View Full Version
Sabtu, 28 Nov 2015

Mengapa Serangan Udara Koalisi Tak Dapat Menggusur IS?

JAKARTA (voa-islam.com) - Pada 24 November, menjelang senja, empat jet tempur Prancis meninggalkan kapal induk Charles de Gaulle di laut Mediterania timur. Mereka menuju sasaran yang harus  di Suriah.

Mereka membawa misi menghancurkan ISIS/IS di Suriah dan Irak, sebagai pembalasan atas serangan kelompok itu di Paris, sebelas hari sebelumnya yang menewaskan lebih 153 orang, dan meninggalkan 300 orang yang luka.

Hanya dalam jarak waktu lima jam, pesawat tempur melepaskan 20 rudal dengan target sasaran fasilitas pusat komando dan pelatihan milik ISIS/IS dekat kota Tal Afar di Irak timur laut, ungkap Kementerian Pertahanan Prancis, Jum'at, 27/11/2015.

Sejak terjadinya serangan yang sangat dramatis di ibukota Paris, Prancis telah meningkatkan komitmennya bersama dengan koalisi pimpinan Amerika memerangi ISIS /IS, tetapi menurut para analis keamanan dan intelijen mengatakan bahwa tindakan serangan udara koalisi dinilai tidak memadai untuk memberantas kelompok militan di Suriah.

"Hollande mengatakan serangan ISIS/IS terhadap Paris adalah tindakan perang," kata Dr Edwin Bakker, Direktur Pusat Terorisme dan Kontraterorisme dari Leiden University di Den Haag. "Anda tidak hanya bisa duduk di rumah, dan mengatakan ini adalah tindakan perang. Tidak. Anda harus melakukan sesuatu," tambahnya.

Kedatangan kapal induk Prancis di Mediterania timur minggu ini, menandakan Prancis melipatgandakan tiga kali kemampuan militernya, termasuk pesawat tempur yang melakukan misi di Irak dan Suriah.

Sejak 19/9/ 2014, 12 jet Prancis telah melakukan lebih dari 285 serangan terhadap target ISIS/IS dari pangkalan di Yordania dan UEA. 18 pesawat jenis Rafael M, sebagai jet tempur yang memiliki multi kemampuan yang berpangkalan di kapal induk Charles de Gaulle, 8 pesawat tempur di kapal Super Etendard, dan berbagai macam pesawat pengintai.

Jumlah pesawat tempur Prancis yang ikut dalam misi ke Irak dan Suriah mencapai 38 pesawat jet tempur. Menurut Kementerian Pertahanan Prancis, pesawat-pesawat tempur itu telah menyerang lebih dari 35 target sasaran ISIS/IS, sejak 13 November.

"Ini respon terhadap 'serangan teroris', dan akan meningkatkan jumlah dan intensitas serangan udara," tegas Dr Reinoud Leenders, ahli Timur Tengah dalam Departemen Studi Perang King College London.

"Tapi, jika anda melihat jumlah serangan udara yang sebenarnya, maka kita hanya jumlah serangan Perancis sejak serangan Paris. Tidak ada negara lain yang ikut terlibat dalam serangan di Suriah. Ini sudah menampakan hanya Prancis yang memiliki tindakan tegas terhadap IS/ISIS, dan dampak serangan ini sangat sedikit, "jelas Leenders. Sejatinya, "75 persen serangan udara masih dilakukan oleh Amerika,” tambahnya.

Yordania, Mesir dan Rusia menyerang IS/ISIS?

Serangan terhadap IS/ISIS hanya melaksanakan "balas dendam". Tidak ada konsistensi. Seperti yang dilakukan oleh Jordania. Jordania melakukan serangan udara setelah kelompok IS/ISIS menembak jatuh sebuah pesawat Jordania, kemudian mengeksekusi pilotnya yaitu Moaz al-Kasasbeh awal tahun ini. Sesudah tidak ada tindakan lagi.

Sama seperti yang dilakukan oleh Prancis, hanya reaksi yang sifatnya sejenak atas serangan kota Paris, dan banyak ahli berspekulasi bahwa serangna udara Prancis itu, tidka signifikan menghancurkan IS/ISIS.

Pola sepeti itu terus berlaku, seperti ketika IS/ISIS mengeksekusi 21 sandera Mesir di Libya awal tahun ini, kemudian Mesir melakukan serangan udara ke basis IS/ISIS di Libya. Namun, serangann udara Mesir tidak berlangsung lama, karena mereka tidak memiliki dukungan politik ketika sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan solusi politik tidak yang militer untuk konflik Libya.

Seperti dengan serangan baru terhadap kota Paris, tindakan Rusia sama, ketika IS/ISIS mengaku bertanggungjawab atas jatuhnya pesawat Metrojet Rusia yang menewaskan 224 orang penumpangnya di Sinai pada bulan Oktober, Rusia juga mengintensifkan serangan udara di Suriah.

Justru yang menjadi korban serangan udara itu, bukanlah kelompok IS/ISIS, tapi ratusan penduduk sipil yang tewas. Sampai hari ini tidak ada secara terinci berapa jumlah kelompok IS/ISIS yang sudah tewas akibat serangan udara Rusia.

Respon yang memadai?

Leenders mengatakan bahwa seringkali “sikap" melakukan serangan balik oleh Prancis dan lain-lain harus dilihat sebagai merespon tegas terhadap serangan IS/ISIS. "Tapi saya tidak yakin bahwa rudal yang dijatuhkan akan menjadi respon yang memadai," tuturnya. Jadi walaupun Prancis dan Rusia sudah begitu banyak memuntahkan rudal jelajahnya ke sasasaran IS/ISIS, tapi masih dipandang belum cukup efektif.

Serangan udara yang begitu masif oleh Prancis dan Rusia, tetapi memiliki dampak sedikit perubahan di darat. Tidak terjadi perubahan di darat, tetap wilayah-wilayah Suriah masih dikuasai oleh IS/ISIS.

Dalam serangan udara yang sudah berlangsung selama 15 bulan sejak awal koalisi, pasukan Amerika telah melakukan serangan udara 6471 - 3768 di Irak dan 2.703 di Suriah - dan mitra koalisi telah melakukan lebih 1.818, dan lebih 1.664 berada di Irak.

Menurut analis keamanan Amerika sudah mengeluarkan anggaran $5 miliar dollar atau $11 juta per-hari. Media Rusia telah melaporkan bahwa dalam 48 hari sampai dengan 17 Nopember pesawat tempur Rusia telah melakukan hampir 2.300 serangan udara di Suriah. Ini adalah jumlah serangan udara yang sangat signifikan lebih tinggi per hari dari serangan koalisi dari koalisi yang jumlahnya sudah mencapai 8.289 serangan udara selama 450 hari.

Namun kelompok militan itu tetap mengendalikan Mosul dan Raqqa, yang menjadi pusat kelompok IS/ISIS di Irak dan Suriah.

Bahkan, gerakan ISIS/IS menyebar ke berbagai negara seperti Prancis, Turki, Lebanon, Mali, Tunisia, dan sejumlah negara lainnya. Pengaruh IS/ISIS mulai dari Aljazair sampai ke Filipina. Seakan tidak habis-habis dengan banyaknya rudal yang dijatuhkan oleh pesawat jet tempur Amerika, Prancis, Rusia, Inggris.

Menurut Leender, tanpa pasukan darat tidak akan dapat menggusur IS/ISIS, dari Irak dan Suriah.

Koalisi Amerika, Rusia, Prancis dan Inggirs, serta sejumlah negara lainnya, tidak berani terjun langsung dalam medan perang Suriah dan  Irak. Koalisi menggunakan milisi Syiah Hesbollah, Pasukan Pasdaran, Garda Revolusi, Garda Republik, kelompok Kurdi, tanp berani menghadapi langsung IS/ISIS. Hanya dengan dendam mungkin kurang efektif membasmi IS/ISIS. Wallahu'alam.*


latestnews

View Full Version