View Full Version
Rabu, 11 Dec 2013

Harga Dakwah Sangat Mahal, dan Selalu Menuntut Pengorbanan

JAKARTA (voa-islam.com) - Bismillahirrahmanirrahim.  Harga dakwah itu sangat mahal menurut  firman Allah Yang Maha Benar dan Maha Agung serta menurut Rasulullah Shalllahu alaihi wassalam. Mengemban prinsip dan mengimplementasikan teori ke dalam praktik memerlukan banyak pengorbanan untuk bisa benar-benar menjadikan nyata.

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk jannah, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan  dengan bermacam-macam cobaan, sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang beriman bersamanay, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah’. Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (QS : al-Baqarah : 214)

Harga Dakwah

Dakwah tidak akan mencapai kemenangan jika tidak diiringi pengorbanan. Baik itu dakwah ‘ardiyah’ (dari manusia) atau dakwah  Samawiyah (dari Allah). Darah, tubuh, tulang-belulang, nyawa, syuhada itu semua adalah api yang menyalakan peperangan, ideologi maupun perang pemikiran. Ayat diatas memperingatkan kita pada persoalan penting di kancah peperangan ini yakni tidak ada Jannah bagi orang  yang tidak mau berkorban dan berkontribusi.

Apakah kalian menyangka bahwa kalian akan masuk Jannah padahal kalian belum merasakan seperti yang pernah dirasakan orang-orang sebelum kalian? Kemudian Allah Rabbul Izzati mengisyaratkan persoalan   penting bahwa kamu sekalian tidaklah semulia hamba yang paling dicintai-Nya, kalian tidak lebih baik dari hamba-hamba pilihan-Nya.

“Allah memilih utusan-utusan-Nya dari malaikat dan dari manusia”. (QS : al-Hajj : 75)

Tak ada satupun manusia dibumi ini yang lebih utama daripada Muhammad Shallahu alaihi wassalam. Kendati demikian, sebagaimana firman-Nya, “Mereka ditimpa al-ba’sa’ artinya al-harbu (peperangan). Adh-dhaara’u artinya asy-syiddaa’u wsal faqru (kesempitan dan kemiskinan), dan  liain-lain yang serupa wa zulzilu (dan diguncangkan). Coba perhatikan diri manusia, ketika mereka dalam keadaan terguncang.

Gentar seluruh tubuhnya seakan-akan ia dilanda gempa bumi, sehingga tidak mau menguasai da iri untuk tidak jatuh. Mereka diguncangkan dan guncangan itu membuat makhluk yang paling sabar di muka bumi, yakni Rasulullah Shallahu alaihi wassalam, berdoa dengan penuh ketundukkan kepada Allah Rabbul Alamin, “Mata nashrullahi?” (Bilakah pertolongan Allah datang?).

Orang yang paling sabar, tawadhu’,  Aminullah (kepercayaan Allah) di muka bumi, yang selalu bertemu Aminus Sama’ (Jibril),  pagi dan petang, yang senantiasa dimantapkan masih oleh al-Qur’an sepanjang siang dan malam, masih dapat terguncang sampai berdoa kepada Allah dengan sepenuh hati dalam permohonannya dan mengasingkan dirinya untuk bermunajat kepada-Nya. Beliau berkata, “Bilakah pertolongan Allah itu tiba?”.

“Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah menyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami”. (QS : Yusuf : 110)

Masalah tersebut menjadikan para rasul hampir putus harapannya. Mereka tidak mempunyai harapan, namun belum sampai pada putus asa, karena :

“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (QS : Yusuf : 87)

Mereka meyakini bahwa mereka telah didustakan. Bumi telah tertutup rapat dihadapan mereka dan dunia terasa sunyi di wajah mereka, bumi tidak menjanjikan sesiapa yang mau mengikuti dakwah mereka, maka mereka tidak lagi memiliki harapan.

“Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah menyakini bahwa  mereka telah didustakan, datanglah kepada para   rasul itu pertolongan Kami, lalu yang diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami daripada orang-orang yang berdosa. Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat”.  (QS : Yusuf : 110-111).

Pengorbanan Rasulullah

Al-Qur’an itu bukan hiburan dan bukan untuk kesenangan di waktu-waktu senggang, akan tetapi, al-Qur’an adalah manhaj (petunjuk jalan) bagi para nabi yang menempuh jalan dien ini sampai hari kiamat, mengikuti jejak langkah para penghulu rasul, Muhammad Shallahu alaihi wassalam, dan pemimpin semua umat manusia.

“Bukan bermaksud sombong, tapi adalah pemimpin anak cucu Adam”.

Meskipun demikian, keadaan    beliau saat itu seperti yang beliau ceritakan dalam hadits shahih :

“Sungguh aku pernah disakiti karena menyampaikan risalah Allah dan tidak pernah seorangpun pernah disakiti seperti itu. Aku pernah diteror karena menyampaikan risalah Allah dan tak seorang pun diteror seperti itu. Dan pernah pula berlalu pada diriku tiga puluh hari tiga puluh malam, sementara aku dan Bilal tak mempunyai sesuatu yang dapat dimakan, kecuali sedikit makanan yang hanya dapat menutupi ketiak Bilal”.

Ketika datang pembesar Qurays kepada Abu Thalib, memintanya agar mencegah keponakannya menyakiti perasaan mereka, maka Abu Thalib mengirim anaknya, Uqail untuk menemui Rasulullah shallahu alaihi wassalam dan mengingatkan bahwa kaum Qurays mendesaknya agar menghentikan penghinaan terhadap mereka. Beliau menjawab :

“Demi Allah,  aku lebih baik tidak mampu meninggalkan sesuatu yang aku untuknya daripada seseorang diantara mereka mencoba membakar matahari dengan nyala api”.

Dan dalam riwayat yang lain disebutkan – walaupun di dalamnya ada unsur dhaif :

“Demi Allah, wahai Paman. Sekiranya mereka dapat  meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku supaya aku meninggalkan perkara ini, maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya”.

Menyampaikan dakwah bukanlah hal mudah atau perjalanan yang penuh kesenangan.

“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu, keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu”. (QS : at-Taubah : 42)

Sesungguhnya jalan dakwah adalah jalan yang panjang dan sukar, penuh onak duri, penuh pengorbanan. Bahkan, mungkin sampai matipun engkau belum mencapai satupun dari hasil pekerjaannmu.

Abdurrahman bin Auf Menangis

Pernah dihidangkan makanan yang lezat di depan Abdurrahman bin Auf, lalu dia menangis dan kemudian berdiri. Dia berkata, “Sungguh, sahabat-sahabat kami telah meninggal dunia, namun mereka belum pernah melihat melihat seperti ini. Dan sungguh, dahulu Mush’ab bin Umair lebih daripada kami, tetapi dia belum pernah melihat makanan yang seperti ini”.

Anas bin Malik berkata, “Rasulullah shallahu alaihi wassalam telah diwafatkan oleh Allah, sedangkan beliau belum pernah menikmati daging kambing bakar”. 

“Tak pernah sekalipun keluarga Muhammad makan roti dari Sya’ir (jenis gandum) sampai kenyang selama dua hari berturut-turut”.

“Aisyah berkata,   “Demi Allah, kami belum pernah makan kurma sampai kenyang, kecuali sesudah penaklukan  Khaibar”.

Apakah kalian mengira bahwa prinsip dan keimanan itu hanya merupakan mainan atau senda gurau atau kesenangan yang disampaikan seorang manusia lewat khutbah yang dihiasai dan dirangkai denn kata-kata yang indah, atau ditulis dalam sebuah buku lalu dicetak dan kemudian disimpan di perpustakaan?

Itu sama sekali bukan jalan para Ashabud Dakwah (penyampai dakwah)!

Sesungguhnya dakwah itu selalu akan memperhitungkan bahwa generasi pertama yang menyampaikan dakwah, mereka itu adalah tumbal bagi tegaknya risalah yang didakwahkan.

Jalan dakwah itu dikelilingi dengan 'makarih' (hal-hal yang tidak disukai), penuh dengan bahaya, dipenjara, dibunuh, diusir, dan dibuang. Barangsiapa ingin memegang prinsip atau menyampaikan dakwah, maka hendaklah itu semua sudah ada dalam perhitungannya.

Barangsiapa menginginkan dakwah itu hanyalah tamasya yang menyenangkan, kata-kata yang baik, pesta yang besar, dan khutbah yang  terang dalam kalimat-kalimatnya, maka hendaklah dia menelaah kembali dokumen kehidupan para rasul dan para da’i yang menjadi pengikut mereka, sejak dien ini datang pertama kalinya sampai hari  ini. Wallahu’alam.  *Abdullah Azzam.


latestnews

View Full Version