JAKARTA (VoA-Islam) - Selama ini Islam dipahami Barat atau masyarakat Internasional sebagai agama. Sedangkan agama dalam pengertian Barat adalah dogma. Dan dogma dalam kacamata Barat adalah fundamentalis, dan fundamentalis sekarang sudah dekat dengan teroris.
“Adapun Islam adalah agama dan peradaban. Ketika ingin bicara dengan Barat, maka kita bukan bicara Islam sebagai agama, tapi Islam sebagai peradaban. Barat bukanlah agama, Barat adalah peradaban. Karena itu dialog dengan Barat yang betul adalah dialog peradaban, dan bukan dialog agama.” Demikian diungkapkan Pendiri INSIST (Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations) Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi , M.Phil, Ph.D yang juga Ketua Majelis Pimpinan Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).
Dikatakan Hamid, Islam adalah sesuatu yang privat dan juga publik, tidak bisa diprivatkan. Islam adalah agama yang menghargai materi dan spritualitas, Islam adalah agama yang berbasis pada teori dan praktik, Islam adalah ilmiah dan amaliah. Islam adalah agama lahiriah dan batiniah, Islam adalah akidah dan syariah, Islam adalah agama yang menghargai dan menjunjung tinggi ilmu, iman dan amal. Itulah arti Islam sebagai peradaban.
Dalam sejarahnya, Islam bermula dari sebuah kitab suci, bahkan dalam Al-Qur'an terdapat 800 kata ilmu disebutkan. Hamid mengaku sangat tidak suka membaca bukunya Kim Well, seorang Amerika yang menulis dalam bukunya “Is Religion Killing? Isi buku itu mengatakan, bahwa agama menyuruh seseorang untuk melakukan pembunuhan. Penulis buku tersebut tampaknya tidak membaca Al- Qur'an.
“Di dalam Al-Quran kata ilmu paling banyak disebutkan setelah kata Allah. Ilmu pengetahuan dalam Islam itu dikembangkan melalui akidah Islamiyah. Hanya Islamlah, agama yang akidahnya mempunyai basis keilmuan. Akidah tidak mendorong kita pada ekstrimisme, tapi justru mendorong pada intelektualisme. Etiologi Islam mengandung Epistimologi, dan epistimologi mengandung theologi. Sebab itu, Agama mendorong kita untuk berpikir sekaligus beriman,” ujar Hamid.
Adapun tempat seseorang berpikir dan beriman adalah qalb (hati). Dari sinilah Islam menjadi sebuah tradisi ilmiah dan keilmuan yang luar biasa berkembang, hingga bertemulah dengan peradaban asing. Ketika bertemu peradaban asing terjadi proses asimilasilasi, sehingga Islam tidak alergi dengan perabadan dan konsep-konsep asing. “Tentu saja, di dalam proses itu melalui asimilasi atau islamisasi. Dari situlah Islam menjadi peradaban Islam yang luar biasa besarnya,” tandasnya.
Lebih lanjut Hamid menjelaskan, ketika Baghdad menjadi pusat peraban dan negara Islam, tradisi keilmuan melebihi tradisi politiknya. Islam berjaya bukan karena kekuasan para khalifah, tapi karena ulamanya sangat produktif dan semua berdasar pada keilmuan.
Di zaman Abbasiyah dulu, seorang ulama bisa memiliki buku yang jumlahnya ratusan ribu. Bahkan, di sebuah kota terdapat sekurangnya 30-40 perpusatakaan umum, dan saudagar kaya akan bangga bila perpusatakaan di rumahnya dikunjungi orang. Toko-toko buku jumlahnya mencapai ratusan, orang yang suka mencopy buku dengan cara menulis buku jumlahnya ribuan. Bukti, ketika itu tradisi ilmu luar biasa, dan telah mewarnai peradaban Islam.
Segala persoalan diselesaikan dengan cara menulis. Sebagai contoh, ketika Ibnu Taimiyah melihat praktik kebatinan dan mengaku sebagai wali Allah, ia menulis buku. Selain menulis buku, ia juga melihat persoalan masyarakat yang dianggap sesat, kemudian ia datangi dan memberi nasihat, lalu orang itu tobat.
Begitu juga dengan Imam Ghazali ketika menghadapi pemikiran yang tidak jelas karena pengaruh filsafat Yunani. Beliau pun menulis buku. Oleh karenanya, perubahan apapun yang akan kita lakukan harus didasarkan pada ilmu pengetahuan. Persoalan serumit apapun, bila kita duduk bersama dan bicara pada konteks ilmu pengetahuan, Insya Allah berbagai persoalan akan selesai diatasi.
Peradaban Islam
Perlu diketahui, peradaban Islam adalah peradaban yang berdiri karena kekuasaan poilitik, kekuatan ekonomi, stabilitas politik, pendidikan dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
Hami Fahmy Zarkasyi mengungkapkan, sekarang ini banyak ulama yang menjadi politisi. Banyak pula orang yang mendaftar menjadi ulama. Ketika kyai menjadi politisi, maka ada pula yang mendaftar menjadi kiai. “Kita ingin ada sekelompok orang yang tafakuhu fiddin, atau yang kerjaanya hanya mencari lmu dan memperdalam ilmu pengetahuan, dan memberi nasihat kepada orang yang berkecimpung di dunia politik bila melakukan kesalahan. Kita khawatir, semua orang akan berpolitik, dan khawatir jika kursi majelis ilmu ini menjadi kosong,” tandas Hamid.
Gerakan Majelis Intelektual dan Ulama Muda (MIUMI) yang diprakarsai Hamid dan kawan-kawan, tidak akan menyaingi organisasi manapun. Majelis ini akan melakukan apa yang sudah dilakukan dan yang belum dilakukan ormas lain, termasuk MUI. “Jadi tidak ada saingan ataupun penggembosan. Ini adalah upaya untuk menyatukan dari sekian banyak perbedaan. Majelis yang terdiri dari seluruh kelompok yang ada di Indonesia, bersatu membahas berbagai persoalan dengan cara-cara ilmiah.”
Direktur INSIST itu teringat kata-kata, ketika melihat kalimat di depan Pintu gerbang Universitas Qordova-Spanyol: Kebaikan dunia ini hanya ditangan empat kelompok: 1) pengetahuan orang yang bijak. 2) keadilan penguasa, 3) doanya orang-orang yang saleh, dan 4) keberanian kesatria. “Kalau dalam bahasa modern, 4 unsur itu terdiri dari intelektual, penguasa, ulama, dan militer. Namun, kita hanya ambil dua porsi saja, intelektual dan ulama.
Tentu berbagai persoalan tidak bisa diselesaikan, kecuali dengan jalan kebijakan orang-orang yang berpengetahuan dengan doanya para ulama. Kita berharap, Indonesia diwarnai dengan iman, ilmu, amal dan akhlak. Desastian