View Full Version
Ahad, 27 Jan 2019

Mendulang Kepercayaan Melalui Keteguhan Lisan

Oleh: Arin RM, S, Si
 
 
Lisan adalah bagian dari manusia yang sering mendapatkan perhatian. Bahkan sejak awal Rasulullah memberikan perhatian khusus pada lisan, agar manusia bijak menggunakannya. "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadist Masyur tersebut merupakan salah satu rambu-rambu bagaimana seorang muslim menggunakan lisannya. Sebab baik buruknya apa yang keluar dari lisan, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. 
 
Bagi pemegang bara iman, tentulah cukup peringatan keyakinan atas iman kepada Allah dan hari akhir menjadi pengingat agar tak mudah berucap. Bukan hanya agar tak menyakiti orang lain, tapi juga agar tak membohongi, atau bahkan memberikan harapan palsu pada yang lain. Oleh karena itu benarlah jika Imam al-Syafi'i memberikan nasehat "Apabila seseorang ingin berbicara, hendaklah berpikir dulu. Bila jelas maslahatnya, berbicaralah. Dan jika dia ragu, janganlah dia berbicara hingga tampak maslahatnya."
 
Memikirkan apa yang dilisankan agar tidak berbuah kedzaliman itu penting. Terlebih jika hal itu berkaitan dengan ulama. Mereka adalah perpanjangan penerus dakwah para Nabi, berhak mendapatkan tempat untuk dihormati selama berpegang teguh pada apa yang datangnya dari Allah dan rasul-Nya. Tak layak sama sekali lisan berubah-ubah sesuai kepentingan sesaat dalam memperlakukan mereka.
 
Bila hari ini berkata demikian, maka tetapilah hingga menjadi kenyataan. Sebab manusia sejatinya hanya bisa dipegang melalui ucapannya, dibuktikan ataukah ditinggalkan. Sebagai contoh, beberapa waktu lalu umat muslim senang, lantaran ada yang berkata dari lisannya, pembebasan ABB adalah bukti tidak anti Islam (republika.co.id, 20/01/2019). Namun akhirnya pembebasan itu tak jadi dilakukan. Dan lagi-lagi keputusan itu terucap melalui lisan. Disinilah pentingnya pikiran yang mengendalikan lisan harus benar. Harus dibimbing oleh iman, yang bukan hanya tampak di pembungkus badan, tapi iman yang benar-benar mengendalikan segala perbuatan.
 
Iman yang benar-benar muncul karena kesadaran sebagai hambaNYa bahwa  segala sesuatu yang terjadi kelak akan  dihisab di hari akhir. Iman ini akan menumbuhkan lisan yang tunduk pada kebenaran, bukan yang berubah sesuai dengan kepentingan. Sebab ketika kepentingan duniawi dan tendensi materi menjadi tujuan, maka standarnya lisanpun akan dengan mudah berubah-ubah mengikuti kepentingan. Tidaklah mengagetkan jika jawabannya dengan mudah bisa berubah dalam waktu yang cepat. 
 
Ironisnya, di zaman kapitalis seperti ini, kepentingan materi masih mendominasi. Entah demi mengamankan posisi, entah demi mengejar pundi-pundi rupiah, entah demi ketundukan pada pemilik modal. Semuanya mungkin dilakukan asalkan nyata-nyata mendapatkan keuntungan. Termasuk juga bermain lisan. Jika lisan tak sesuai kenyataan, maka siapakah yang akan percaya? Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Orang tidak lagi percaya sebab predikat bohong akan melekat baginya. Imam an-Nawawi menjelaskan, bohong bisa bermakna mengabarkan sesuatu yang menyelisihi kenyataannya (An-Nawawi, Al-Adzkâr, hlm. 326).
 
Maka menjadi pelajaran berharga bagi kita, bahwa tidak dipercaya karena kebiasaan bohong adalah keniscayaan. Terlebih jika kebohongan itu disiarkan dan berimbas pada kekecewaan jutaan rakyat. Oleh karenanya, penting diingat bahwa kepercayaan hanya bisa didulang jika memang terbukti teguh menjaga lisan. 
 
Ilustrasi: Google

latestnews

View Full Version