View Full Version
Rabu, 27 Jan 2016

Amalan Sunnah Dan Senda Gurau

Oleh: Rohmat Saputra

Menjaga sunnah diakhir zaman ini memang penuh tantangan. Akan ada saja yang phobia dengan amalan yang membuahkan pahala tersebut. Padahal jika ditanya agamanya Islam. Namun mereka seolah membenci Islam itu sendiri karena membenci salah satu bangunan-bangunan Islam. Apakah lucu, seorang yang mengaku muslim, atau muslimah, tetapi menghina sunnah? Kita husnudzhan saja, mungkin ketiadaan ilmu atau dangkalnya ilmu mereka menjadi alasan terkuat yang menyebabkan mereka menghina sunnah.

Salah satu bentuk hinaan, marilah kita dengan sebuah kisah, dari salah seorang teman saya yang kebetulan mengajar di salah satu yayasan Islam di Jakarta. Semoga ini menjadi ibrah bagi kita semua agar menghormati orang yang mengamalkan sunnah.

Teman saya mengajar dilembaga pendidikan di bawah naungan sebuah yayasan. Biasa ia dipanggil Syauqi. Dia baru 3 bulan mengajar, tapi memutuskan untuk mundur. Salah satu penyebabnya adalah kondisi dan keadaan yang menurutnya tidak mendukung. Bukan gaji ataupun tempat yang jelek. Justru disana gaji besar dan tempatpun bisa dibilang elit. Namun ada suatu hal yang membuatnya harus memutuskan untuk tidak meneruskan. Syauqi kerap dijadikan bahan candaan oleh para pengajar lain karena mengamalkan sunnah, berjenggot.

“Waktu itu saya ikut mitting para guru, dan hampir semua pesertanya adalah wanita. Hanya ada dua laki-laki. Yaitu guru senior dan saya sendiri, yang baru beberapa bulan. Entah kenapa, kepala sekolah itu menyinggung masalah kambing”, Kata Syauqi mengkisahkan pengalamannya.

“Tapi”, Syauqi melanjutkan ceritanya, “Tiba-tiba dia menunjuk kesaya. Kata kepala sekolah  itu yang berjenggot seperti kambing”, muka Syauqi sedikit memerah. Ia memperagakan gaya kepala sekolah itu yang seperti menghinanya.

“Semua guru pada ketawa, saya diem aja waktu itu. Sebenarnya mau saya protes. Kalau memang pengen bercanda ya jangan menghina sunnah,” kata Syauqi dengan suara agak meninggi.

“Tapi saya lebih baik diam, apalagi saat itu sedang momen mitting. Gak pantes saya protes, apalagi saya orang baru disitu,” Suara Syauqi memelan. Tapi saya tahu, dia sangat jengkel sama dengan saya jika sunnah dihina. Walaupun yang bercanda saat itu adalah wanita, yang juga kepala sekolah, tetap itu seperti sebuah hinaan yang tak layak. Tanpa sadar kepala sekolah itu telah menghina Islam. Karena sunnah adalah bagian terpenting kedua setelah Al-Qur’an. Dan sunnah merupakan suatu bentuk perbuatan dan tindak tanduk keseharian Nabi, baik perkataan maupun perbuatan. Ujung-ujungnya kepala sekolah itu seolah menghina Nabi. Karena Nabi berjenggot dan mengajarkan kepada umatnya bagi kaum laki untuk memeliharanya.

“Jenggot saya berkali-kali jadi bahan candaan, khususnya waktu mitting. Saya kira cuma waktu itu aja. Ternyata terus-terusan setiap ada kumpulan para guru. Dan sempat diperingatkan sama salah satu pengajar disana, Dia bilang,” mas, celananya jangan cingkrang-cingkrang, juga jenggotnya jangan panjang-panjang. Ini untuk menjaga nama yayasan”, kata Syauqi sedikit geram. Apakah hanya sebuah yayasan, segala yang berbau sunnah harus ditinggalkan?

Hal seperti ini tak ada bedanya dengan pelarangan seorang muslimah yang kerja di sebuah perusahaan karena berhijab. Hanya saja ini masalah sunnah. Sedangkan hijab adalah masalah wajib. Lantas, mau dibawa kemana jika yayasan yang berbau Islam saja pengajarnya tidak dianjurkan mengamalkan sunnah? Lalu apa yang akan diajarkan kepada anak-anak dalam yayasan tersebut mengenai Islam, padahal disisi yang lain guru di yayasan itu  justru tidak menganjurkan sunnah, bahkan  parahnya malah menghina salah satu  sunnah nabi?

Sebesar apapun yayasan itu, sebagus apapun pendidikan anak-anaknya, begitu juga kwalitas murid-murid yang patut di acungkan jempol karena kritisnya kepada guru, bisa jadi barokah dalam yayasan itu akan menguap hilang. Tak membekas sama sekali. Bagai pasir di atas batu licin yang tersiram hujan deras. Ketenangan dan ketentraman sebagai buah dari keberkahan tidak akan didapat. Hanya membuahkan decak kagum kepada murid-murid yang cerdas tanpa adab. Selama yayasan tersebut mengedepankan dhohiriyah keumuman manusia demi mengejar simpatisan para wali murid agar mendaftarkan anaknya, bisa jadi pahala dan berkah enggan datang. Memang mereka mengajarkan Islam kepada para murid, tapi dikesempatan yang lain mereka malah menghancurkan Islam dengan mengejeknya.

Alih-alih mendapatkan berkah, bisa jadi adzab /musibah akan turun jika mereka tidak mau bertaubat.

Allah mengkatagorikan orang yang bermain-main, bercanda dalam hal agama, walaupun hanya niatannya senda gurau, akan masuk pada penghinaan agama itu sendiri. Karena tidak patut agama menjadi bahan candaan.

Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Muhammad Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qotadah, saat perjalanan menuju dari perang tabuk, didalam rombongan kaum muslimin ada yang berkata, “Kami tidak pernah melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini (yang dimaksudkan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya), kecuali sebagai orang yang paling buncit perutnya, yang paling dusta ucapannya dan yang paling pengecut tatkala bertemu dengan musuh.”

(Mendengar hal ini), ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata kepada orang tersebut, “Engkau dusta, kamu ini munafik. Aku akan melaporkan ucapanmu ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Maka ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu pun pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sebelum ‘Auf sampai, wahyu telah turun kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (tentang peristiwa itu). Kemudian orang yang bersenda gurau dengan menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bahan candaan itu mendatangi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sudah berada di atas untanya. Orang tadi berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami tadi hanyalah bersenda gurau, kami lakukan itu hanyalah untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam perjalanan!”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya (dengan membacakan firman Allah):

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” 
(QS. At-Taubah 9 : 65-66).

Beliau mengucapkan itu tanpa menoleh orang tersebut dan beliau juga tidak bersabda lebih dari itu.” (HR. Ibnu Jarir Ath Thobariy dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Umar dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohihul Musnad min Asbabin Nuzul mengatakan bahwa sanad Ibnu Abi Hatim hasan)

Mengolok-olok Allah dan agama-Nya ada dua bentuk :

Pertama, yang bentuknya jelas dan terang-terangan sebagaimana terdapat dalam kisah turunnya surat At Taubah ayat 65-66.

Kedua, yang bentuknya sindiran dan isyarat seperti isyarat mata atau menjulurkan lidah.

Dan termasuk dalam mengolok-olok adalah mengolok-olok orang yang komitmen dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti mengatakan, ‘agama itu bukanlah pada tampilan rambut’. Perkataan ini dimaksudkan untuk mengejek orang-orang yang berjenggot. Atau termasuk juga ucapan-ucapan yang lainnya yang hampir sama. (Lihat Kitab At Tauhid, Dr. Sholih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan, hal. 62)

Maka, bagi yayasan, atau institusi sebuah lembaga, jika memang tidak memperbolehkan para pengajar berjenggot dan bercelana cingkrang dan yang berbau sunnah lainnya, paling tidak jangan jadikan salah satu amalan sunnah bahan senda gurau, di samakan dengan hewan yang memiliki rambut didagu. Memang perbuatan itu tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, sebagaimana yang difatwakan oleh syaikh Shalih Al-Utsaimin dalam kitab Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, Darul ‘Aqidah, hal 120.

Tetapi amalan sunnah menjadi bahan senda gurau adalah candaan yang diharamkan dan termasuk hal yang berlebihan.  Secara otomatis bukan teman saya saja yang  merasa dihina, tetapi mengena kepada seluruh kaum muslimin yang istiqomah memelihara sunnah. Wallahu a’lam bisyowab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version