP) Dedi Kurnia Syah.
"Karena dengan demikian pemerintahan memiliki ruang kontrol yang cukup, meskipun seharusnya seluruh Parpol adalah oposisi, karena kewenangan mereka sebagai parlemen, bertugas utama mengawasi, legislasi dan kontrol anggaran," katanya kepada voa-islam.com, Selasa (16/07) kemarin.
"Jika pun ada yang bermanuver untuk merapat ke pemerintah, sah-sah saja, tidak melanggar apapun, hanya disayangkan karena publik tidak memiliki dukungan yang kuat dalam mengawasi jalannya pemerintahan.
Koalisi pemerintah yang terlalu besar, menurut Peneliti Politi dari Telkom University itu punya potensi yang tidak baik, bisa menjadikan pemerintah menjadi otoriter karena terlalu dominan.
Ketika ditanya jika semua atau salah satu partai pendukung Prabowo bergabung menjadi koalisi di Pemerintah Jokowi-Ma'ruf, apakah para pendukung dan simpatisannya tidak akan mendungkungnya lagi baik dalam pilkada maupun pada pemilu 2024 yang akan datang, Dedi menjawab.
"Sistem koalisi itu hanya berlaku di Pilpres, sehingga tidak akan berdampak pada kontestasi di luar Pilpres. Bahkan, koalisi Pilkada berbeda dengan koalisi nasional, di masing-masing daerah setiap Parpol bebas berkoalisi dengan Parpol apapun.
"Hanya saja Politik itu dinamis, semua bisa terjadi dalam hitungan detik perdetik," pungkasnya. [syahid/voa-islam.com]