View Full Version
Sabtu, 22 Jan 2011

Handoko & Hardonis: Demi Islam, Dipenjara Itu Uzlah, Dibuang Itu Tamasya

Dengan tinta sejarahnya, Kota Patriot Bekasi menorehkan dua nama Handoko dan Hardonis sebagai sosok belia yang pantas menjadi teladan perjuangan bagi remaja muslim lainnya. Dengan gagah berani, remaja yang masih di bawah umur tersebut tampil terdepan sebagai pembela kaum Muslimin.

Handoko  saat ini masih berusia 17 tahun dan duduk di bangku kelas III STM  I Cibitung Bekasi. Sementara Hardonis berusia 18 tahun dan baru saja lulus sekolah di SMK 4 Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Bersama kedua orang tuanya, Hardonis pindah ke Tambun Bekasi sejak dua tahun lalu. Begitu lulus, ia mencoba melamar pekerjaan di sebuah perusahaan dan diterima bekerja di PT Unilever. Tapi, apa boleh buat, belum lama menjadi karyawan pabrik, Hardonis  harus meringkuk di tahanan.

Pasca insiden Ciketing, Handoko (17) dan Hardonis (18) dijemput polisi, dan sempat bermalam di tahanan Polda selama 19 hari. Oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), keduanya dituduh terlibat dalam penyerangan bersama 12 pemuda Muslim terhadap jemaat HKBP di Ciketing. Belakangan, terungkap dalam persidangan terungkap bahwa yang melakukan pengeroyokan adalah jemaat HKBP yang berjumlah dua ratusan. Bentrokan terjadi setelah para pemuda ini diteriaki maling, copet, babi, anjing, dan kata-kata kotor lainnya ketika mereka berpapasan dengan jemaat HKBP, Ahad (12/9/2010).

Sejak persidangan perdana, Handoko dan Hardonis tidak disidang seperti rekan-rekannya sesama terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Bekasi. Keduanya disidang secara tertutup di Gedung BNK—tak jauh dari PN Bekasi—karena masih di bawah umur. Kini keduanya tidak disel di rumah tahanan, melainkan ditetapkan sebagai tahanan luar.

Disela-sela persidangan, sebelum memberikan kesaksiannya terhadap delapan rekan seperjuangannya di PN Bekasi, keduanya berkisah ihwal terjadinya bentrokan hingga dijemput polisi dan digiring ke tahanan Polda Metro Jaya.

Hari itu, Ahad (12 September 2010) Handoko dan Hardonis bersama belasan pemuda Muslim lainnya, berangkat menuju kebun kosong di Ciketing untuk melihat apakah ada kegiatan kebaktian liar yang dilakukan oleh jemaat HKBP. Mereka terpanggil untuk melakukan aksi damai menolak kegiatan kebaktian di tempat yang tak berizin karena dinilai melanggar peraturan pemerintah.

Saat itu Handoko mengendarai motor sendirian, sedangkan Hardonis berboncengan dengan Ismail. Sesampai di Ciketing, mereka tak menemukan kegiatan apapun. Lalu mereka putar haluan hendak menuju ke Masjid Nurul Huda. Di tengah perjalanan, Handoko dan Hardonis cs berpapasan dengan “gerombolan” jemaat HKBP yang melakukan konvoi menuju Ciketing.

Dari belakang, Handoko melihat motor yang dikendarai rekan seperjuangannya, Hardonis dan Ismail terjatuh.  Ismail dikeroyok puluhan orang, lalu kepalanya dipukuli hingga bocor berdarah-darah.

“Saya melihat Ismail ditarik di tengah kerumunan massa HKBP. Mereka mengeroyoknya ramai-ramai. Ketika itu posisi saya ada jauh di belakang. Begitu terjadi bentrokan, saya mundur menjaga jarak,” ujar anak pertama dari dua bersaudara itu kepada voa-islam.com.

Dua hari setelah insiden Ciketing, Handoko menjadi DPO polisi. Ia dijemput polisi usai menunaikan shalat asar berjamaah di Masjid Darul Muttaqin, tak jauh dari rumahnya. “Ketika itu, saya sudah tahu akan ditangkap. Kebetulan ayah saya ada di masjid dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika polisi menangkap saya,” tukas pelajar kelas III STM I Cibitung, Bekasi itu.

Tetap Sekolah

Beberapa hari setelah meringkuk di tahanan Polda Metro Jaya, akhirnya Handoko ditetapkan berstatus tahanan luar. Dengan status ini, ia bisa menunaikan kewajibannya mencari ilmu,  bersekolah seperti biasanya. Sikap pro dan kontra pun dia hadapi dalam pergaulan di sekolah. Teman-teman Muslim mendukung, sementara teman Kristennya sangat membencinya.

”Sebagian besar teman-teman Muslim mendukung saya, tapi ada juga teman-teman yang beragama Nasrani yang tidak suka saya. Tapi kebanyakan guru dan teman-teman di sekolah bersikap baik, dan saya diperlakukan seperti biasanya,” ujar Handoko. 

Meski masih berusia belia, Handoko terkenal memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungannya. Ia tak rela jemaat HKBP terus menerus melakukan pelanggaran, beribadah di tempat illegal. Itulah sebabnya, ia berinsiatif untuk merapatkan barisan dan bergabung dengan teman seperjuangannya dalam aksi damai menolak gereja ilegal HKBP Ciketing yang melanggar Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9/2006 dan No 8/2006 yang mengatur tentang pendirian tempat peribadatan.

“Saya hanya ingin masalah ini cepat selesai,” kata mujahid muda yang aktif mengikuti kajian di  Majelis Rasulullah yang diasuh Habib Munzir Al-Musawa itu.

....Saya tidak pernah menyesal untuk  berjihad di jalan Allah. Bagi mujahid, difitnah itu biasa, dipenjara itu uzlah, dibuang itu tamasya, dan dibunuh adalah syahid....

Di usia mudanya, teman-teman sebaya mereka asyik menikmati masa-masa pubernya. Sementara Handoko dan Hardonis tak menyesal sedikitpun kebahagiaan masa remajanya terampas atas nama hukum. Mereka ikhlas mempertanggungjawabkan amalan shalih untuk menggapai ridha Allah, meski harus memikul status terdakwa lantaran dinilai bertentangan dengan hukum duniawi. Beruntung, orang tua mereka sangat mendukung dan bangga dan sepenuhnya mendukung perjuangan anak-anaknya.

Di usia yang masih hijau, Handoko dan Hardonis sudah menemukan jati diri dan prinsip hidup yang sejati.

“Ini konsekuensi perjuangan Pak.  Saya tidak pernah menyesal untuk  berjihad di jalan Allah,” ujar Handoko.

“Bagi mujahid, difitnah itu biasa, dipenjara itu uzlah, dibuang itu tamasya, dan dibunuh adalah syahid,” tandas Hardonis.

Allahu Akbar!! Semoga prinsip mulia itu selalu dipegang keduanya, dan menjadi motivasi perjuangan bagi para remaja belia lainnya. [taz/desastian/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version