View Full Version
Ahad, 15 Oct 2017

Membakar Lahan Kering Perlawanan Mahasiswa

Oleh: Ari Farouq (Ketua Gema Pembebasan Surabaya)

 

“Langit semakin suram oleh aroma busuk kedzhaliman

Sedang bumi kering kerontang kehilangan oase keadilan

Rakyat semakin sengsara dalam terpaan sistem durjana

Pejabat makin merajalela dengan kekuasaan yang fana

Sedang para pemagang masa depan sibuk berpesta

Apa yang terjadi ?

Kemana para Mahasiswa?

Kemana suara anak muda dengan kepalan tangannya, Dengan semangat didada dan gagasan dikepala ?

Hilang, mengjihlang, Kini seakan hilang ditelan zaman. Lenyap bagai senja yang dibungkam mendung hitam.”

 

Sudah 72 tahun bangsa ini memproklamirkan kemerdekaan atas negara penjajah yang telah lebih 3 abad merampas kekayaan bangsa ini. Meski nyatanya tangan-tangan penjajah masih saja mencengkeram dan mengoyak kekayaan alam yang semestinya menjadi hak bagi rakyat. Tidak perlu lagi dengan senjata atau tank-tank perang, maka kini cukup dengan undang-undang yang dibuat dan disahkan oleh para boneka imperialis. Dan anehnya, justru mereka inilah yang merasa paling Pancasilais dan cinta pada negeri. Omong kosong!

Masalah Neoimperialisme dan penguasaan SDA hanyalah segelintir masalah dari krisis multidimensi yang melanda bangsa ini. Sistem ekonomi kapitalistik menghasilkan kemiskinan struktural dan kesenjangan. Begitupun persoalan dalam aspek sosial dan budaya masih menjadi peer yang belum terselesaikan. Setiap hari berbagai kasus yang menimpa remaja Indonesia mulai dari narkoba, miras, tawuran pelajar dan pergaulan bebas. Konflik sosial juga menjadi problem yang masih sulit terselesaikan, bahkan di era digital ini semakin memanas, nyatanya sistem Demokrasi tidak mampu mengakomodir keragaman dan perbedaan yang ada. Di aspek lainya pendidikan dan kesehatan yang harusnya menjadi hak rakyat justru menjadi komoditas yang diperjualbelikan, rakyat miskin masih sulit mengaksesnya.

Dalam konsisi seperti inilah rakyat harusnya sadar dan bergerak melakukan perubahan, namun ternyata kondisi yang sedemikian rusak masih saja tidak membuat sadar sebagian besar rakyat. Kalaupun ada yang sadar hanya sampai dalam angan-anganya, paling jauh hanya memaki dan diceritakan ke teman nongkrong di warung kopi. 

***

Bagi kalangan mahasiswa ini merupakan problem yang harus diperhatikan, meskipun hakikatnya ini adalah tugas dan PR kita semua sebagai rakyat. Namun mahasiswa sebagai entitas yang terdidik, memiliki segala hal yang lebih dibanding dengan masyarakat pada umumnya. Mahasiswa sebagai agent of change harus segera bangun dari tidur panjangnya. Mitos mahasiswa sebagai agent of change jangan sampai malah menjauh dari realita yang ada.

Meskipun tidak bisa dipungkiri kondisi mahasiwa hari ini jauh dari harapan akan perannya di masyarakat. Para mahasiswa disibukkan dengan kehidupanya sendiri, mereka lebih banyak duduk manis di cafe dan jalan-jalan di pusat perbelanjaan. Mereka lebih sering muncul di layar tv sebagai juru keprok, bersorak-sorak meneriakkan nama artis idolanya. Yang dibicarakanpun bukan lagi kondisi bangsa atau nasib rakyat melainkan tentang artis idola,  trend atau mode pakaian terbaru dan gaya glamor lainya. Gaya hidup hedonis ini juga telah merambah ke dalam ruang-ruang kampus, baik negeri maupun swasta. Mahasiswa lupa menyadari perannya sebagai agen perubahan sosial. Tidak ada lagi yang berani lantang melawan kediktatoran rezim ini.

Mungkin mahasiswa sudah terlena dalam zona nyaman, kuliah, nongkrong, bersolek ala artis. Sehingga mahasiswa seperti berada di menara gading. Tak heran, suara-suara masyarakat yang tertindas oleh sistem hanya terdengar sayup-sayup sampai ke telinganya.

Inilah keberhasilan sistem hari ini, mampu mendesain para pemuda dan mahasiswa yang Individualis, apatis dan apolitis.

Hal ini semakin diperparah dengan kondisi kampus yang seolah berganti fungsi menjadi sebuah pabrik yang memproduksi mahasiswa sebagai komoditi layak jual. Mereka dituntut harus lulus tepat waktu. Kampus sebagai pabrik yang merupakan perpanjangtanganan pasar, berusaha mencetak komoditi yang dibutuhkan pasar. Mencetak mahasiswa agar sesuai dengan kebutuhan konsumen. Maka mahasiswa dituntut dengan IPK tinggi dan lulus cepat yang menjadi salah satu kriteria utama untuk menentukan kualitas produk kampus tersebut. Miris memang, namun seperti inilah realitasnya.

Melihat kehidupan mahasiswa yang seperti ini, tanpa sadar telah terlupakan peran-peran besar mahasiswa yang pernah direkam sejarah sebelumnya. Dan sebenarnya para cendekia muda ini pun secara latah menerobos norma-norma intelektualitas.

 

***

Masihkah ada harapan bagi gerakan mahasiswa untuk kembali memainkan perannya?

Yang dibutuhkan hari ini adalah membangkitkan kembali kesadaran mahasiswa, membangunkan intelektual muda dari tidur panjangnya. Inilah saatnya membakar lahan yang telah kering sekian lama. Mahasiswa harus kembali menjadi  garda terdepan sebagai penyambung lidah masyarakat. Tentu melawan dengan sebuah konsep solusi yang sistemtis, karena hanya bermodal semangat hanya akan melahirkan gerakan yang pragmatis yang hanya berkutat pada solusi-solusi parsial, tentu tidak akan menyelesaikan masalah karena problem yang dihadapi bangsa ini merupakan problem multidimensi. Maka saatnya Mahasiswa terus menerus berjalan, mencerna, dan refleksi diri.

Mungkin kita perlu menengok kembali sejarah bangsa ini, atau berbagai peristiwa revolusioner yang selalu diawali dengan gagasan pemudan dan mahasiswa. Sehingga kita mampu memposisikan gerakan mahasiswa sebagaimana mestinya. 

Kawan mari kesini kembali berpikir, berdiskusi, kita teriakan perlawanan pada setiap kedzholiman yang terencana, kita ramaikan kembali kampus dengan gagasan-gagasan Revolusioner. Simpan dulu gadget dan pesona merah jambumu. Redam dulu pupularitas dan angan-angan panjangmu. Rakyat menunggu kita, bangsa ini menanti solusi dari kita Mahasiswa. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version