View Full Version
Jum'at, 17 Mar 2017

Hidup Mati Demi Bola? Ih, Nggak Banget!

Oleh: Aziz Rohman*

Apa kabar sobat voa-islam yang dirahmati Allah? Kali ini kita akan ulik sekilat info tentang sepak bola. Sepakbola seperti ditakdirkan bukan sekadar olahraga. Maka tak heran pengaruhnya pun telah merambah ke negeri-negeri kaum muslimin, tak terlepas Indonesia. Dan gemerlapnya pentas lapangan hijau di Benua Biru pun tak luput dari mata pecinta bola Indonesia.

Kamis dini hari (9/3/17) satu pertandingan leg kedua babak 16 besar Liga Champions, antara Barcelona vs Paris Saint-Germaint (PSG) tersaji di Camp Nou. Dimana Barcelona secara dramatis menang dengan skor telak 6-1.  Barca membalikkan ketertinggalan 0-4 atas PSG di leg pertama. Dan secara mengejutkan akhirnya, Barca unggul agregat 6-5 atas PSG dan berhak lolos ke babak perempat final Liga Champions tahun ini. Berita ini sangat heboh di kalangan pecinta bola.

Bicara suporter, sobat pasti pernah tahu kan gimana aksi-aksi suporter sepakbola dalam mendukung klub atau timnas pujaannya? Mereka bela-belain datang ke stadion jika klub pujaannya bertanding. Ada yang memang bayar masuk ke stadion untuk nonton, nggak sedikit juga yang cuma ngeramein jalanan aja karena nggak punya ongkos untuk beli tiket pertandingan. Para suporter ini nyaris memiliki semua atribut klub kebanggaannya: kaos, slayer, stiker, bendera, dan sejenisnya. Selain itu, mereka ada yang rela mati demi membela klub pujaannya dan juga rela melakukan kerusakan dalam melampiaskan kegembiraan (apalagi kekecewaan).

Sepakbola seperti ditakdirkan bukan sekadar olahraga. Di Jerman dan Perancis sepakbola adalah kebanggaan teritorial dan pesta. Kalo di Inggris lain lagi, sepakbola adalah ritual dan hiburan. Tak heran kalo di Old Trafford, stadion klub berjuluk Setan Merah, Manchester United sering dibentangkan spanduk dalam ukuran raksasa: Manchester United is My Religion, Old Trafford is My Church. Mungkin ritualnya di stadion karena agamanya adalah MU. Ckckckck…

Fakta suporter fanatik inilah, yang sebagian besar menganggap sepak bola sebagai ‘agama’, dimanfaatkan para pebisnis untuk mengeruk keuntungan. Pikir aja, tuh merchandise berupa kaos, slayer, gantungan kunci, mug, dan jenis lainnya pasti dijual kepada kepada para fansnya—itu artinya, keuntungan buat pemilik klub. Itu yang resmi lho (maksudnya dijual khusus oleh klub sepak bola yang bersangkutan). Kalo yang ‘liar’ pasti jumlahnya lebih banyak lagi, di pasar-pasar tradisional di negeri kita juga udah banyak kok. *mungkin ada di antara kita yang malah jualan juga hehehe…

Gaes, kalo mau teliti, sebenarnya logo-logo klub sepak bola di Inggris, Italia dan juga Spanyol dan beberapa negara lainnya (termasuk di jersey timnas mereka) banyak yang ‘memodifikasi’ lambang Salib. Lihat deh Juventus, AC Milan, Barcelona dan Real Madrid. Empat klub itu sengaja saya tulis karena selain mudah untuk dilihat (karena agak mencolok) juga karena cukup terkenal di dunia. Meski belakangan, Real Madrid dan Barcelona rela menghapus lambang Salib demi fulus. Ujungnya  bisnis juga. Dibentuk (logonya) demi duit, dihapus juga demi duit. Mungkin niatan awalnya sepak bola jadi ajang show of force yang ada hubungannya dengan agama tertentu, khususnya Nasrani. Tetapi lama kelamaan klub juga butuh duit dan akhirnya berlabuh pada bisnis.

Nah, ngomongin soal Real Madrid yang menghapus lambang Salib pada logo klub di bagian atasnya (mahkota) ternyata tujuannya adalah untuk mendapatkan kontrak yang nilai fulusnya gede banget. Berdasarkan catatan Republika.co.id  (2 Juni 2012), Real Madrid membuat kebijakan kontroversial dengan menghapus tanda salib pada logo klub pada April 2012. Langkah tersebut membuat Los Blancos mendapat proyek besar di Timur Tengah dengan diberi izin untuk membangun resor olahraga di Uni Emirat Arab senilai 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 9,5 triliun. Hehehe mungkin para petinggi klub berpikir: “maafih fulus mamfus” (nggak ada duit koit), maka berlombalah mengeruk duit sebanyak-banyaknya.

Kalo Real Madrid baru April kemarin menghapus tanda salib pada logo klub, ternyata Barcelona udah sejak 2007 silam. Barcelona, melakukannya pada tahun tersebut, ketika investor Qatar Foundation menyatakan ingin bergabung dengan Blaugrana. Kesepakatan terjadi pada akhir 2010, ketika Barcelona mengumumkan telah menandatangani kontrak lima tahun bersama sponsor yang berasal dari Kota Doha tersebut. Nilai kontrak sebesar 150 juta euro alias Rp 1,76 triliun dari tahun 2011 sampai 2016. Kesepakatan kedua pihak adalah terkait pemasangan sponsor di jersey klub dengan catatan El Barca setuju menghilangkan satu palang di emblemnya agar tidak terlihat seperti salib.

So, dengan demikian, bagi penggila sepak bola, yakni para suporter sepak bola, sepak bola adalah ideologi, sepak bola adalah politik, sepak bola adalah penyaluran harapannya, bahkan bisa jadi sepak bola juga adalah agama mereka. Tetapi bagi pemain, karyawan klub dan terutama pemilik klub, sepak bola adalah bisnis yang tentu saja hubungannya ama dekat dengan fulus bin duit. Ibaratnya mereka berteriak, “Barang siapa yang mencintai klub sepak bola, maka harus diwujudkan melalui dukungan di stadion dengan cara membeli karcis, mengoleksi merchandise dan menjadikan sepak bola sebagai jalan hidupnya.” Waduh!

...bagi penggila sepak bola, yakni para suporter sepak bola, sepak bola adalah ideologi, sepak bola adalah politik, sepak bola adalah penyaluran harapannya, bahkan bisa jadi sepak bola juga adalah agama mereka...

Gaes, jika dalam sepakbola saja banyak orang rela menjadi pendukung setianya, maka seharusnya dalam Islam kita bisa menjadi bukan hanya pendukung tapi pembela dan pejuangnya. Perbedaan dukung mendukungnya hanya pada ideologi. Kalo para suporter sepakbola mungkin ada yang sekadar ikut-ikutan, ada yang memang menjadikan sepakbola sebagai muara emosi kesukuan dan kelompoknya, ada yang sebagai jalan hidup dan politik, maka para suporter Islam seharusnya menjadikan Islam sebagai pilihan hidup. Islam sebagai ideologi yang wajib diperjuangkan dan ditegakkan dalam kehidupan individu, masyarakat, dan juga negara.

Saya dan kawan-kawan yang ngelola pengajian suka sedih banget ketika melihat banyak teman kita yang sampe bela-belain memenuhi stadion untuk mendukung klub pujaannya bertanding, sementara untuk memenuhi masjid dalam pengajian mereka nggak mau meski udah kita kasih undangan khusus. Miris deh.

Nggak abis pikir juga banyak kaum muslimin yang pelit ngeluarin zakat, infak dan shadaqah atau apapun yang berkaitan dengan kebaikan dalam Islam. Tetapi mereka jor-joran bin royal dalam membelanjakan uangnya untuk sepakbola: beli kaos, merchandise, tiket stadion dan lain-lain. Aneh yang punya bapak ajaib alias aneh bin ajaib.

Kalo suporter sepakbola banyak yang mengerahkan tenaga dan pikirannya serta kreativitasnya dalam mendukung tim-tim kebanggaannya, tentu sebagai mukmin sejati seharusnya kita lebih hebat lagi dalam menyumbangkan tenaga, pikiran, dan memunculkan kreativitas untuk kemajuan Islam di berbagai bidang: pendidikan, dakwah, sosial, budaya, teknologi dan sebagainya. Inilah seharusnya yang membuat kaum muslimin berbeda dengan umat lainnya. Kaum muslimin lebih merindukan kehidupan akhirat ketimbang hiasan dunia yang sifatnya fana.

Soal ibadah juga seharusnya seorang muslim pejuang Islam lebih memilih memperbanyaknya. Jangan sampe kalah dengan para bolamania. Kita patut menyayangkan energi yang digeber tanpa lelah oleh mereka yang gila bola. Demi melihat  aksi tim kesayangannya bertanding, tak bisa ke stadion maka di televisi pun tak jadi soal. Meski waktu mainnya di sini dinihari nggak jadi masalah. Shalat tahajud? Ah, mungkin mereka sudah lupa. Aneh ya? Padahal kekuatan Islam seharusnya lebih menggerakkan untuk beramal baik sebanyak mungkin. Ironi memang.

Catet Bro, ngapain sih kudu bela-belain klub sepak bola sampe lupa diri dan lupa ideologi kita sendiri, yakni Ideologi Islam. Cukuplah kalo pun mau nonton, ya nonton aja di rumah via layar kaca. Itu pun seperlunya aja, jangan memaksakan diri hingga begadang, apalagi sampe ikutan taruhan atau bahkan menjadikan sepak bola sebagai agama kedua kita. Hadeh, itu sih namanya lebay. Nggak banget!

Semoga kita tetap menjadikan Islam sebagai jalan hidup kita. Bukan yang lain. Islam sebagai ideologi kita. Cukuplah sepakbola sebagai hiburan, itupun jangan berlebihan dan sekadar ditonton pertandingannya di televisi saja. Kalo mau main dengan kawan-kawan, mainlah seperlunya saja bukan sebagai profesi atau maniak. Sebab, yang layak dijadikan jalan hidup hanyalah Islam. Pasti itu! (riafariana/voa-islam.com)

*Tim Kreatif di Soeara Pemoeda


latestnews

View Full Version