View Full Version
Jum'at, 25 Jan 2019

Bandung, antara Liberalisme ala Hollywood dan Islam

Oleh: Naely Lutfiyati Margia, Amd.Keb.

Bandung, Paris van Java. Kota yang terkenal dengan keindahan dan keramahannya ini menjadi salah satu destinasi wisata. Alhamdulillah, kini Bandung pun dihiasi dengan acara kajian-kajian Islam, baik resmi program dari pemerintah atau masyarakat yang mengadakannya. Tak hanya orang tua, namun kini kaum remaja datang berbondong-bondong menghadiri kajian Islam. Kesadaran akan kebutuhan ilmu agamalah yang mendorong kaum milenial untuk memperdalam Islam, yang kini telah menjadi gaya hidup.

Sayang, di tengah maraknya kajian-kajian Islami ini, ternyata ada kampanye meng-Hollywoodkan Bandung. Dalam artian, pemerintah akan mempermudah urusan perizinan bagi produksi film di Bandung dan Jawa Barat.

Hollywood adalah sebuah distrik di Los Angeles, California, Amerika Serikat. Daerah ini terkenal dengan industri perfilmannya di seluruh dunia. Gaya hidup bebas dan hedonislah yang terbentuk di sana.

Harus kita telisik lebih dalam dan cermat apa yang bisa kita dapatkan dari film-film Hollywood ataupun film Indonesia? Kebanyakan justru hanya menyampaikan cerita fantasi, gaya hidup mewah, cinta anak sekolah, pergaulan bebas, dll.

Sungguh sangat kontras. Di tengah euforia kajian Islam, pemerintah justru mengkampanyekan dunia hiburan dengan segala kebebasan dan hedonisme. Ilmu yang didapat di kajian langsung dibenturkan dengan hiburan yang hilir mudik menggoda mereka. Bukan tak mungkin, akan banyak kaum milenial yang hijrah akan kembali tergiur pada kehidupan liberal dan hedonis.

Lalu bagaimana hiburan dalam kacamata Islam? Menurut Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya Halal dan Haram, pada masa Nabi Muhammad SAW, mendengar puisi, musik atau bermain menjadi bagian hidup. Bergembira tidaklah tabu dalam Islam. Saat itu umat tak hanya menjalani rutinitas ibadah, tapi mereka juga menjalani kegiatan yang membawa kegembiraan. 

Rasulullah sendiri bukanlah sosok yang kaku. Beliau sangat cinta kepada kegembiraan. Namun demikian, ada panduan yang ditetapkan Rasulullah dalam berhibur. Demikian pula pada bermusik dan menyanyi. 

Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, menyatakan bahwa semua perbuatan itu harus disertai dengan niat. Maka setiap orang akan dinilai menurut niatnya. Orang yang menikmati hiburan dengan niat bermaksiat pada Allah, maka dia fasik. Tapi, mereka yang punya niat menghibur hati supaya bisa terus berbakti kepada Allah, maka dia adalah orang yang taat dan berbuat baik.

Ini bukti bahwa pemerintah kurang sungguh-sungguh dalam mengusung Islam. Berkaca dari program hiburan yang justru jauh dari nilai Islam. Juga telah gagal melindungi generasi muslim dari virus liberal dan hedonis.

Jauhnya kaum muslim dari islam, menyebabkan kaum muslim lupa dengan nilai-nilai keislaman dan hakikat hidup yang sesungguhnya. Tentu kita merindukan kehidupan islami, yang akan senantiasa menjaga kita dalam keimanan, mengkondisikan kita istiqomah dalam kebaikan dan selalu mendekat pada Allah, Tuhan Semesta Alam.

Dan hal ini membutuhkan kerjasama antara individu, masyarakat dan negara. Individu perlu dibina. Masyarakat pun perlu dibina. Dan negara sebagai fasilitator yang membatasi media supaya tidak mempromosikan nilai-nilai liberalisme melalui industri hiburan. Inilah yang Islam tawarkan. Ia akan jadi solusi hakiki dalam menjaga keimanan umat jika diterapkan. Akankah mencukupkan diri dengan mengikuti kajian tapi enggan menerapkannya dalam kehidupan?

Wallahu a’lam bish shawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version