View Full Version
Senin, 12 Apr 2010

Prinsip Islam (36): Kesalahan dalam Memahami Takdir

Ada dua kelompok yang tersesat dalam masalah takdir:

Pertama, kelompok yang meniadakan takdir secara keseluruhan sehingga meniadakan ilmu Allah yang mendahului segala sesuatu dengan persangkaan bahwa hal itu saling bertentangan dengan iradah (kehendak) yang dimiliki manusia. Dia berkata tidak ada takdir, dan segala sesuatu terjadi dengan sendirinya (tidak didahului takdir dan ilmu Allah).

Perkataan golongan ini berbuntut tuduhan bodoh dan lemah terhadap Allah 'Azza wa Jalla. Bahwa ada kejadian di bawah kekuasaan Allah yang tidak diketahui dan tidak dikehendaki oleh-Nya. Mahatinggi Allah dari semua tuduhan itu.

Allah Ta'ala menjelaskan tentang ilmu-Nya yang meliput segala sesuatu.

رَبَّنَا إِنَّكَ تَعْلَمُ مَا نُخْفِي وَمَا نُعْلِنُ وَمَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit." (QS. Ibrahim: 38)

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

"Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu." (QS. Al Thalaq: 12)

عَالِمِ الْغَيْبِ لَا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَلَا أَصْغَرُ مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرُ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

"Dzat Yang mengetahui hal ghaib. Tidak ada tersembunyi daripada-Nya seberat zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)." (QS. Saba': 3)

Allah menjelaskan tentang masyi-ah (kehendak)-Nya yang mutlak:  فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ "Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya." (QS. Al Buruj: 16)

Setiap orang pasti pernah menghendaki sesuatu yang tidak kuasa dilakukannya dan melakukan sesuatu yang tidak pernah dikehendakinya. Berbeda dengan Allah, Dia semata yang Maha Kuasa melakukan sesuatu yang dikehendaki-Nya.

Allah Ta'ala berfirman,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

"Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al Takwir: 29)

Allah Ta'ala berfirman,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

"Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. Al Insan: 30)

Maknanya, kehendak kalian ikut kepada kehendak Allah 'Azza wa Jalla. Barangsiapa yang Allah ketahui layak berhak mendapat hidayah maka Allah mudahkan untuk mendapatkannya dan menyiapkan sebab-sebabnya. Sebaliknya, siapa yang Allah ketahui layak disesatkan maka Allah palingkan ia dari hidayah. Dan dalam hal itu, Allah memiliki hikmah yang luar biasa dan argumen yang tak terbantahkan.

Allah Ta'ala berfirman:

قُلْ إِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ أَنَابَ

"Katakanlah: 'Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada Nya'." (QS. Al Ra'du: 27)

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Yahya bin Ya'mar berkata: "orang pertama yang menafikan qadar di Bashrah adalah Ma'abad al Juhani. Maka aku bersama Humaid bin Abdul Rahmah al Himyari berangkat menunaikan Haji atau Umrah. Lalu kami berkata, kalau seandainya kita bertemu dengan seorang sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka kita tanyakan perihal perkataan mereka tentang qadar. Dan kami diberi taufiq bertemu dengan Abdullah bin Umar bin Khathab di dalam masjid, lalu kami mengapitnya, salah seorang kami berada di sebelah kanannya sedangkan yang lain berada di sebelah kirinya. Lalu aku merasa bahwa temanku menyerahkan kepadaku untuk berbicara. Maka aku berkata, "Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul di tengah-tengah kami orang- orang yang membaca Al-Qur'an dan mendalami ilmu, -dia menyebutkan kondisi mereka- dan mereka menyangka bahwa qadar itu tidak ada dan segala perkara itu baru (tidak didahului takdir dan ilmu Allah).

Beliau (Ibnu Umar) menjawab, "Jika kamu bertemu mereka, maka sampaikan bahwa aku berlepas diri dari mereka dan merekapun berlepas diri dariku. Demi Dzat yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan nama-Nya (Demi Allah), kalau seandainya salah seorang mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu ia infakkan, maka Allah tidak akan menerimanya sehingga dia beriman kepada takdir."

 

Kedua, kelompok yang meniadakan iradah (kehendak) manusia secara total. Mereka menyamakan sesuatu yang terjadi pada manusia secara terpaksa (tidak ada pilihan) dan yang mereka lakukan karena pilihannya. Mereka berkata, manusia ibarat bulu yang tergantung di udara, dia digerak-gerakkan oleh angin sesuka hatinya.

Perkataan golongan ini berbuntut menuduh Allah 'Azza wa Jalla berbuat dzalim, karena menghisab (membuat perhitungan) hamba-hamba-Nya terhadap sesuatu yang mereka sendiri tidak punya kuasa menolaknya dan bukan atas pilihan mereka. Maha suci Allah dari semua itu.

Allah Ta'ala berfirman,

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آَبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

"Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun". Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta." (QS. Al An'am: 148)

Mereka berkata, "Allah melihat kesyirikan yang kami lakukan dan Dia kuasa merubah-Nya dengan menjauhkan kami darinya lalu mengilhamkan iman kepada kami, tapi Dia tidak lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa Allah ridla kami melakukan itu."

Ini adalah argumentasi yang lemah. Bukankah Allah telah mengutus para rasul kepada mereka, menimpakan siksa-Nya atas mereka, lalu mengutus rasul demi rasul ke tangah-tengah mereka? Semua itu menunjukkan bahwa Allah tidak ridla dengan kekufuran dan kesyirikan mereka.

Allah Ta'ala berfirman:

وَقَالَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا عَبَدْنَا مِنْ دُونِهِ مِنْ شَيْءٍ نَحْنُ وَلَا آَبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ دُونِهِ مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ فَعَلَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

"Dan berkatalah orang-orang musyrik: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin) -Nya". Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka; maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanah Allah) dengan terang." (QS. Al Nahl: 35)

Isi dakwaan mereka, kalau Allah Ta'ala membenci apa yang kami perbuat, pasti Dia mengingkari perbuatan kami dengan menimpakan siksa dan tidak membiarkan kami. Lalu Allah Ta'ala menjelaskan bahwa Dia mengingkari perbuatan mereka dengan mengutus para rasul yang memerintahkan mereka untuk beribadah kepada Allah semata dan melarang dari beribadah kepada selain-Nya.

Pada zaman kita sekarang ini, muncul pemahaman yang mirip dengan syubhat di atas yang beredar di tengah-tengah ahli maksiat dan lalai. Mereka berhujah (mengambinghitamkan) takdir untuk membenarkan kelalaian dan kemaksiatan mereka. Pemahaman ini menyebabkan kejumudan, kelemahan, dan sifat-sifat negatif lainnya sehingga menimbulkan kemalasan untuk melakukan aktifitas dunia dan agama secara bersamaan. Akibatnya, dalam urusan dunia mereka tidak diperhitungkan, karena berada pada posisi terbelakang. Sedangkan dalam urusan agama, mereka tergolong sebagai orang fasik yang meninggalkan jihad yang wajib.

Mereka-mereka itu beralasan dengan takdir untuk melegitimasi kelalaian dan kefasikan mereka. Padahal, sebagaimana yang telah maklum, bahwa takdir tidak boleh dijadikan alasan untuk berbuat cela dan aib. Akan tetapi ia digunakan sebagai pelipur ketika tertimpa musibah.

(PurWD/voa-islam.com)

Bersambung . . . .  Insya Allah

Tulisan Terkait:

* Tulisan sebelumnya : Iman Kepada Takdir

* Memahami Ungkapan ''Sudah Suratan Takdir''

* Gay dan Lesbi Bukan Takdir Tapi Penyimpangan

* Tengok Masa Lalu, Buka Lembar Baru

* Kebahagiaan Hidup Menurut Islam


latestnews

View Full Version