View Full Version
Kamis, 26 Nov 2015

Antara Tunis-Mesir : Dibalik Adanya Larangan Menggunakan Niqab di Kampus

TUNIS (voa-islam.com) – Antara Mesir dan Tunisia terjadi “perang” terbuka. Di mana Universitas Kairo berlangsung perdebatan yang hangat tentang niqab, jilbab, Islamisme, terorisme. Inilah yang sekarang ini menjadi titik perbedaan di antara para aktifis muda Islam, yang mereka terlibat dalam pergerakan.

Sementara itu, antara Tunisia dan Mesir, terus berlangsung perdebatan yang hangat, pasca-revolusi Tunisia dan Mesir, tentang kecenderungan kalangan Muslimah yang menggunakan niqab. Ada usaha-usaha dari fihak pemerintah yang ingin melarang niqab (cadar) dengan beberapa alasan melanggar kebebasan pribadi dan lainnya.

Sementara yang lain mendukungnya dengan alasan keamanan. Memang, sesudah “revolusi”, Muslimah di Tunisia menggunakan “niqab” menjadi kecenderungan umum. Semakin banyak Muslim Tunisia yang menggunakan niqab. Ini sejalan dengan berlangsungnya pengaruh proses Islamisasi di Tunisia.

Dibagian lain, Kementerian Pendidikan Tunisia baru-baru ini telah menskor sejumlah guru sekolah dan dosen perguruan tinggi, karena menolak melepaskan niqab mereka, dampak dari kebijakan pemerintah Tunisia itu telah memicu kemarahan di seluruh negeri.

Pekan lalu seorang guru diberhentikan ketika Muslimah itu terus mengenakan niqab setelah beberapa peringatan diberikan agar menangngalkan niqabnya, tapi tidka diindahkannya. Pada bulan Februari, pemerintah Tunisia membuat kebijakan yang melarang anak perempuan berusia kurang dari 12 tahun menggunakan niqab, serta larangan penuh pada niqab di semua lembaga pendidikan di seluruh negeri, termasuk dosen dan staf, tidak hanya siswa, ungkap pejabat kementerian pendidikan Tunisa, kepada AFP, Rabu, 26/11/2015.

Muslim di Tunisia menilai keputusan pemeintah itu melanggar kebebasan pribadi yang dijamin oleh konstitusi, sementara yang lain mendukungnya untuk alasan keamanan, dengan alasan bahwa hal itu dapat digunakan untuk melakukan tindakan terorisme. Semua alasan yang sekarang ini berkembang, karena “niqab” selalu dihubungkan dengan “terorisme”.

Sejatinya setelah revolusi yang berlangsung “Revolusi 2011”, pemerintah baru di Tunisia yang dikuasai oleh Partai An-Nahdhah, yang beraliran Islam, membolehkan Muslimah menggunkan jilbab dan niqab, yang tidak ditoleransi di bawah pemerintahan presiden terguling Zine el-Abidine Ben Ali, yang kejam menindas semua bentuk Islamisme.

Kementerian dalam negeri bahkan mengeluarkan KTP bagi perempuan berjilbab untuk pertama kalinya setelah larangan tahun panjang.

Namun, kemudian berlangsung aksi kekerasan yaitu serangan di Museum Bardo pada bulan Maret 2015, yang menewaskan lebih dari 20 orang tewas, termasuk 17 turis asing, kemudian segala berubah, termasuk opini publik Tunisia telah semakin mendukung langkah-langkah anti-Islam.

Awal tahun ini, dua wanita mengenakan niqab ditangkap karena dicurigai menyebarkan propaganda kelompok DaulahIslam (IS).

Setelah serangkaian insiden tersebut, menteri urusan agama Othman Battikh kepada wartawan ia akan memiliki "tidak ada masalah" dengan larangan nasional pada niqab "jika niqab menjadi ancaman masyarakat", tuturnya.

"Agama memerlukan harus menutupi aurtat (tubuh), sebagai pakaian terhormat, tapi tidak memerlukan pemakaian niqab ", ujarnya pada bulan April lalu. Fadel Ashour, juru bicara Tunisia Imam Union, mengatakan bahwa ia setuju bahwa niqab menjadi "hambatan komunikasi" di kelas, ucapnya. "Mereka yang mempromosikan penggunaan niqab idak mewakili rakyat Tunisia," tambahnya.

Tunisia vs Mesir

Pengguna media sosial membandingkan larangan niqab di Tunisia dan Mesir. Perbandingan telah dilakukan antara kedua negara atas isu-isu yang berbeda sejak awal revolusi Musim Semi Arab tahun 2011.

"Bukankah memalukan bahwa Tunisia telah melarang guru mengenakan niqab dan anak-anak mengenakan jilbab di sekolah-sekolah, menuntut siapa saja yang menentang larangan tersebut, sementara kita di Mesir menggunakan jilbab untuk mempertahankan rasisme?" satu pengguna tweeted.

Sebuah kontroversi serupa memicu perdebatan di Mesir dengan awal tahun ajaran baru pada bulan September, ketika Presiden Universitas Kairo Gaber Nassar mengeluarkan dekrit melarang semua staf perempuan mengenakan niqab setelah siswa mengeluhkan "komunikasi yang buruk" di kelas. Larangan niqab telah menghadapi oposisi dan perlawanan di Mesir daripada di Tunisia.

Pada bulan Oktober, 77 anggota dosen fakultas di Universitas Kairo yang memakai niqab, melalui jalur hukum mengajukan gugatan terhadap Nassar memprotes keputusan itu, pengacara yang terlibat dalam kasus ini mengatakan kepada Aswat Masriya pada saat itu.

Pada tahun 2009, Universitas Kairo melarang para siswa dan staf dari memakai niqab di kampus atau di asrama universitas, tapi larangan itu kemudian dibatalkan oleh pengadilan Kairo setelah seorang profesor universitas mengajukan gugatan. Niqab dianggap menjadi "momok" dan sibul radikalisme. (afgh/aby/voa-islam.com)

 


latestnews

View Full Version