JAKARTA (voa-islam.com)--Praktik korupsi sejatinya adalah penghambat pembangunan dan kemajuan sebuah bangsa oleh karena itu harus jadi musuh bersama. Itulah kenapa pada Peringatan Hari Anti-Korupsi tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya PersatuaPen Bangsa-Bangsa (PBB) masih menjadikan narasi “pembangunan” dalam tema besar perang melawan korupsi. Semasif apapun pembangunan di sebuah negara akan sia-sia atau tidak memberi dampak kesejahteraan untuk rakyat selama praktik korupsi masih masif.
“Sebagai negara yang bercita-cita menjadi salah satu negara termaju di dunia pada 2045, Indonesia harus terus dan tetap menjadikan pemberantasan korupsi sebagai agenda nasional. Yang meringankan langkah kita berlari menjadi negara maju pada 2045 nanti adalah jika praktik korupsi tidak lagi ‘menghantui’ berbagai program pembangunan nasional kita,” ujar Anggota DPD RI Fahira Idris, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (9/12).
Fahira mengungkapkan, dalam ‘kaca mata’ pembangunan dan perekonomian, pemberantasan korupsi harus dijadikan prioritas dan landasan utama tiap praktik program pembangunan nasional. Tujuannya agar setiap sen rupiah uang rakyat yang dikeluarkan untuk membangun terutama infrastruktur fisik maupun program pemberdayaan masyarakat, 100 persen benar-benar kembali ke rakyat.
Sementara dari sisi hukum, prioritas penegakan hukum diberikan pada pencegahan dan pemberantasan korupsi serta menindak pelaku tindak pidana korupsi beserta pengembalian uang hasil korupsi kepada negara. Agar prioritas ini tercapai, negara harus punya perhatian untuk meningkatkan pemberdayaan KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor).
Salah satu parameter apakah negara ini sudah bisa berlari kencang menjadi negara maju adalah dengan melihat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dikeluarkan Lembaga Transparansi Internasional. Walau dari tahun ke tahun IPK Indonesia menunjukkan tren positif, namun hingga 2018, skor Indonesia masih di bawah angka rata-rata IPK internasional yang rata-rata ada di angka 43.
Sementara IPK Indonesia pada 2018 berada di angka 38 dan menempati peringkat 89 dari dari 180 negara dunia. Skor geliat pemberantasan korupsi Indonesia masih kalah jauh dari Malaysia Malaysia (skor 47). Bagi Fahira, trend positif (IPK) saja tidak cukup. Indonesia butuh lompatan kenaikan skor jika memang serius ingin menjadi negara maju.
“Makanya saya termasuk yang menyayangkan saat Presiden Jokowi tidak menyinggung soal korupsi dan upaya pemberantasannya saat berpidato usai dilantik sebagai Presiden. Padahal kita butuh investasi agar ekonomi dan pembangunan bergerak sehingga mimpi menjadi negara maju tercapai. Tapi bagaimana investasi mau masuk kalau pemberantasan koripsi tidak disinggung karena problem utama investasi adalah budaya korupsi,” tukas Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI ini.
Tidak hanya penghambat investasi, praktik korupsi juga menjadi salah satu penyebab utama biaya ekonomi tinggi terutama bagi pelaku dunia usaha. Kondisi inilah yang membuat pengusaha harus menurunkan daya saing produk mereka terutama yang akan diekspor dan ini tentunya merugikan geliat ekonomi Indonesia di dunia.
“Jadi biaya ekonomi tinggi itu bukan melulu soal infrastruktur saja, tetapi juga masih adanya praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Saya berharap komitmen pemberantasan korupsi diikutsertakan dalam strategi menuju Indonesia Maju pada 2045, karena jika tidak, langkah kita akan semakin berat untuk menjadi kekuatan ekonomi baru di dunia,” pungkas Fahira.* [Syaf/voa-islam.com]