JAKARTA (voa-islam.com)--Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengutuk keras dipergunakannya lembaran-lembaran Al-Qur’an sebagai pembungkus dan bahan petasan.
Pria yang akrab disapa HNW ini sepakat dengan MUI dan Muhammadiyah yang menegaskan penggunaan lembaran Al-Qur’an sebagai bungkus petasan sebagaimana kedapatan di Ciledug, Tangerang, merupakan perbuatan penistaan terhadap AlQuran, kitab Sucinya Umat Islam, sehingga perlu diusut tuntas dan diberikan sanksi hukum yang tegas, agar tak berulang.
Apalagi, kata HNW, kasus ini sempat jadi viral di medsos yang menandakan kasus seperti ini sudah jadi perhatian publik. Dan berulangnya kejadian penistaan terhadap Agama-agama dan Simbol semua Agama yang diakui di Indonesia membuktikan makin diperlukan adanya instrumen hukum yang ‘lex specialis’ yang bisa melindungi simbol Agama-agama di Indonesia, agar bisa membuat jera siapapun yang akan kembali melakukan penistaan Agama, Tokoh Agama maupun Simbol Agama-agama yang diakui di Indonesia.
“Saya mengutuk keras berulangnya penistaan Agama, dan mendukung sikap Muhammadiyah dan MUI yang secara terbuka telah meminta agar Polisi segera mengusut kasus ini secara tuntas. Ini memang harus segera dilakukan agar tidak menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam yang sangat menghormati Al-Qur’an sebagai Kitab Suci, agar kesucian Agama dan ajarannya tetap terjaga, sehingga ajaran Agama dapat dijalankan untuk kebaikan kemanusiaan, dan harmoni kerukunan antar Umat beragama juga selalu dapat dijalankan,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Senin (13/09/2021).
HNW sapaan akrabnya mengatakan untuk mendukung penegak hukum menjaga ketertiban terkait keharmonisan umat beragama, diperlukan juga instrumen hukum yang lebih memadai dan spesifik (lex specialis) untuk melindungi simbol Agama secara efektif dan sistematis.
HNW mengatakan bahwa instrumen hukum yang tersedia untuk saat ini belum menimbulkan efek jera kepada pelaku penistaan terhadap Agama Islam dan simbolnya, sehingga masih terus terjadi.
Sehingga ada tokoh Budha yang heran dengan terus terjadinya penistaan terhadap Agama Islam (Simbol atau Tokohnya) di Indonesia, Negara Pancasila, yang mayoritas warganya justru beragama Islam.
“Semakin seringnya penistaan Agama dan simbol Agama, bahkan selain saat ini dijadikan sebagai bungkus petasan, juga beberapa kali menjadi bahan lawakan atau candaan oleh para aktivis stand up comedy. Itu terjadi karena permisifnya publik, juga karena tidak adanya sanksi hukum yang tegas, sehingga para penista Agama atau Simbol Agama mengira mereka tidak melakukan pelanggaran hukum, sehingga nista itu terulang lagi dan lagi,” ujar HNW tegas.
HNW mengatakan bahwa selama ini perbuatan penistaan agama kerap kali diusut dengan UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahaan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama atau Pasal 156s KUHP, dengan ancaman maksimal 5 tahun.
“UU tersebut hanya terdiri dari 5 pasal, jadi tidak secara komprehensif mengatur perlindungan terhadap Agama atau Simbolnya seperti Rumah Ibadah maupun Kitab Suci,” pungkasnya.
Oleh karena itu, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan Dewan Perwakilan Rakyat saat ini sedang menyiapkan RUU Pelindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama (RUU PTASA) sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap semua Agama yang diakui di Indonesia dan simbol-simbolnya.
“Ini seharusnya bisa menjadi fokus prioritas DPR, agar segera bisa diundangkan, agar kejadian penistaan Agama dan Simbol Agama yang meresahkan masyarakat, tidak terulang lagi,” ujarnya.
Anggota Komisi VIII DPR RI yang salah satunya membidangi urusan Agama ini mengatakan bahwa dalam draft RUU PTASA itu telah dijelaskan secara rinci mengenai simbol-simbol Agama-agama yang diakui oleh Negara Indonesia dan yang dihormati oleh pemeluk-pemeluknya.
“Tujuannya adalah selain memberikan kepastian hukum, juga memberi pemahaman terhadap masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran hukum berupa penistaan Agama, dan agar Agama dan Simbol Agama yang sangat terkait dengan sila I Pancasila dan pasal 29 UUD NRI 1945, bisa dihormati dan dijaga,” tegas HNW.
Lebih lanjut, HNW menambahkan bahwa RUU PTASA juga mengatur upaya sistematis dalam melakukan perlindungan.
“Jadi, pengaturannya selain memberikan sanksi yang lebih keras, tetapi juga ada upaya preventif, berupa edukasi kepada masyarakat untuk menghormati simbol semua Agama yang diakui di Indonesia itu, sehingga tidak menjadi bahan penistaan, lawakan atau candaan atau hal-hal lain yang tidak meletakkannya pada posisi yang dihormati.
“Agar terciptalah kondisi yang lebih kondusif untuk merawat toleransi dan harmoni juga kokoh kuatnya kedaulatan NKRI. Dan ditengah kesulitan ekonomi dan sosial yang dialami Bangsa dan NKRI akibat covid-19, mestinya Agama dan simbol-simbolnya makin dihormati dan jadi rujukan, karena memberikan solusi untuk penguatan spirit kehidupan atasi tantangan-tantangan, jangan malah terus dibiarkan terjadinya penistaan dalam berbagai modusnya, yang bisa berdampak sangat negatif untuk eksistensi harmoni Bangsa dan keutuhan NKRI,” pungkas HNW.*[Ril/voa-islam.com]