View Full Version
Senin, 20 Oct 2014

1001 Modus Pengokohan Demokrasi

Oleh Hanif Kristianto (Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur)

Pengokohan demokrasi sebagai sistem politik di Indonesia tak terbendung lagi. Pasca reformasi dengan alasan menggulingkan tirani, demokrasi dijadikan alat untuk kebebasan diri. Bebas menentukan nasib bangsa dan keluar dari rezim otoriter-tirani orde baru. Penguatan nilai-nilai demokrasi kian nyata, tatkala menjamur pemilihan pemimpin langsung. Baik di tingkat daerah (Pilkada) atau pusat (Pilpres). Demokrasi juga dipaksakan di benak setiap pemikiran rakyat melalui pengajaran di sekolah dan diskusi politik. Demokrasi saat ini hanya ditampakan pada pergantian pemimpin. Bukan pada hakikat dan asal usul demokrasi yang berdasar pada pemisahan agama dari kehidupan. Serta bertumpu dan berjalan di atas kebebasan.

Tahun 2014 sebagai hajatan politik digunakan oleh penyeru demokrasi untuk menguji Indonesia. Apakah masih setia dan berdaulat dengan demokrasi? Ataukah justru beralih kepada sistem politik lain? Bahkan berniat mengganti demokrasi dengan ideologi berbasis agama? Para penyeru dan pentaklid demokrasi dengan berbagai dalih dan cara menjalankan misinya. Pengungkapan atas nama rakyat dan menyederai demokrasi kerap jadi alasan. Tak ketinggalan pula alasan menyederai cita-cita reformasi dan tidak sejalan dengan kepentingan bersama. Bukan kali ini saja mereka melakukan demikian. Padahal hakikat yang dinginkan mereka adalah secuil eksistensi diri dan kue kekuasaan. Selebihnya, rakyat hanya setempel dari aktifitas mereka.

Modus Ujian Demokrasi

Pasca pilpres 2014 yang mendapat puja-puji. Demokrasi dianggap mati karena RUU Pilkada disahkan jadi UU. UU Pilkada menegaskan bahwa pemimpin daerah dipilih langsung oleh DPRD. Penyeru dan pentaklid demokrasi pun unjuk diri (show off force). Bak seorang pahlawan, mereka melakukan berbagai modus. Aksi penolakan dengan demonstrasi, diskusi publik, uji materiil UU Pilkada di MK, hingga menyerang presiden. UU Pilkada dianggap mengebiri kepentingan rakyat yang menginginkan kesejahteraan. Karena selama ini rakyat dikibuli tanpa tahu kepada siapa mereka mengadu.

Publik menilai Presiden SBY sebagai aktor utama kemunduran demokrasi jika pilkada oleh DPRD. SBY yang sedang lawatan ke Amerika tak ingin kehilangan muka, meski Partai Demokrat Walk Out. SBY segera merilis video melalui You Tube bahwa SBY mendukung Pilkada Langsung. Karena dia selama ini menikmati itu. Bahkan karena ketakutan disebut tidak demokratis SBY bergegas membuat Perpu sebagai upaya memyuci tangannya. Padahal RUU Pilkada adalah produk bersama pemerintah dan DPR. Aneh? Dibuat sendiri, diingkari sendiri? Hal inilah yang menunjukan kelemahan demokrasi dalam membuat aturan.

Mahasiswa sebagai social control turun ke jalan. Belasan mahasiswa dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kediri, Jawa Timur, mendatangi kantor DPRD Kediri. Mereka mendesak anggota legislatif untuk berkomitmen mengadakan pilkada langsung, menghadapi pemilu di daerah ini pada 2015. Pihaknya menilai, pemilihan itu terkesan hanya main-main dan tidak ada keseriusan untuk memperbaiki sistem demokrasi di Indonesia dan hanya mementingkan kepentingan kelompok demi hasrat kekuasaan tanpa melihat kehendak rakyat (www.antarajatim.com, 10/10/2014).

Beberapa kepala daerah yang menikmati hasil pilkada langsung rakyat ditanyai komentarnya. Ketika sudah ditetapkan UU mereka pun mau tidak mau menaati aturan yang berlaku. Di hati kecilnya mereka pun menyayangkan UU Pilkada. Hal ini dikarenakan rakyat tidak lagi dapat memilih figur yang sesuai diharapkan. Kalaupun kepala daerah dipilih DPRD yang terjadi adalah kekuasaan itu beredar hanya dikalangan elit politik. Soekarwo, Gubernur Jawa Timur, juga turut menginstruksikan KPUD Jatim agar menyiapkan dua skenario. Pemilihan langsung oleh rakyat dan pemilihan langsung oleh DPRD. Meskipun pilkada merupakan hajatan tahunan, KPUD tidak ingin kecolongan dan dianggap tidak profesional.

Walikota Surabaya, Tri Risma Harini pun hadir sebagai panelis di Seminar World Bank. Serangkaian acara Annual Meetings IMF (International Monetary Fund) dan World Bank 2014. Surabaya dianggap contoh demokrasi langsung berdayakan warga. Demokrasi langsung telah memunculkan figur alternatif, memberdayakan, memberikan kesempatan bagi semua, transparansi dan kebijakan yang meningkatkan kesejahteraan warga. Demikian benang merah seminar “Cities and Citizens: Game Chargers for Inclusive Development, yang digelar oleh World Bank di markas besarnya di Washington DC, Jumat 9 Oktober (www.detik.com, 11/10/2014). Dengan mengundang Risma, Bank Dunia hendak mengetahui lebih jauh lagi tentang capaian dan kiat sukses perempuan tangguh ini, yang mendapat dukungan sangat tinggi dari warga Surabaya, untuk dijadikan lessons learned.

Baru-baru ini selesai Bali Democracy Forum. Sebuah forum pembahasan untuk perbaikan demokrasi di negara peserta. Padahal forum itu dijadikan ajang untuk mengokohkan dominasi negara superior. Demokrasi hanya dijadikan kedok manis untuk membujuk negeri muslim agar menerimanya dengan senang hati. Selama ini pun SBY senantiasa ingin mendampingkan demokrasi dengan Islam. Dua hal yang dapat berdampingan. Apa benar?

Epilog Kesadaran

Umat Islam sebagai mayoritas penduduk di negeri ini seharusnya mulai sadar. Parodi politik dari Pilpres hingga RUU Pilkada jadi bukti wajah buruk demokrasi. Ada ungkapan sistem negeri ini sudah baik, hanya orangnya yang tidak amanah. Ungkapan itu tidak benar dan tidak berdasar dalil yang kuat. Bukankah, demokrasi justru menelurkan orang yang koruptif dan bejat? Demokrasi juga digunakan untuk mengokohkan penjajahan asing dengan membuat UU pro asing dan mengeruk kekayaan SDA.

Penyadingan demokrasi dengan Islam di negeri ini juga keliru. Apakah mau umat Islam memeluk Islam sekaligus demokrasi? Bukankah sumber dari keduanya berbeda. Islam berdasar Wahyu Allah Swt yang menyiptakan manusia. Adapun demokrasi bersumber pada peradaban Barat Sekular dan buah pemikiran manusia. Lantas, dalil mana yang digunakan oleh para penyeru dan pentaklid demokrasi untuk menyampaikan bahwa demokrasi itu Islami. Serta Islam itu demokratis. Sunggu sebuah pemikiran yang sesat dan menyesatkan.

Semua usaha pengokohan sistem demokrasi di Indonesia hanya digunakan untuk menina-bobokan umat dari Islam. Meski Islam masih ada dalam jiwa umatnya, namun keinginan untuk kembali kepada syariah justru dibungkam dan dihilangkan dari memori umat. Mereka ingin menyederhanakan Islam dalam ritual dan akhlak. Mereka pun mengajak menerima nilai-nilai Barat yang disederhanakan dan dipoles Islami.

Hal yang perlu diingat oleh umat bahwa pengokohan demokrasi hanya akan membelenggu umat dalam kebodohan, kesengsaraan, dan kehinaan. Umat akan dibuat bingung dalam menentukan sikap. Bukankah penolakan FPI kepada Ahok sebagai Gubernur Jakarta layak jadi pelajaran? Ingat demokrasi tidak akan memedulikan pemimpin itu muslim atau kafir. Meskipun umat Islam berlindung dibalik syariah, tetap saja demokrasi menolak syariah Islam. Toh pemimpin yang terpilih tidak pernah berniat menerapkan syariah. Ibarat ajing menggonggong kafilah berlalu.

Maka konteks perjuangan untuk menggusur dominasi demokrasi haruslah dengan shiro’ul fikri (pergolakan pemikiran) dan kiffahus siyasi (perjuangan politik). Shiro’ul fikri dengan menjelaskan kebatilan dan kebobrokan ide-ide Barat, kapitalisme, demokrasi dan turunannya. Kemudian diganti dengan ide dan pemikiran yang diadopsi dari aqidah Islam. Serta kifahus siyasi dengan membokar makar dan rencana jahat negara kafir yang akan mengokohkan dominasinya di negeri kaum muslim. Masuklah ke dunia mereka (umat yang diliputi sistem demokrasi) dengan dakwah, bawalah dunia mereka ke dunia kita (beralih kepada Islam). Oleh karena dibutuhkan politisi sejati yang berlandaskan politik Islam. Politisi yang mampu menyampaikan hak di hadapan penguasa dzalim.

Dengan demikian demokrasi telah mati. Rest in peace. Karena Khilafah akan kembali.    


latestnews

View Full Version