View Full Version
Rabu, 15 Jul 2009

Jilbab Biru Dinda (2)

“Neng Dinda nanti mau ikut tarawih?”

Suara Rangi memecah hening yang sejak tadi hanya ditemani suara pembawa acara sebuah kuis di televisi. Dinda menatap Rangi yang berdiri di depan pintu kamarnya. Rese banget sih mbak ini, gerutu Dinda dalam hati. Tapi dibandingkan mbak-mbak yang sebelumnya, Rangi adalah orang yang paling gigih mengajak Dinda mengobrol. Sebab, yang lain sudah cukup segan melihat sikap cuek Dinda dan memilih bergosip dengan tetangga.

Rangi yang sudah satu minggu tinggal di rumah itu terlihat jelas berbeda dengan mbak-mbak yang sebelumnya. Ia ramah pada mbak-mbak tetangga, terkadang mengobrol bersama, tapi tidak terlampau sering. Apalagi dengan tukang sayur. Kalau mbak-mbak yang lain kadang Dinda amati sedang menggoda tukang sayur, Rangi bersikap ramah dan sopan tapi tetap tegas dan menjaga jarak. Rangi juga jarang menonton televisi, tidak seperti Mbak Asti yang sepanjang malam menekuri sinetron. Dari kamar Rangi yang di dekat dapur, sayup-sayup Dinda dapat mendengar lantunan ayat-ayat Al Qur’an.

Tidak enak terus-terusan ditatap, Dinda akhirnya mematikan televisi di hadapannya dan menatap Rangi yang masih bergeming sejak tadi. Ia sempat melirik jam dinding yang menunjukkan waktu setengah enam sore. Ia ingat, ia belum shalat asar. “Jadi, Neng?” suara ramah Rangi lagi-lagi mengusiknya. Dinda tersenyum tipis, ia benar-benar tidak percaya bahwa dirinya saat itu mengangguk.

***

Satu minggu sudah Ramadhan berlalu. Rangi masih setia mengajak nonanya pergi tarawih, masih setia juga menepuk bahu Dinda ketika ia mulai terantuk-antuk. Nyonya yang pada hari ketiga Ramadhan baru pulang rihlah – istilah keren yang Dinda pelajari dari Rangi – dari Malaysia pun akhirnya penasaran juga dengan perubahan aneh yang dialami anaknya. Dinda masih tetap dingin, pendiam, dan lebih suka membaca buku ketimbang mengobrol dengan orang lain. Tapi kini gadis itu mulai mengganti novel-novel Teenlit-nya dengan novel-novel Islami yang dibelinya ketika ia meminta Rangi menemaninya ke Islamic Book Fair. Dinda juga kadang dipergokinya sedang mematut diri di cermin dengan jilbab biru satu-satunya. Akhirnya, sang nyonya yang penasaran itu pun turut serta anak dan khadimatnya pergi ke masjid. Belakangan, saat sahur pun sang nyonya ikut bangun untuk menyiapkan makanan di dapur bersama Rangi. Hingga suatu hari, nyonya yang baru pulang mengagetkan Dinda dengan bungkusan berat yang dibawanya.

“Mama beli buku?!”

Sang nyonya hanya tersipu malu mendengar tanggapan anak semata wayangnya. Ia dulu sering menggoda gadis manis itu dengan panggilan “kutu buku”. Tapi kini ia pun tergoda untuk membeli buku. Tentu saja Dinda hanya geleng-geleng kepala ketika melihat tumpukan buku resep milik mamanya. “Semua Tentang Kurma”, begitu judul salah satu buku resep yang dibeli sang nyonya. Dinda tersenyum geli. Ditatapnya Rangi yang kini asyik berdiskusi dengan mamanya. Tidak ada yang berbeda dengan mereka semua. Dinda masih jarang bicara. Mamanya masih maniak belanja. Papanya masih sibuk bekerja. Tapi ada damai yang menelusup ke dalam hati mereka. Membingkai hidup mereka dengan sebuah rasa yang tak terdeskripsikan. Dan rasa itu yang membuat Dinda mulai tahan shalat tarawih sebelas rakaat, membuat mamanya mengganti konsumsi bajunya menjadi buku, membuat papanya yang jarang pulang menjadi lebih betah di rumah, dan segudang perubahan lainnya.

***

Saat itu lima hari menjelang Lebaran. Iklan-iklan di televisi kini mengganti ucapan selamat berpuasanya dengan permohonan maaf lahir dan batin. Bahkan presiden yang baru terpilih pun ikut-ikutan mengucapkan permohonan maaf. Dinda mengulum senyum ketika menatap buku harian Ramadhannya. Ceramahnya singkat-singkat, tulisannya pun cakar ayam karena Dinda menulisnya sambil mengantuk. Tapi ia menulisnya sendiri. Untuk pertama kali.

“Rangi, ada telepon!”, teriak Dinda.

Meski Mbak Asti dan Mbak Siti sudah pulang, ibunya tetap mempertahankan Rangi karena gadis itu dirasanya membawa hal yang baru di rumahnya. Rangi, masih tetap dengan gayanya yang canggung, menghampiri telepon.

“Halo...” , lirih ia bersuara.

Dinda melirik mbaknya. Rangi tampaknya sedang berbicara dengan sangat serius, terlihat dari mimik wajahnya. Sesekali mbaknya itu beristighfar, kemudian mengucap hamdalah, lalu bertasbih. Dinda tak kuasa menahan senyum. Masa di telepon juga dzikir sih...

“Neng Dinda...”, suara Rangi menyapanya lembut, mengagetkan Dinda yang sedang fokus pada penampilan band kesayangannya. Ranggi bersimpuh di bawah sofa, mengharap majikannya mengalihkan sejenak perhatiannya dari televise di hadapannya.

“Hm?”, khas Dinda, tidak pernah berbicara lebih dari tiga kata dalam satu tarikan nafas.

“Saya...ngng..”, Rangi tampak ragu-ragu sebelum melanjutkan. Dinda meneliti wajah mbaknya itu. Sumringah, ya. Sedih, ya. Bingung, ya. Dinda jadi serba salah juga.

“Sebetulnya, tadi ibu saya yang menelepon dari kampung, minjem telepon tetangga,”

“Oh...”

Rangi sudah terbiasa dengan tanggapan singkat Dinda, karena itu ia tanpa ragu melanjutkan lagi. “Ada yang melamar saya, Neng. Temen SMP saya dulu. Kaget lho saya, padahal dia itu sudah lulus SMA kok mau-maunya sama saya...”

Dinda tidak berkomentar. Ia malah terbayang wajah teman-teman sekelasnya di sekolah. Mungkinkah teman-temannya itu yang nanti menikah dengannya? Ups, Dinda buru-buru mengusir pikirannya. Kok malah jadi ngelantur?

“Jadi… mungkin... besok saya pulang, Neng...” Rangi mengakhiri ceritanya, memandang Dinda hati-hati. “Boleh nggak, Neng?”

“Tanya mama aja,” Dinda mengangkat bahu. Meskipun dalam hatinya saat itu tiba-tiba merasa ada yang hilang.

“Makasih, Neng...” Rangi beranjak pergi tapi kemudian berhenti sesaat, seakan ingin mengatakan sesuatu lagi pada Dinda. Setelah beberapa detik ia hanya memandang Dinda lamat-lamat, Rangi pun tersenyum lemah dan beranjak menemui nyonyanya. Dinda menatap layar televisi di hadapannya dengan bingung. Sedih...marah..kesal…. entah apa yang bergejolak di dadanya. Akhirnya ia hanya mendengar mamanya menjawab “ya sudah lah…” setelah panjang lebar merayu macam-macam. Termasuk merayu supaya yang melamarnya saja datang ke sini. Dinda tidak melihat, tapi ia yakin saat itu Rangi tersenyum. Mamanya memang ada-ada saja...

***

Dinda dan papa mamanya baru saja selesai shalat ied ketika sepucuk undangan biru itu mampir ke rumah mereka bersama dengan sejoli berwajah secerah mentari itu. Wanitanya mengenakan jilbab biru lembut yang baru kali itu Dinda lihat. Jilbab baru... Dinda teringat jilbab kumal Rangi sebelumnya. Sepanjang makan siang itu Dinda tidak bicara, sementara Rangi dan suaminya mengobrol akrab dengan papa dan mamanya. Ketika mamanya beranjak ke dapur untuk memanaskan sayur sop (sang nyonya sudah bisa memanaskan masakan sekarang), Rangi dan Dinda bertemu pandang. Rangi tersenyum, kemudian beranjak dari kursi dan memberi isyarat Dinda untuk mengikutinya. Bingung, Dinda mengikuti mbaknya itu ke arah kamar mungil di dekat dapur.

“Ini buat Ukhti Dinda...”, Rangi mengulurkan sehelai kain biru dari dalam lemarinya. Kain biru kumal yang dikenali Dinda sebagai...

“Jilbab?” Dinda mengerutkan dahinya bingung. Apa maksudnya?

“Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya...” jelas Rangi setelah ia melantunkan ayat-ayat al-Qur’an yang tidak dimengerti Dinda.

 “Ini adalah jilbab saya yang pertama, jilbab pemberian ayah saya sebelum beliau wafat, jilbab yang paling saya sayangi...”

Dinda tidak menjawab. Tapi matanya mulai berkaca-kaca.

“Ini untuk Ukhti Dinda, karena saya sangat menyayangi Ukhti Dinda. Lebih dari jilbab ini, tentu saja...” Rangi tersenyum, matanya sudah basah oleh air mata.

“Ukhti... meski hanya jilbab usang, percayalah, inilah benda yang paling saya sayangi di dunia ini... tapi percayalah, ukhti lebih saya sayangi...”

Dinda hanya tercenung. Ukhti... panggilan itu begitu asing di telinga Dinda. Tapi terdengar begitu indah. Lebih indah dari “Neng”, apalagi “Mbak”. Terbata-bata Dinda menjawab.

“Sama-sama... ukhti... Rangi”

“Ukhti artinya saudariku... karena setiap muslimah itu bersaudara.” jelas Ranggi sambil tersenyum. Dinda ikut tersenyum. Ah, indahnya panggilan itu...

***

Dua minggu berlalu. Besok sudah mulai sekolah. Dinda mematut-matut dirinya di kaca. Diliriknya jilbab biru usang berbentuk segiempat pemberian Rangi yang  masih tergantung di balik pintu. Di lemari birunya, tergantung dengan rapi jilbab berbagai warna, tapi tentu saja warna biru lebih dominan. Diambilnya yang berwarna putih untuk ia kenakan esok ke sekolah, perlahan ia berucap,

“Bismillah... insya Allah bisa!”, senyum optimisnya menghiasi cermin yang juga berbingkai biru…. (Bandung, Rajab 19,1430/Nadia Hana Soraya).


latestnews

View Full Version