View Full Version
Ahad, 25 Sep 2016

Memaknai Kembali Hakikat Bela Negara

Oleh: Lusiyani Dewi, S. Kom (Pengamat Dunia Islam)

Selasa (23/08), Kementerian Pertahanan mengadakan Gelar Apel Bela Negara di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat. Apel dihadiri sekitar 10 ribu peserta. Menhan Ryamizard mengajak setiap komponen bangsa Indonesia mewujudkan kecintaan pada Tanah Air. Salah satunya dengan mendukung program Bela Negara yang telah dicanangkan oleh Presiden Jokowi sejak 19 Desember 2014 (m.tempo.co,23/08/2016).

Karena itu selain mengadakan sosialisasi dan pelatihan, Kemenhan juga bekerjasama dengan Kemendikbud membuat kurikulum pengajaran bela negara dari tingkat TK hingga perguruan tinggi (Harianterbit.com, 23/08).

Ryamizard menargetkan jumlah kader bela negara mencapai 100 juta orang (Okezone.com, 23/08).Ryamizard mengatakan, pembentukan kader bela negara akan dilakukan melalui program ketahanan negara di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Pada tahun ini, akan dimulai di 47 kabupaten/kota yang berada di 11 Kodam.

Program bela negara yang diinisiasi Kementerian Pertahanan tersebut dikhawatirkan banyak pihak sebagai upaya untuk mencegah kritik masyarakat terhadap Pemerintah. Program ini dinilai memiliki konsep yang luas, tak hanya berkaitan dengan militerisme. Para pengamat menilai,  program bela negara dengan pelatihan ala militerisme lebih bertujuan untuk mendoktrin warga negara agar siap bertempur menghadapi berbagai ancaman negara. Dikhawatirkan, pelatihan tersebut justru mengubah cara pandang warga negara. Bela negara memiliki konsep sangat luas. Kritik korupsi, kritik terhadap penyalahgunaan wewenang juga disebut bela negara. Jangan-jangan orang yang mengkritik Pemerintah nantinya malah dianggap melawan negara.

Sesungguhnya, upaya mempertahankan eksistensi negara wajar dilakukan oleh negara manapun. Namun, dengan cara apa mempertahankan dan membela negara menjadi pertanyaan penting. Eksistensi negara tentu tidak hanya didasarkan pada keberadaan militer, namun terkait dengan kekuatan ideologi dan sistem politik, ekonomi, budaya, pendidikan, yang dibangun dari ideologi tersebut.

Program ini tampaknya menjadi ironi bahkan kontradiksi. Mengapa? Karena di satu sisi rakyat disuruh untuk bela negara, tetapi di sisi lain Pemerintah malah menggadaikan negara ini kepada pihak asing. Pemerintah sering bicara nasionalisme, tetapi Pemerintah malah membiarkan upaya disintegrasi Papua, misalnya. Pemerintah mengklaim anti penjajahan, tetapi Pemerintah pula yang secara sengaja mengundang campur tangan penjajah, terutama melalui berbagai investasi asing dan utang luar negeri yang terus bertumpuk. Akibatnya, kekayaan alam kita banyak dikuasai pihak asing. Di bidang minyak dan gas (migas), misalnya, ada 60 kontraktor asing. Mereka telah menguasai hampir 90% migas. Semua itu terjadi lantaran kebijakan liberalisasi di sektor tambang dan migas oleh Pemerintah (InilahREVIEW, 05/II/10/2012).

Pemerintah juga membiarkan sejumlah pulau di Indonesia dikuasai asing. Tak kurang dari enam pulau di Indonesia sudah dikuasai oleh asing, di antaranya: Anambas, Wakatobi, Raja Ampat, Pulau Cubadak, Tanjung Keramat dan Karimun Jawa (Travelesia.co, 11/2014).

Keseriusan bela negara ini patut dipertanyakan selama bangsa ini masih mengadopsi sistem Kapitalisme global. Sumber malapetaka Indonesia justru adalah neo-liberalisme dan neo-imperialisme. Inilah yang menghancurkan Indonesia. Neoliberalisme dan neoimperialisme berdampak sangat buruk bagi rakyat. Di antaranya, tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kerusakan moral dan korupsi yang makin menjadi-jadi serta meningkatnya angka kriminalitas yang dipicu oleh kemiskinan dan kesenjangan sosial.Karena itu patut dipertanyakan sikap Pemerintah saat bicara tentang bela negara, namun kukuh mempertahankan negara sekular yang kapitalis ini.

Basa-basi bicara membela NKRI, namun justru menjual negeri ini kepada asing. Fakta yang ada sekarang membuktikan bahwa ideologi Kapitalisme global yang juga memiliki watak transnasional, bukan sekadar dikhawatirkan akan mengancam, tetapi malah benar-benar telah merusak Indonesia. Kejahatan ideologi ini sudah dimulai sejak masa kolonialisme. Baik atas nama korporasi maupun negara (Barat), mereka menjajah dan mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Kerusakan yang ditimbulkan luar biasa besar. Bukan hanya merampas kekayaan alam, penjajah juga menistakan bahkan juga membunuh ribuan rakyat Indonesia.

Dari ideologi kapitalisme ini lahirlah berbagai undang-undang dan kebijakan liberal yang menyengsarakan rakyat, merampok kekayaan alam, dan mengancam keutuhan negara. Ironisnya, semua ini dilegalkan dengan UU. Lahirlah kebijakan privatisasi BUMN, perdagangan bebas, pengurangan subsidi, pembangunan yang berbasis utang luar negeri, mata uang yang dikaitkan dengan rezim dolar, dll. Semua ini merugikan negara dan menyengsarakan rakyat. Negeri ini pun telah banyak menjalin kerjasama dengan pihak asing. Berbagai kerjasama itu—khususnya dalam bidang ekonomi, politik, hukum dan keamanan—sebenarnya telah banyak memberikan pelajaran kepada kita, bahwa sebagian besar dari perjanjian itu, kalau tidak bisa dikatakan semuanya, lebih menguntungkan pihak asing.

 

Bela Negara Versi Islam

Membela negara merupakan fitrah yang timbul pada diri manusia. Islam sebagai agama fitrah telah menuntun sedemikian rupa bagaimana cara membela negera dengan benar. Syariah Islam telah menuntun secara praktis tatacaranya. Khilafah Islam telah menunjukkan baik secara syar’i maupun secara historis bagaimana Islam benar-benar dapat memenuhi fitrah manusia untuk membela negaranya.

  1.  Kewajiban Jihad fi sabilillah melawan musuh/penjajah

 Allah SWT telah memuliakan kaum Muslim dengan menjadikan mereka sebagai pengemban risalah Islam ke seluruh dunia. Allah SWT juga telah menentukan metode untuk mengemban risalah Islam itu, yaitu dengan dakwah dan jihad. Untuk itu, Allah SWT menjadikan jihad sebagai kewajiban atas mereka. Mempertahankan negeri ini dari serangan fisik dari musuh-musuh yang ingin menjajah negeri bukan hanya dianjurkan, bahkan diwajibkan. Islam memerintahkan kewajiban jihad fi sabilillah, kewajiban berperang, ketika negeri Islam diserang. Jihad adalah kewajiban seluruh kaum Muslim tanpa melihat apakah mereka itu sipil ataupun militer.

  1. Kewajiban menjaga kesatuan negara (mencegah disintegrasi)

Khilafah adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia. Umat Islam selama 14 abad hidup dalam satu negara yang dipimpin oleh seorang khalifah. Islam telah mengajarkan kesatuan dan persatuan di tengah-tengah kaum Muslim. Karena itu menjaga kesatuan dan persatuan ini wajib bagi mereka. Islam tidak membiarkan potensi perbedaan dan perselisihan yang bisa menghancurkan kesatuan dan persatuan. Karena itu Islam menetapkan akidah Islam sebagai dasar negara. Dari akidah Islam inilah, UUD dan UU yang digunakan untuk menyelenggarakan negara dibangun.

  1. Melindungi negara dari ide-Ide yang merusak

Untuk melindungi negara dari ide-ide yang rusak, pendidikan menjadi pilar utama negara. Dasar yang menjadi pondasi kurikulum pendidikan di dalam negara Khilafah adalah akidah Islam. Karena itu seluruh kurikulum, materi pendidikan, metode dan seluruh proses belajar-mengajar tidak boleh bertentangan atau menyalahi dasar (akidah Islam) ini. Secara umum, kebijakan pendidikan dalam negara Khilafah berorientasi untuk membentuk kepribadian Islam serta membekali rakyat dengan sains dan pengetahuan yang terkait dengan kehidupan. Karena itu metode pendidikannya disusun untuk bisa mewujudkan tujuan ini.

  1. Melindungi negara dari makar yang menghancurkan negara, mencegah intervensi asing dalam berbagai bentuknya

Khilafah wajib menghadapi semua itu dengan tegas. Selain mengaktifkan jaringan intelijen negara yang didukung oleh umat, Khilafah dapat menjatuhkan sanksi ta‘zîr yang keras. Individu atau kelompok mana pun yang menjadi agen asing yang menyerukan ide kafir seperti sekularisme dan nasionalisme dapat dijatuhi hukuman mati dan setelah itu jenazahnya disalib di pinggir jalan.

  1. Mensejahterakan rakyat

Kecemburuan sosial-ekonomi dapat memicu konflik atau perselisihan sebagai akibat kebijakan memprioritaskan kelompok, golongan, suku, atau ras tertentu di atas yang lain tanpa alasan syar‘i.  Mengatasi masalah ini, Khilafah wajib berbuat adil tanpa mengutamakan satu kelompok, golongan, ras, atau suku tertentu atas yang lain. Sebab, tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab, kecuali atas dasar takwa. Khilafah pun wajib melakukan distribusi kekayaan secara adil kepada seluruh individu masyarakat. Khilafah mengambil berbagai kebijakan ekonomi dalam bidang perdagangan, jasa, pertanian, dan sebagainya agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja.

  1. Mengkoreksi penguasa zalim

Mengoreksi penguasa adalah fardhu kifayah. Bahkan menurut Ibnu Taimiyah, fardhu kifayah (kewajiban bersama) ini bisa berubah menjadi fardhu ‘ain (kewajiban setiap orang), yaitu bagi orang yang mampu untuk melakukan dan mengubahnya. Pengingkaran dan pengubahan itu harus dilakukan dengan lisan saja, bukan dengan kekerasan dan mengangkat senjata. Sebab, begitulah yang dipahami dari dalil-dalil yang menjadi dasar kewajiban melakukan kontrol dan koreksi terhadap penguasa. Apalagi terdapat hadis yang justru mengharamkan aktivitas mengangkat senjata terhadap penguasa kecuali dalam satu kondisi, yaitu ketika terjadi kekufuran secara nyata (kufr[an] bawâh[an]) yang dilakukan oleh penguasa. Perlu diingat, kewajiban mengoreksi penguasa ini sama sekali tidak bertentangan dengan kewajiban menaati penguasa. Sebab, kewajiban menaati penguasa itu hanya dalam hal yang baik saja. Karena itu jika penguasa menyimpang dari ketentuan syariah maka tidak ada ketaatan bagi dia. Justru umat bermaksiat kepada Allah jika menaati penguasa yang menyimpang.

Oleh karena itu, untuk menyelamatkan bangsa dan negara ini dari ancaman dan musuh yang nyata. Caranya tidak lain hanyadengan terus berjuang bersama umat untuk menegakkan syariah secara kâffah di bawah naungan Khilafah. Mengapa syariah dan Khilafah? Karena kita yakin, syariahlah yang akan menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan akibat penerapan sistem sekular dan liberal selama ini. Adapun Khilafah akan menghentikan ancaman neoimperialisme yang kini tengah menimpa negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia, yang dilakukan oleh negara adikuasa, terutama AS.

Alhasil, mari kita terus berjuang untuk melawan musuh negara ini, yakni sekularisme serta neoliberalisme dan neoimperialisme. Itulah ancaman nyata terhadap bangsa dan negara ini sekaligus lawan yang harus disingkirkan. Mari kita terus berjuang untuk menegakkan syariah dan Khilafah. Inilah yang akan sungguh-sungguh menyelamatkan bangsa dan negara ini. Ini pula wujud bela negara yang sesungguhnya. Allahu a’lam bi ash-shawwab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version