View Full Version
Sabtu, 13 Jun 2020

Hutang Ribawi Bikin Hidup Tak Harmoni

 

Oleh: Isti Shofiah

"Saya berharap ini jd berita positif. Saya pribadi hanya ingin menjalankan new normal versi saya. Pengen hidup tenang seadanya dan apa adanya tanpa ada hutang, have a nice day," tulis Ivan Gunawan dalam akun Instagramnya.

Hidup dengan kartu kredit sudah menjadi hal lumrah di kalangan masyarakat menengah ke atas, termasuk para artis. Mereka merasa belum keren jika belum memakainya. Sebab, itu semua memang dinarasikan demikian, sehingga kalangan atas berlomba memakainya tanpa memperhatikan hukum agama tentangnya. Padahal, pemakaiannya memaksa mereka hutang dengan bunga, tentunya.

Manusia ingin hidup nyaman itu fitrah. Di sistem kapitalisme saat ini, istilah hidup nyaman diidentikkan dengan banyaknya materi, baik uang maupun barang branded yang dimiliki. Sehingga, mereka kalangan atas memilih jalan pintas untuk bisa hidup mewah meski hasil ngutang di balik kartu kreditnya. Ya, secara dzahir mereka terlihat kaya, tetapi sejatinya banyak beban hidup yang ditanggung karena hutang.

Rafi Ahmad misalnya. Dengan mobil sport dan beberapa mobil serta rumah mewah yang dimiliki tentu orang lain mengira hidupnya nyaman, berlimpahan materi maka tentu mereka bahagia. Padahal, Raffi sendiri pernah mengungkapkan bahwa ia bekerja keras berangkat pagi pulang pagi hanya untuk bayar cicilan. Miris kan?

Dan hal serupa juga dilakukan Ivan Gunawan. Designer kondang itu memakai sebanyak enam buah kartu kredit. Tentu, tujuannya sama yakni ingin tetap hidup mewah meski dengan cara ngutang. Namun, pada akhirnya ia pun menyadari bahwa dengan banyaknya hutang membuat hidupnya tak tenang, terlebih di masa wabah seperti ini. Ia mengatakan bahwa pemasukan dana tak banyak sedangkan cicilan tetap harus dibayarkan dan tak dapat ditunda. Maka, Ia ingin hidup dengan tenang tanpa bayang-bayang hutang dengan berhenti memakai kartu kredit.

Hedonisme sungguh menyerang negeri ini ke berbagai kalangan. Demi sebuah gaya hidup, banyak yang rela melakukan segala cara. Mereka tak peduli melanggar norma agama atau tidak. Tua atau muda, kaya atau miskin, semua telah terjangkiti hedonisme. Tak heran, pernah terjadi kasus pelajar menjual diri hanya demi memiliki HP dengan merk apel gigit. Oh No! Sebegitu akutnya hedonisme meracuni otak anak negeri.

Sikap hedonis lahir dari sekular kapitalisme yang dianut negeri ini, juga negeri-negeri yang lain di dunia. Ya, kesenangan materi adalah hal utama yang ditanamkan dalam pemahaman hedonisme. Kebahagiaan diukur dari banyaknya materi dan kemewahan yang dimiliki. Gaya hidup hedonisme tak lain hanyalah salah satu dampak dari naluri/gharizah baqa’ (mempertahankan diri) yang mendorong manusia mempertahankan diri atau menguasai sesuatu yang diinginkan.  

Sebagai seorang muslim, harusnya kita bersyukur dan bangga. Itu karena Islam tak hanya mengatur urusan ibadah semata. Lebih dari itu Islam juga sebagai ideologi yang memiliki pandangan hidup khas sesuai dengan akidah Islam. Kebahagian dalam Islam diukur ketika seorang hamba mendapatkan keridhoan dari penciptanya, Allah Swt. Bagaimana? Dengan cara menaati perintah Allah dan menjauhi larangaNya.

Bila kita bisa memaknai arti kebahagiaan secara benar maka dengan sendirinya kita akan mewujudkan langkah kehidupan kita sesuai dengan syariat Islam. Sebutlah dengan menerapkan pola hidup sederhana, bersyukur dengan apa yang kita miliki dan selalu 'melihat ke bawah' saat di luar sana masih banyak orang-orang yang masih membutuhkan. Hal tersebut bisa menjadi pengontrol bagi kita agar terhindar dari hedonisme.

Kebahagiaan sejati tidak diukur dari banyaknya harta atau mewahnya rumah, namun kebahagiaan itu apabila muncul ketenangan dalam hati dan selalu bersyukur atas rezeki yang telah Allah beri. Banyak atau sedikitnya rezeki adalah ketika ridho Allah menyertai, sehingga muncul sikap qana'ah dalam diri.

Sementara itu, negara yang menjadikan Islam sebagai ideologi, takkan membiarkan hutang berbau ribawi bertebaran memangsa rakyat. Hukum asal berhutang adalah boleh. Namun, kebolehan itu bisa berubah menjadi haram tatkala ada tambahan lain sebagai kompensasi di dalamnya. Sekecil apapun kompensasi atau keuntungan itu tetaplah haram. Sebagaimana dalam kaidah para ulama mengatakan, “Setiap utang piutang yang di dalamnya ditarik keuntungan, maka itu adalah riba“.

Dan Allah telah berfirman yang artinya, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (Al Baqarah : 275)

Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari jerat ribawi dan memberikan kita rezeki dan kehidupan yang berkah. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google

Hutang Ribawi Bikin Hidup Tak Harmoni

 


latestnews

View Full Version