View Full Version
Rabu, 04 Feb 2015

Jangan Salah Kaprah Memahami 'Harokah'

Oleh: Ust. Abu Husein At-Thuwailibi

            

 ألحمد لله رب العلمين و الصلا ة و السلا م على ر سو ل الله محمد و على أله و أصحا به أجمعين أ ما بعد,

 

Kalau berbicara dengan kelompok pengajian tertentu, pengikut majelis taklim tertentu, pembaca majalah tertentu, pendengar radio tertentu, atau fanatikus ustadz dan syaikh tertentu; entah kenapa mereka sangat sering menyebut kata “hizbiyyah”. Bukan hanya menyebut kata “Hizbiyah”, tetapi sering juga menuduh orang lain yang tidak sejalan dengannya dalam sistem dakwah sebagai hizbiyyah, lalu menerapkan sanksi sosial atasnya, berupa celaan, peringatan, boikot, dan seterusnya, atas nama "Tahdzir", atas nama "Jarh wa Ta'dil", dll.

Jika pihak-pihak yang menjadi sasaran celaan, peringatan, dan tahdzir itu adalah kalangan Muslim yang ikhlas melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar, meniti jejak langkah Salafus Shalih dalam dakwah dan jihad, persoalannya menjadi sangat serius. Para penuduhnya akan terjatuh dalam kesalahan fatal, dan disadari atau tidak ia telah memusuh para Du'at yang menyeru ummat kepada Tauhid dan Sunnah, menjauhkan manusia dari jalan Allah, serta ikut memadamkan cahaya Allah di muka bumi.

Hal-hal demikian ini bukan masalah kecil, tapi sangat serius. Sebab mencerminkan amal perbuatan musuh-musuh Allah dari kalangan orang-orang kafir dan Munaafiq. Ketika dihadapkan dengan realita penguasa-penguasa dzalim dan sekuler mereka seolah bersikap seperti Murji'ah, sedangkan ketika berhadapan dengan para Da'i Sunnah mereka seolah bersikap seperti Khawarij.

Keberadaan mereka ditengah ummat seolah menjadi pengacau dan penghancur terhadap setiap gerakan dakwah yang berusaha membangkitkan kembali ummat ini dari keterpurukan secara Ilmiyah dan Siyasiyah.

Ketika muncul kalangan yang mengkritisi penguasa dzalim dan sekuler secara terbuka, mereka pun bergegas untuk melabeli kalangan itu dengan "Hizbiyyah", atau yang paling beratnya adalah "Khawarij", wal-'iyaadzu Billah. Mereka beralasan bahwa haram mengkritik penguasa secara terbuka karena bukan bagian dari manhaj Salaf.

Berdalil dengan Hadits Dha'if mereka pertahankan sikap ini dengan anggapan bahwa meluruskan kesalahan dan kepenyimpangan penguasa sekuler dapat menimbulkan mudhorot dan fitnah, sekaligus memvonis kalangan tersebut dengan sekte Qa'adiyah (Khawarij gaya baru).

Sejatinya, sikap terhadap penguasa dan da'i haruslah tetap berpatokan pada timbangan islami yang benar. Kalau menjelek-jelekkan penguasa dzalim dan sekuler di depan umum sangatlah berbahaya (menurut mereka), maka menjelek-jelekkan para da'i pengibar Sunnah dan melebeli mereka "Hizbiyyah" pun sangat tercela sekali. Seperti halnya memburuk-burukkan penguasa dapat menimbulkan fitnah, maka memburuk-burukkan para Da'i dan serampangan memvonis mereka dengan tuduhan “Hizbiyyah" pun juga dapat menimbulkan fitnah.

Kalau kita diharuskan untuk tidak memburuk-burukkan penguasa dzalim dan sekuler di depan umum (walaupun kita sendiri tidak pernah menjelekk-jelekkan penguasa kecuali hanya kritik) karena takut fitnah, maka dengan alasan yang sama pula kita harusnya tidak menjelek-jelekkan para Da'i pengibar Sunnah.

Demikian pula, sikap hizbiyyah (fanatik buta kekelompokan) yang sebenarnya merupakan penyimpangan dalam agama, hal itu kerap diklaim sebagai “Manhaj Ahlus Sunnah”. Tentu saja, klaim demikian merupakan kesalahan besar. Bahkan ia termasuk sikap membohongi ummat dan penipuan massal secara membabi buta.

Sebenarnya kondisi saya sedang sakit, lemas, dan bisa dibilang kurang bersinergi untuk menulis artikel dalam beberapa hari ini (karena sakit). Akan tetapi, saya tergelitik saat membuka akun facebook dan melihat status salah seorang Ikhwan yang lumayan Likernya, saya tersenyum membacanya dan terhasung untuk memberi pencerahan.

Ada orang merangkai status begini:

“Berlepas diri dari Hizbiyyun dan orang-orang Harokah itu lebih baik dan lebih menjaga ketenangan hati kita dari yang nama nya Syubhat. Jika kita tidak berlepas diri dari mereka lalu kita duduk di Majelis-majelis nya wah bahaya apalagi menyangkut Aqidah dan Manhaj. Bisa numpuk deh tuh Syubhat-syubhat nya...”

[Selesai Kutipan]

Tanggapan Saya: Perkataan ini ringan tapi berat ditimbangan, kalau ia tidak merinci apa yang dia maksud dengan statement di atas mau tidak mau akan menjadikan pernyataan itu sebagai pernyataan yang tak tersyarahkan, dan dapat berkonotasi negatif atau positif tergantung tingkat pemahaman orang yang membacanya.

Karena menurut kami aneh bin ajaib, bagaimana bisa dakwah berlepas dari yang namanya "Harokah”?

Harokah itu artinya pergerakan, suatu gerakan dakwah yang terorganisir, ada pengurus, ada struktural. Kalau dakwah tanpa Harokah terus gimana?

Muhammadiyah itu harokah (pergerakan organisasi), ia berharokah (bergerak) dibidang sosial dan pendidikan. Persatuan Islam (Persis) juga Harokah, bahkan Salafiyyun sendiri punya Harokah, namanya Perhimpunan Al-Irsyad, sebuah Harokah Salafiyah yang di dalamnya mayoritas kaum Hadrami (keturunan arab yaman), Lah kalau tidak pakai Harokah terus gimana?

Para Sahabat itu berharokah. Abu Bakar Ash-Siddiq Radhiyallahu'anhu itu bukan orang yang banyak meriwayatkan Hadits, beliau seorang Haroki; ngurusi ummat dengan Jihad dan Politik syar'i, ini namanya apa dong kalau bukan Harokah?

Demikian pula 'Umar Bin Khathab,bukan seorang yang banyak meriwayatkan Hadits sebagaimana Abu Hurairah; beliau seorang Haroki, orang yang bergerak. Bergerak untuk ummat. Ada aksi dan ada reaksi. Bukan dakwah-dakwah saja, tapi beliau turun ke lapangan untuk Jihad dan berpolitik syar'i; demi meninggikan kalimat Allah. Ini apa dong namanya kalau bukan Harokah?

Harokah yang dilarang adalah mendirikan Harokah atau sebuah pergerakan dengan membangun wala' wal bara' di atas Harokahnya. Contoh sederhananya begini: Harokah A menganggap Harokah B salah dan sesat, atau Harokah C tidak mau bermuamalah dengan Harokah D. Atau Harokah E menganggap Harokah F itu sesat dan salah. Nah ini yang di sebut Hizbiyah . Membangun wala' wal baro' bukan di atas Al-Qur'an dan Sunnah tetapi di atas loyalitas organisasi dan Harokah.

Harokah itu adalah gerakan dan susunan struktural da'wiyah. Yayasan itu termasuk Harokah, kalau antum haramkan harokah maka haram juga Yayasan Al-Kahfi di Batam, atau Yayasan Ihya'u Turots Al-Kuwaiti yang banyak membantu dakwah Salafiyah di seluruh penjuru dunia. Radio Rodja Bogor dan Radio Hang Batam itu pakai “Harokah”; dalam arti ada pembina, pengurus, ketua, bendahara, sekertaris, dll. Susunan struktural yang demikian terorganisir itu namanya Harokah. Berarti, Radio Rodja dan Radio Hang itu “Hizbiyah” juga?

Adapun mengenai Bai'at dalam Harokah, itu hal yang lumrah, namanya Bai'at parsial. Baiat keorganisasian, untuk mendengar dan taat pada pimpinan organisasi, kalau menyalahi aturan organisasi maka itu merupakan pelanggaran dalam Harokah, meski bukan sebuah dosa di mata agama.

Contoh: dalam Islam tidak memakai peci (kopiah) ya tidak haram, tapi ketika antum sudah masuk sekolah tertentu lalu kepala sekolah mewajibkan pakai peci, bila antum tidak pakai peci antum di hukum, nah ini namanya pelanggaran dalam aturan sekolah, namun bukan berarti antum berdosa secara agama, demikian lah esensi "Harokah".

Sedangkan Bai'at bid'ah dan sesat adalah bai'at yang tidak syar'i dan mengada-ngada. Mengikat anggota nya dengan atas nama agama, contoh misal Bai'at ala LDII (Islam Jama'ah), Bai'at ala Jama'atul Muslimin (JAMUS), bai'at ala Khilafatul Muslimin, Bai'at ala NII Al-Zaitun dll. Nah, ini semua ba'iat yang sesat dan menyesatkan. Karena mereka mengkafirkan kaum Muslimin yang tidak membai'at Imam atau Amir mereka secara mutlak.

Lah kalau cuman Ba'iat parsial ya tidak ada masalah. Hendaknya jangan bicara Harokah kalau tak tau apa itu arti Harokah. Bicara yang baik atau diam.

 

Memahami Esensi Harokah

Coba anda fahami, selama ini muncul gerakan-gerakan Islam yang memiliki misi untuk menegakkan ajaran Islam secara kaaffah. Dengan segala kekurangan mereka- mereka bercita-cita mendirikan Daulah Islamiyyah 'Ala Manhajin Nubuwwah, sebagian lain bercita-cita menegakkan Syariat Islam, bahkan ada juga yang berjuang membangun kepemimpinan Islam global (Khilafah Islamiyyah). Secara haqqul yakin, semua misi itu adalah baik seluruhnya. Bahkan seperti itulah harapan yang dikehendaki oleh Syariat Islam.

Untuk mewujudkan harapannya, gerakan Islam melakukan pengaturan-pengaturan tertentu. Di sana ada pemimpin, ada sistem pembinaan, ada aturan yang diterapkan, ada disiplin yang dipegang-teguh, ada kerja-kerja kolektif, dan lainnya. Bahkan seringkali, gerakan Islam tersebut memiliki nama tertentu yang dikenalkan kepada kalangan internal maupun eksternal.

Kadang-kadang muncul sikap salah faham dari kelompok tertentu. Mereka menuduh gerakan Islam tersebut bersikap hizbiyyah (fanatik buta).

“Buktinya, mereka punya nama tertentu, punya logo, punya sistem kaderisasi, punya materi tarbiyah tertentu. Mereka membuat aturan-aturan internal, punya kartu keanggotaan, punya struktur DPP, DPW, cabang-cabang, dsb. Tidak diragukan lagi, semua ini adalah hizbiyyah yang dilarang oleh agama,” begitu alasan para penuduh itu.

Al-Ustadz Abi Syakir menjelaskan, tuduhan-tuduhan ini kerap kali kasar, menjurus fitnah, dan menyesatkan pemahaman. Akibatnya, banyak kaum Muslimin kebingungan. Satu sisi, mereka melihat gerakan-gerakan Islam memiliki tujuan mulia, tetapi di sisi lain gerakan Islam dituduh hizbiyyah, seperti perilaku orang-orang musyrikin.

Atas dasar minimnya ilmu, dan sikap “tidak mau ambil resiko” banyak orang termakan oleh tuduhan-tuduhan itu. Maka dengan sendirinya, para penuduh telah menyebarkan fitnah, kesesatan, dan keresahan di kalangan Ummat Islam.

Untuk menilai hizbiyyah atau tidaknya suatu gerakan Islam, tentu harus dilihat asal munculnya gerakan itu. Mengapa gerakan itu muncul dan apa tujuan eksistensi mereka? Jika tujuannya adalah duniawi, menuruti hawa nafsu, menyebarkan kesesatan, berbuat makar terhadap Ummat, serta menolong orang-orang kafir dalam memerangi kaum Muslimin, maka hakikat gerakan seperti ini ya jelas haram.

Contoh: gerakan Syi'ah, Shufi anti Syariat, Ahmadiyyah, LDII, NII KW 9, Lia Eden, Liberalisme, Pluralisme, Orientalisme, Sekte Mulukiyah (Harokah Neo-Murji'ah), dll. Gerakan-gerakan seperti ini tidak menambah kesembuhan bagi Ummat, justru menjadi kanker ganas yang merusak di tengah-tengah kehidupan kaum Muslimin.

Namun jika tujuannya mulia, luhur, dan Islami, misalnya memperkuat kehidupan Ummat, menegakkan Syariat Islam, membangun Daulah Islamiyyah, membangun Khilafah Islamiyyah 'Ala Manhajin Nubuwwah; maka kondisi yang ada dalam gerakan itu, kelebihan atau kekurangannya, kembali kepada tujuan awal gerakan tersebut.

Dalam kaidah fiqih disebutkan, “Al amru ma’a maqashidihi” (suatu urusan itu tergantung tujuannya). Hal ini sesuai dengan sabda Nabi, “Bahwa setiap amal itu tergantung niatnya, maka bagi setiap orang mendapatkan pahala sesuai apa yang dia amalkan.” (HR. Imam Bukhari-Muslim).

Pengaturan-pengaturan internal yang ditempuh oleh gerakan Islam, bukanlah ditujukan untuk iftiraq (berpecah-belah), tetapi untuk membangun kekuatan gerakan itu sendiri. Semakin kuat konstruksi gerakan, semakin dekat kepada tujuan yang diharapkan. Bagaimana mungkin kita akan menegakkan Islam dengan cara-cara serampangan, dengan kerja seenaknya, tanpa perencanaan, koordinasi, pengaturan dan sebagainya?. Padahal sebagian orang sekedar untuk membuka warung Warteg saja mereka membutuhkan pengaturan. Bahkan para pengemis sengaja melakukan pengaturan untuk mendapatkan hasil uang maksimal.

Adalah suatu kebodohan yang mengerikan ketika untuk menegakkan nilai-nilai Islam agar hidup di tengah-tengah masyarakat, kita tidak membutuhkan pengaturan. Jelas semua itu hanyalah omong kosong belaka. Apalagi Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Aalihi Wa Shahbihi Wa Sallam bersabda, “Kataballahul-ihsana ‘ala kulli syai’in” (Allah telah mewajibkan al ihsan dalam segala urusan).

Ketika gerakan-gerakan Islam dicela sebagai hizbiyyah, maka pada saat yang sama orang-orang kafir menyempurnakan gerakan mereka. Mereka bukan saja melakukan pengaturan, tetapi juga memilih pemimpin yang tangguh, menerapkan aturan ketat, mendidik kader sehebat-hebatnya, melakukan studi, penelitian, bahkan meneliti aspek Sosisologi, Antropologi, serta Psikologi masyarakat. Tentu saja, mereka mengerahkan dana, teknologi, fasilitas, serta metode-metode canggih.

Gerakan Islam kerap menerapkan prinsip bai’at, yaitu komitmen kesetiaan anggota untuk tetap berada di atas misi dakwah dan mencegah segala bentuk intervensi dari unsur-unsur eksternal yang memusuhi. Bai’at seperti ini diilhami oleh perbuatan Nabi Muhammad SAW ketika meminta para Shahabat Radhiyallahu'anhum berbai’at di bawah pohon.

Bai’at itu kemudian dikenal sebagai Bai’atur Ridhwan. Begitu pula dengan Bai’atul Aqabah, di mana utusan-utusan dari Madinah siap hidup-mati membela dakwah dan risalah Nabi Muhammad SAW . Jadi intinya, meminta kepastian komitmen seorang Muslim untuk teguh dan amanah dalam mengemban misi perjuangan Islam. Hal demikian ini Syar’i, sebab dilakukan dengan bercermin pada perbuatan Nabi sendiri.

Namun oleh kalangan pengajian tertentu, ia sering dituduh sebagai “membuat bai’at baru” di luar bai’at kepada pemimpin politik yang berkuasa. Padahal konteks bai’at-nya berbeda, satu untuk komitmen perjuangan dan satu lagi untuk mendukung kepemimpinan politik. Lagi pula, dalam sistem sekuler, tidak dikenal istilah bai’at. Pemimpin sekuler yang diangkat, dia sama sekali tidak peduli apakah warganya akan mati dalam keadaan Islam atau mati jahiliyyah. Pemimpin sekuler tidak memiliki komitmen dalam perkara seperti itu.

Dan lebih aneh lagi, ketika kaum Muslimin berselisih tentang kedudukan bai’at gerakan Islam, di bawah sistem sekuler, maka orang-orang Freemasonry telah menerapkan 33 tingkatan bai’at dalam gerakan mereka. Untuk tingkatan ke-2 atau ke-3 saja, seorang kader Mason harus siap menyerahkan nyawa demi membela misi Freemasonry.

Dalam bai’at lebih lanjut, mereka harus rela menyerahkan harta-benda, keluarga, bahkan agama, untuk digadaikan dengan misi Freemasonry. Orang kafir sangat komitmen membangun kekuatan, sementara kalangan Islam terus sibuk dengan perselisihan-perselisihan yang rancu dan saling menghujat.

Dalam gerakan apapun, jika tidak ada jaminan komitmen dari pendukungnya, jelas akan mudah dirusak oleh orang-orang yang membenci. Makanya dalam militer dikenal istilah “Sumpah Prajurit”, dan setiap pejabat yang hendak diangkat sebagai pejabat, dia harus melakukan “Sumpah Jabatan”. Terserah apapun namanya, apakah al-bai’at, al-‘aqdu, al-qasam (sumpah setia), al-wa’id (janji), al-mitsaqan ghalizhah (perjanjian yang teguh), dll. Intinya, komitmen dengan misi perjuangan Islam dan tidak mengkhianati amanah orang-orang beriman.

Di bawah kepemimpinan dan sistem Islami, memang tidak diperkenankan ada bai’at-bai’at lain, selain bai’at resmi kepada pemimpin Islam. Tetapi di bawah sistem sekuler yang tidak mendukung Islam, bahkan bersikap memusuhi, hukum bai’at itu otomatis gugur. Tidak mungkin kaum Muslimin diperintahkan membai’at pemimpin yang tidak mau menegakkan hukum Allah dan Rasul-Nya. Bai’at kepada pemimpin sekuler sama saja dengan mendukung sekularisme itu sendiri.

Memang tidak dipungkiri bahwa di kalangan gerakan Islam sendiri kadang ada masalah-masalah dan kekeliruan-kekeliruan. Misalnya sikap anggotanya yang fanatik, mau menang sendiri, enggan bekerjasama, dan lain-lain. Hal itu tentu saja merupakan kesalahan-kesalahan yang harus diperbaik dan diluruskan.

Tetapi kesalahan tersebut tidak boleh menghanguskan semua kebaikan yang ada disana, termasuk tujuan mulia di balik berdirinya gerakan-gerakan itu. Kesalahan-kesalahan individu atau parsial, hendaknya dihadapi secara proporsional, adil dan wasath, bukan divonis secara membabi-buta, demikianlah manhaj As-Salafiyyah.

Sedangkan Anda yang merasa paling Ahlus Sunnah sementara orang-orang yang tidak sepengajian dengan anda kemudian anda anggap ahli bid'ah, itulah yang dinamakan Hizbiyah. Sehingga judulnya adalah: Hizbiyah teriak Hizbiyah.

Semestinya labelisasi itu merupakan perkara yang ditangani Ulama-Ulama khusus saja, yang mampu melihat suatu kondisi dengan semua instrumen pendekatan yang konphrehensif dan paling faham akan Ilmu agama. Bukan orang-orang seperti anda dan saya.

Sering kita mendengar perkataan sebagian orang dalam suatu masalah.

"Ini bukan salafy, salafy tidak berpendapat seperti ini, Abu Fulan bukan Salafi, dia Haroki, Dia Hizbi..."dst.

Sadarkah anda bahwa anda telah terjerumus pada lumpur Hizbiyah? Ya, Hizbiyah tanpa sadar.

Sebenarnya sih tidak ada persoalan dengan istilah “Salafi”. Karena, secara harfiah istilah “Salafi” itu bermakna mengikuti kaum salaf, yakni Rasulullah SAW dan para Sahabat Radhiyallahu'anhum. Setiap Muslim tentu bertekad untuk meneladani Rasulullah dan para sahabat serta tabi’in. Generasi Rasulullah, sahabat dan tabi’in adalah generasi terbaik umat ini. Generasi iniah yang disebut As-Salafush Shalih.

Di masa tabi’in dan sesudahnya, guna menghadapi pemikiran dan keyakinan bid’ah yang menyesatkan seperti Khawarij, Syiah, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah dan lainnya, muncul istilah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Istilah ini menegaskan keharusan umat Islam untuk berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan agar umat Islam bersatu di dalamnya.

Dalam konteks kekinian, kehadiran gerakan Salafi kontemporer mempunyai sejumlah nilai positif dalam bentuk upaya menghidupkan sunnah, memerangi syirik dan bid’ah, menekankan rujukan kepada para ulama yang keilmuannya diakui oleh kaum Muslimin dan lainnya.

Secara sederhana, Salafi berarti orang-orang di zaman sekarang yang mengikuti generasi Salaf. Jadi, Salaf yang dimaksud adalah tiga generasi Islam permulaan (generasi Rasulullah dan para sahabat, lalu generasi Tabi’in dan gerenasi Tabi’ut Tabi’in) itulah yang kerap disebut As-Salafus Shalih, yaitu para pendahulu umat Islam yang shalih. Istilah Salafi merujuk pada pengertian bahwa seseorang yang mengikuti ajaran Salafus Shalih. Adapun bentuk jamak (plural) dari Salafi ialah Salafiyyun atau Salafiyyin.

Lalu, apakah sekedar pengakuan dan klaim-klaim belaka?

Hasya Wa Kalla. Sama sekali tidak .

Salafi Hakiki adalah sebagaimana yang digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur'an, “…bersikap tegas kepada orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka (sesama mukmin)…” (QS. Al-Fath ayat 29).

Bukan justru malah dibalik; bersikap keras terhadap sesama Muslim namun berlemah lembut terhadap kaum Kafir. Sehingga bila mengurai beberapa ayat Al-Qur’an tentang sifat-sifat para Sahabat Radhiyallahu'anhum, maka dalam diri para Salafus Shalih memiliki sifat-sifat mulia berikut ini:

1. Beraqidah lurus, beribadah kepada Allah, dengan tidak menjadikan bagi-Nya sekutu dalam bentuk apapun, baik Rububiyahnya, Uluhiyahnya, serta Asma' dan Shifatnya.

2. Mengimami Rasulullah, membenarkan ajarannya, memuliakan Syari’atnya, membela kemuliannya, serta berjalan di atas cahaya petunjuknya.

3. Sebagai konsekuensi tauhid ialah munculnya Al-Wala’ Wal Bara’, yaitu menetapkan Wala’ (Kesetiaan) kepada orang-orang yang beriman, dan menetapkan Bara’ (benci dan antipati) kepada orang-orang kafir.

4. Mengerjakan shalat (berjamaah bagi laki-laki dewasa) kalau tiada uzur syar'i, menunaikan zakat, menginfakkan sebagian rezeki disaat lapang maupun sempit.

5. Sikap itsar, yakni mendahulukan saudara mukmin, meskipun diri sendiri kukurangan dan membutuhkan.

6. Hidupnya bermanfaat bagi orang lain, ibarat pohon korma yang selalu mengeluarkan buah di setiap musim.

7. Senantiasa menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah dari perbuatan buruk (menunaikan amar makruf nahi munkar) sesuai batas kemampuan, baik lisan maupun tulisan.

8. Berakhlaq mulia, menjauhi kesia-siaan, memelihara kehormatan diri, menunai amanah dan jani-janji. Menahan amarah, memaafkan manusia, serta tidak melayani perkataan orang-orang jahil.

9. Senantiasa berdzikir mengingat Allah di pagi dan petang, tidak lalai dari dzikir karena kesibukan perdagangan, jual beli, pekerjaan dll.

10. Menunaikan hak-hak persaudaraan (ukhuwah), tidak menghina, tidak mencela, tidak memanggil dengan gelaran buruk, menghindari prasangka buruk, tajassus (mencari-cari kesalahan), dan ghibah (bergunjing).

11. Hatinya lembut untuk senantiasa bertaubat, memohon ampun atas dosa-dosa, dan lekas berhenti dari perbuatan keji.

12. Berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa, serta tidak melemah atau lesu menghadapi segala resiko jihad di jalan Allah.

Alangkah cocoknya ciri-ciri Salafus Shalih di atas dengan yang disampaikan Al-Ustadz Abdullah Shalih Hadrami dalam statusnya yang di Like oleh kurang lebih 700 Liker. Beliau berkata,

“Salafy itu Indah. Salafy itu siapa saja yang berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Salafy itu mengikuti pemahaman para sahabat Nabi dan para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

Salafy itu bukan kelompok tertentu yang eksklusif. Salafy itu suka persatuan dan membenci perpecahan.

Salafy itu bisa bekerjasama dan bersinergi dengan kelompok lain sesama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah untuk kepentingan umat.

Salafy itu baik kepada orang lain, suka membantu, tidak mengganggu, wajahnya berseri-seri, tidak bermasam muka dan sinis. Salafy itu bisa dipercaya dan amanat dalam bermuamalah, Salafy itu mencari nafkah halal dan menghindari yang haram.

Salafy itu berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali silaturrahim, memuliakan tetangga dan suka memaafkan, Salafy itu baik kepada anak-anak yatim, fakir miskin dan orang-orang lemah.

Salafy itu berakhlaq kepada guru dan tidak pernah melupakan jasanya. Salafy itu memuliakan dan menghormati para ulama.

Salafy itu jauh dari sifat ujub, sombong dan tidak berbuat dzalim, Salafy itu semakin rajin ngaji semakin mulia akhlaknya, baik perangainya, bersih hatinya dan suci jiwanya. Salafy itu selalu melakukan muhasabah atau introspeksi dan mawas diri.

Salafy itu selalu mengedepankan akhlakul karimah dan menjauhi akhlak yang rendah dan hina, Salafy itu hubungannya dengan Allah baik dan dengan manusia juga baik.

Salafy itu meniru Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Salam dalam semua aspek kehidupannya; aqidah, ibadah, akhlak, muamalah dan lainnya..

Sudah pantaskah kita mengaku sebagai Salafy?

Betapa banyak yang mengaku Salafy tapi justru mencoreng wajah Salafy?

Sungguh indah dan sangat cocok untuk kita semua nasehat Al-Imam Ibnul Jauzi Rahimahullah dalam kitabnya "Shaidul Khathir" dan patut menjadi renungan kita semua:

"Aku perhatikan saling hasad (iri dengki) di kalangan ulama, maka aku lihat sumbernya adalah karena cinta dunia. Sesungguhnya ulama akhirat itu saling mencintai dan tidak saling hasad (iri dengki)".

Semoga Allah golongkan kita semua dalam kelompok ulama akhirat, aamiin.”

[Selesai Kutipan]

Bisa dibaca disini:https://m.facebook.com/abdullah.s.hadrami/posts/10205997498960698

Nah, sekarang, silahkan introspeksi diri, apakah kita seorang Hizbi sejati atau kita Salafi Imitasi? Allahu A'lam. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version