View Full Version
Selasa, 17 May 2016

Kontroversi Bubarkan HTI, Untuk Apa?

Oleh: Abu Ummah Al Makassar i (Pemerhati Sosial Politik)

Bergulirnya isu desakan pembubaran HTI menuai kontroversi. Sejak kasus dipicu oleh instruksi Kepala Banser Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor H Yaqut Cholil Qoumas pada tanggal 16 April 2016 terkait dengan kegiatan HTI bertitel Muktamar Tokoh Umat 1437 H yang berpotensi anarkis oleh Banser itu. Beragam pendapat bermunculan dari berbagai kalangan penuh kontroversi. Di antaranya terutama berkaitan dengan keabsahan substansi perjuangan melalui lisan yang dilakukan oleh HTI.

Tokoh-tokoh yang merespon berkaitan dengan isu ini antara lain: 1) KH Hasyim Muzadi yang menyatakan HTI tidak perlu memperjuangkan khilafah cukup dengan syariat islam rahmatan lil ‘alamin saja. Sebaliknya mendorong agar persoalan NU/Anshor dengan HTI diselesaikan secara musyawarah. 2) KH Saefulloh Yusuf (Gus Ipul) Ketua PBNU menyampaikan bahwa HTI tidak perlu dibubarkan cukup agar tahu diri saja. 3) Menteri Agama, Lukmanul Hakim Saefuddin, “Seharusnya umat Islam tidak lagi menggunakan potensi dan energi untuk mempersoalkan semua itu (Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI). Sebab sudah final, “ ujar Lukman kepada wartawan usai membuka Porseni UIN, IAIN dan STAIN se-Jawa dan Madura VI di IAIN Tulungagung, Jawa Timur, Senin (2/5/2016). 4) Kapolda Jatim, Irjen Anton Setiaji berharap bahwa HTI mengoreksi diri.

Lebih lanjut Anton menyampaikan bahwa Polda tidak dalam kapasitas kewenangan membubarkan HTI. Jika ormas maka diserahkan kepada Bakesbanglinmas. 5) Bupati Jember, Hajah Faida, menegaskan "Saya jelas melindungi seluruh organisasi manapun, seluruh hak masyarakat di Kabupaten Jember, termasuk minoritas, termasuk HTI, kecuali Menkumham melarang organisasi ini dan kecuali meskipun mereka punya izin, dalam kegiatannya melanggar yaitu aturan menentang NKRI, akan dibubarkan," katanya di kantor Pemerintah Kabupaten Jember, Senin (2/5/2016). Sekalipun Faida akhirnya menghadapi ancaman interpelasi akibat desakan GP Ansor yang tidak ditanggapinya. Ancaman interpelasi yang dilakukan oleh 3 fraksi antara lain FKB, Fraksi Gerindra dan Fraksi Amanat Belakangan. Meski belakangan interpelasi itu ditolak oleh F-PDI P.

Jika mencermati perkembangan opini media, maka desakan kuat tentang pembubaran HTI hingga kini memang datang secara khusus dari PCNU Jember. Sekalipun PCNU Jember juga tetap membuka ruang dialog dengan HTI. Lembaga Bahtsul Masail Nahdhatul ulama (LBM-NU) jember siap menghadapi tantangan Hizbuttahrir Indonesia. Hal ini disampaikan pada acara diskusi yang dilaksanakan di gedung Aula Universitas Islam (UIJ) Jember siang tadi sekitar pukul 11.30 WIB (Rabu, 4 Mei 2016).

Acara yang dihadiri pula oleh Ketua PCNU, KH Abdullah Syamsul Arifin secara khusus menindaklanjuti kemungkinan ruang dialog dengan HTI. Lebih jauh Juru bicara LBM NU Jember Abdul Wahab Ahmad menegaskan kesiapan untuk berdialog dengan HTI. "Kami sudah siap. Mau dialog di mana pun dan kapan pun," katanya. 

"Kami tentu akan mendialogkan bagaimana HTI di Indonesia. Kami akan mempertanyakan pernyataan HTI yang cinta NKRI dan Pancasila, tapi itu berlawanan dengan dokumen-dokumen resmi mereka," kata Wahab. LBM NU Jember akan menampilkan sosok HTI ke publik. "Kita terbuka saja, siapa mereka, di Indonesia bagaimana, posisinya bagaimana, misinya apa. Jadi kita agar sama-sama tahu. Selama ini kita tahu keberadaan mereka menimbulkan penolakan masyarakat dan ide-idenya cukup radikal untuk diterapkan di Indonesia," katanya. Menurut Wahab, HTI berbeda dengan gerakan-gerakan transnasional keagamaan di Indonesia. "HTI punya misi itu (khilafah), sementara yang lain tidak," lanjutnya. "Perlu dicatat, HTI bisa bergerak bebas di Indonesia karena demokrasi. Di negara-negara lain di Timur Tengah, yang demokrasinya di bawah Indonesia, mereka sudah dilarang. Kalau HTI mau mengkritik demokrasi, perlu dipertanyakan," pungkasnya.

Dari beberapa kontroversi berkaitan dengan desakan bubarkan HTI mulai dari statement beberapa tokoh nasional maupun lokal, hingga secara khusus langkah-langkah yang ditemput oleh PCNU merespon gerak langkah aktifitas HTI, ada statetment yang menarik baru-baru ini yang terlontar dari Andreas, aktivis Human Rigts Watch saat berkunjung di Jember, Jawa Timur, Rabu (4/5/2016) hingga Sabtu (7/5/2016). Secara obyektif dia menyampaikan berkaitan dengan pendapat yang diminta oleh beberapa petinggi di Jakarta tentang isu pembubaran HTI.

Dia mengatakan, "Saya kira Hizbut Tahrir bebas untuk berpendapat, mengadakan pengajian, maupun bicara soal khilafah islamiyah, antipancasila, maupun antidemokrasi. Ini masalah kebebasan berpendapat saja," katanya.

Andreas menilai apa yang dilakukan HTI belum masuk makar. "Menurut KUHP, yang disebut makar adalah gerakan separatis melawan negara atau memisahkan seluruh atau sebagian negara dengan kekerasan. Saya kira Hizbut Tahrir tidak menganjurkan kekerasan, juga tidak ada tanda-tanda Hizbut Tahrir ngumpulin bom atau mau mengumpulkan angkatan bersenjata," katanya.

Sambil menegaskan bahwa Indonesia sudah meratifikasi melalui DPR RI hukum internasional (International Covenant on Civil and Political Rights). Andreas mengusulkan agar HTI diajak debat soal Pancasila dan demokrasi.

"Debat ini dilindungi aparat keamanan agar tidak terjadi intimidasi," katanya. HTI tengah menjadi isu panas di Jember, menyusul aksi Gerakan Pemuda Ansor yang menghadang muktamar organisasi itu, Minggu (1/5/2016). Bahkan, Pengurus Cabang NU Jember segera melayangkan surat ke pemerintah pusat untuk membubarkan HTI, karena memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Andreas mengatakan, undang-undang tentang ormas memang bermasalah jika dikaitkan dengan Hizbut Tahrir, karena ada pasal yang menyatakan setiap organisasi massa tidak boleh menentang Pancasila dan NKRI.

"Namun UU ormas ini bermasalah, dikritik PBB di Jenewa karena dianggap bertentangan dengan kebebasan berpendapat dan beragama," katanya. Sekalipun Andreas juga mengecam sikap HTI yang mendesak dibubarkannya JIL (Jaringan Islam Liberal) dan kelompok minoritas Ahmadiyah.

Dari beragam kontroversi seputar isu pembubaran HTI ini ada beberapa hal penting yang bisa kita cermati bersama antara lain :

1) Fenomena desakan pembubaran HTI murni berkaitan dengan perdebatan persoalan pilar-pilar negara khususnya Pancasila dan NKRI antara NU yang direpresentasi secara khusus PCNU Jember yang dipicu awalnya oleh Kepala Banser Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor dengan HTI. Dimana KH Hasyim Muzadi menghimbau agar menyelesaikannya secara musyawarah. Tidak berkaitan dengan kepentingan dan nasib masa depan bangsa. Realitas persoalan yang dihadapi lintas sektoral di negeri ini adalah akumulasi berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah RI dari waktu ke waktu. Dan dari pergantian rezim ke rezim.

2) Upaya mengkriminalisasi HTI melalui desakan pembubaran malah menimbulkan pertanyaan  besar, benar-benar sebagai upaya menjaga Pancasila dan NKRI ataukah sekedar “vested interest” di tengah tumpang tindih perundang-undangan yang ada di negeri ini. Di antara masifnya pembahasan radikalisme dan terorisme yang terus dikawal oleh pemerintah RI dari waktu ke waktu. Dan dari peristiwa ke peristiwa. Dimana NU adalah salah satu mitra tetap BNPT dalam program deradikalisasi.

3) Jika benar disampaikan oleh Andreas mengacu pada International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi DPR RI dimana kebebasan berpendapat dan beragama diberikan ruang yang seluas-luasnya itu artinya Indonesia sedang berada pada situasi bebasnya perlintasan segala bentuk ideologi, keyakinan, agama, kepercayaan apapun di Indonesia. Dengan kata lain, bolehnya berkembang ideologi-ideologi mainstream dunia secara terbuka baik kapitalis liberalis, sosialis komunis maupun islam. Implikasinya adalah bahwa interpretasi terhadap pilar-pilar negara termasuk Pancasila dan NKRI akan sangat ditentukan oleh siapa yang paling memiliki kekuatan politik mempengaruhi dan menentukan kebijakan status quo di negeri ini. Pada akhirnya Pancasila dan NKRI hanya menjadi simbol yang digunakan sebagai klaim pembenaran menentukan siapa yang berbahaya - mengancam negara dan siapa yang tidak.

4) Berdasarkan atas pengamatan, HTI dalam kacamata masyarakat umum lebih menonjol sebagai gerakan pemikiran intelektual yang menawarkan wacana syariat islam dan khilafah islamiyah sebagai solusi bangsa dan umat. Sekalipun mengaku sebagai sebuah partai politik tetapi penafsirannya berbeda secara faktual dengan yang dimaksud dengan pengertian partai politik sebagaimana realitas politik yang ada. Hanya sebagai sebuah entitas dakwah yang konsen kepada pencerdasan umat islam melalui membangun kepekaan politik dan keterikatan terhadap syari’at islam. Dan secara terbuka menyampaikan kepada khalayak umum bagaimana pemikiran-pemikiran islam yang diusung dan diperjuangkan sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab yang dipahaminya. Karakter perjuangan ini sangat berbeda dengan kelompok liberalis dan sosialis komunis yang penuh dengan hidden agenda. Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan pilar-pilar negara termasuk Pancasila dan NKRI berada di antara persaingan ketiga kekuatan ideologi tersebut. Islam, Sosialis Komunis, dan Kapitalis Liberalis. Hanya saja mereka semuanya berlindung pada bayang-bayang pilar-pilar negara.

Akhirnya kita bisa memahami sesungguhnya bahwa kasus desakan pembubaran HTI oleh Banser hanyalah merupakan riak kecil dari gunus es yang sewaktu-waktu jatuh menggelembung besar dan meledak. Akibat manifestnya benturan berbagai kekuatan politik laten berbasis ideologi mainstream dunia. Jika kita melihat tanda-tanda bangkitnya lagi kekuatan sosialis komunis di Indonesia.

Dan begitu dinamisnya gerakan liberalis terutama melalui advokasi pada proses politik parlemen untuk melahirkan banyak produk perundang-undangan serta peraturan yang ada di bawahnya. Lalu dimanakah sesungguhnya letak kekuatan politik islam berada yang terkesan sudah berhasil diliberalisasi, diadu domba, dipinggirkan, dibuat pragmatis, dan diserang habis-habisan. Wallahu a’lam bis showab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version