View Full Version
Rabu, 27 Oct 2021

Korupsi Jadi Ritual Bangsa, Berapa Harga Percaya?

Oleh: Fathiya Putih Khaira

(Siswi SMA Durrotul Ummah Tangerang)

 

‘Ich bin nicht verärgert, dass Sie mich angelogen haben, ich bin verärgert, dass ich Ihnen von nun an nicht mehr glauben kann.’ - Friedrich Nietzsche

Ini adalah salah satu kalimat yang dilontarkan oleh seorang penyair sekaligus filsuf dari Jerman di tahun 1844-1900 M. Makna kalimat ini sangat relevan dengan realita, mengena ke dada, dan seharusnya jadi instropeksi bagi manusia. Jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, seperti inilah bunyinya, ‘Saya tidak sedih kalau Anda telah membohongi saya, tapi saya justru sedih karena sejak saat itu saya tidak bisa percaya lagi kepada Anda.’

Ini benar dan tak ada yang meragukan, atau bahkan kita sendiri sudah pernah menjadi pelakonnya. Kepercayaan kita sirna dan harapan pupus, ketergantungan pun putus di tengah arena balapan. Semua pekerjaan terhambat, rintangan tinggi menggunung, dan berujung kita yang bingung. Inilah puncaknya, akhirnya banyak manusia tak lagi mau percaya antar sesama manusia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), percaya bermakna yakin benar atau memastikan akan kemampuan atau kelebihan seseorang atau sesuatu (bahwa akan dapat memenuhi harapannya dan sebagainya). Inilah definisi percaya yang sebenarnya. Jadi masihkah mahluk ini bersarang dalam dada?

Untuk menjawab pertanyaan ini, majalah kusam nan berdebu harus kita buka dulu, koran pekanan yang dilempar ke halaman rumah harus kita teliti terlebih dahulu, dan elektronik serba kotak berlayar cerah harus kita ubah chanelnya terlebih dahulu. Mari tengok realita, baca berita.

Dikutip dari Kompas.com, terdapat 10 orang terdakwa korupsi dari hari Kamis (21/10/2021) 15:59 WIB sampai Jum’at (22/10/2021) 09:38 WIB. 10 orang tersebut adalah Kepala Dindagkop Blora, 4 orang Kader Golkar, 3 orang dari perum Perindo, dan 2 orang dari kasus di RSUP Sitanala. Belum sehari, bahkan belum genap 24 jam, sudah 10 kasus mewarnai media. Sedangkan untuk grafik korupsi pertahunnya yang seharusnya melandai, malah terus meranjak naik. Dikutip dari lokadata, nominal indeks presepsi korupsi tahun 2004 hanya menyentuh bilangan 20. Namun 5 tahun kemudian, angka berubah menjadi 40 yang berarti naik seratus persen.

Umumnya, kasus korupsi terkait keuangan negara/perekonomian negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, atau korupsi terkait gratifikasi. Inilah aspek korupsi yang tersorot oleh kamera. Belum lagi korupsi yang tersembunyi, penggelapan dana sesama sekutu, mengurangkan pencatatan pemasukan secara diam-diam, sengaja menyecer koin 500 dalam kresek hitam, dan lain sebagainya. Ini barulah korupsi yang mengatasnamakan uang. Namun jika kita telaah lebih mendalam lagi, korupsi memiliki makna umum sebagai suatu tindakan untuk memperkaya diri sendiri atau mengutamakan kepentingan pribadi.

Memperkaya diri bukan hanya dengan uang, namun juga dengan nilai agar banjir pujian, punya waktu luang yang banyak, mengcopy-paste karya, menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi, memberikan nilai secara subjektif kepada siswa bergelar ‘sultan’, bolos sekolah untuk nongkrong bersama kawan, penyogokan kepada polisi agar tak dihadapkan pada hakim di pengadilan, dan masih banyak hal lain yang terlihat sepele namun sebanarnya itulah bibit-bibit raksasa korupsi di negeri ini. Hal-hal tadi sering kita jumpai dan kita merasa bahwa itu adalah hal biasa. Sudah biasa, bahkan menjadi ritual baru bagi bangsa.

Akhirnya, tak ada lagi teman yang percaya akan waktu janjian yang telah ditentukan, karena ia pikir pasti akan ngaret alias terlambat. Jarang guru yang percaya akan karya yang katanya hasil keringat muridnya, karena guru biasa menerima hasil plagiat internet. Orang tak lagi percaya bahwa nilai tinggi bukti keenceran otak dan ketekunan murid, sebab sogokan sudah menjadi makanan sehari-hari. Semua tak lagi percaya, tak ada yang diharapkan, tak ada yang diyakini.

Inilah hasil korupsi negeri kita, meruntuhkan kepercayaan membangun pondasi bertingkat bagi kedustaan. Korupsi menghasilkan kecewa yang terus berkesinambungan. Menganggap semua adalah munafik dan hanya memercayai diri sendiri dalam bersosialisasi. Menyalahkan segala keputusan, mengungkit kesalahan, menimbulkan keraguan hinga berakhir kerusuhan. Lempar batu sembunyi tangan, berbuat sesuatu lalu berlagak angkat tangan. Inilah korupsi, buah bangsa yang memusnahkan percaya. Jadi, berapa sisa harga percaya? (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: alinea.id


latestnews

View Full Version