View Full Version
Kamis, 27 Sep 2018

Mengapa Menulis Butuh Otoritas?

Oleh: Roni Tabroni*

Waktu belajar menulis, saya mencoba merangkai kata untuk tema-tema yang tidak terbatas. Apa yang dipikirkan akan cepat ditulis. Walaupun tahu permukaan tentang sesuatu, secepat kilat menjadi artikel.

Menjadi penulis rupanya butuh asupan gizi, tidak sekedar niat. Berbeda dengan wartawan yang dapat menulis apa saja asal fakta dan datanya ada. Tetapi menjadi penulis lepas (opini) membutuhkan keahlian dalam bidang yang akan ditulis.

Saya tersadarkan oleh Pak Budhiana yang selalu mengingatkan bahwa setiap tulisan itu butuh otoritas dari penulisnya. Tidak bisa setiap orang menulis banyak hal, dari A sapai Z.

Setidaknya kapasitas seseorang ini terbatasi dengan bidang ilmu yang digelutinya. Walaupun setiap mahasiswa boleh belajar apa saja, tetapi pengambilan jurusan tertentu menjadi pertanda konsen keilmuwan yang dipelajarinya. Ilmu yang dipelajari bisa lebih mendalam ketimbang ilmu lain yang bukan jurusannya.

Otoritas keilmuan ini menjadi penting ditengah hiruk-pikuk opini yang bertebaran di media sosial. Kini manusia menjadi tidak jelas kapasitas keilmuannya, sebab dengan gadgetnya masing-masing setiap orang bisa membagi konten apa saja.

Orang sudah tidak lagi berpikir tentang konten, yang penting cepat membagikannya. Kecanggihan teknologi memaksa orang untuk selalu menjadi yang pertama membagi konten — apapun isinya. Bahkan orang mungkin sudah tidak lagi berpikir benar tidaknya konten.

Kecepatan ini yang menafikan manusia dari perilaku tabayyun. Sebab tidak sedikit konten bohong yang turut disebarkan. Asal memenuhi hasrat pribadi dan kepentingannya, maka setiap informasi akan cepat berpindah tangan.

Otoritas sebanrnya dimaksudkan untuk mengclearkan setiap persoalan opini publik dan meluruskan berita bohong yang kini banyak menyebar di media sosial. Sayangnya, orang-orang yang punya otoritas di bidang ilmu tertentu kini lebih memilih diam dan sibuk dengan dunianya sendiri.

Maka dua persoalan kini yang tidak beranjak dari ruanh publik, pertama tidak pedulinya orang-orang yang punya kapasitas keilmuwan. Mereka para pakar yang berada di Perguruan Tinggi malah sibuk dengan penelitian (katanya) dan jurnal. Mereka sibuk mencari forum-forum seminar internasional, duduk sebentar dan presentasi alakadarnya, setelah itu jalan-jalan. Bayar mahal tidak jadi soal yang penting dapat kum dan sertifikat.

Semakin banyak gelar makin autis. Tidak peduli dengan lingkungan sosial. Tidak ada waktu untuk memberikan pencerahan kepada publik karena tidak berpengaruh terhadap kum dan tidak bisa dijadikan daya tawar untuk kenaikan pangkat. Pengabdian masyarakat hanya formalitas dan tidak berkorelasi dengan peningkatan kualitas masyarakat.

Sedangkan ruang maya diisi konten-konten yang dipertanyakan kualitasnya. Setiap orang bukan hanya dapat menciptakan konten tetapi juga komentar seenak perutnya. Tidak sedikit ujaran kebencian disana, caci-maki dan kata-kata tidak beradab.

Tidak sedikit orang yang tidak tahu masalah komentar konten seolah-olah paling tahu. Mudah menyerang orang, menghina dan memojokkan tanpa adab. Jari jemari lebih lincah dari cara berfikir, maka yang ditulis bukan buah fikir tetapi ekspresi gerak fisik yang nihil nilai.

Miskinnya referensi membuat masyarakat yang kecanduan gadget ini akan melihat teks sebagai simbol belaka. Tidak terbiasa membaca panjang maka yang dilihat hanya judul. Bukan rasionalitas yang bermain tetapi emosi. Maka konten tidak lagi menjadi sarana pencerahan tetapi sebagai ekspresi kekesalan dan kecurigaan.

Energi negatif akhirnya menjejali ruang maya kita, lalu ditranfer melalui jejaring sosial dan bersarang di setiap memori publik. Masyarakat penonton seperti ini sulit membangun narasi peradaban.

Dan sekali lagi, orang-orang yang punya otoritas keilmuan tentang berbagai persoalan masyarakat hanya duduk di menara gading, dari kampus ke hotel, dari seminar ke simposium. Mau menulis jika jelas rupiahnya, mau melirik masyarakat jika jelas angkanya dari sponsor. Mungkin tidak semua, tetapi bisa jadi kebanyakannya begitu.

Padahal jika setiap orang cerdas itu menulis atau membuat konten dan menyebarkannya kepada orang banyak, tidak sedikit orang yang akan merasakan manfaatnya. Jika setiap pakar menjelaskan tentang setiap pertanyaan dan kehawatiran publik, mungkin kehidupan akan lebih baik.

Contohnya, jika di tahun politik itu yang banyak picara adalah orang-orang cerdas maka publik tidak akan menjadi korban, tidak akan ada konflik hirozontal, tidak ada ketegangan yang tidak perlu, dan kita tidak akan menyaksikan orang-orang yang besar mulut mengulang-ulang kata-kata yang tidak bermutu itu. [syahid/voa-islam.com]

*) Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Komunikasi USB YPKP, UIN SGD Bandung dan Pengurus MPI PP Muhammadiyah


latestnews

View Full Version