View Full Version
Rabu, 09 Nov 2016

Menyoal Balik Para Pejuang Pimpinan Beda Agama Terkait QS Al Maidah:51 dan MUI (Bagian 3-Selesai)

 

Oleh: Zaqy Dafa (Pemerhati Pemikiran Islam)

Lembaga Fatwa Mesir Bolehkan Pimpinan Beda Agama

Ini merupakan argumen yang disebutkan oleh salah satu pejuang pimpinan beda agama, setelah ia mengaku bertanya kepada lembaga fatwa Mesir (tanpa menyebutkan secara jelas nama lembaganya) tentang masalah kepemimpinan non-Muslim terhadap kaum Muslimin. Dalam pengakuannya ia mengatakan:

“Untuk menjawab polemik ini, beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 14 Oktober 2016, akun twitter intelektual  Zuhairi Misrawi mengunggah potongan gambar berisi istifta (permonohan fatwa) seseorang dari Indonesia kepada Lembaga Fatwa Mesir. Permohonan fatwa ini dilayangkan pada 12 Oktober 2016.

Isi pertanyaannya: “Apa hukum pencalonan non Muslim untuk jabatan gubernur di daerah yang mayoritasnya berpenduduk Muslim tetapi negara memiliki sistem demokratis yang membolehkan semua warganegara, Muslim ataupun non Muslim, untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum secara langsung? Apa pendapat fiqih terhadap status gubernur maupun anggota parlemen seperti dalam khazanah fiqih Islam?”

Dalam surat jawaban bernomor 983348 atas istifta (permohonan fatwa) tersebut, Lembaga Fatwa Mesir berfatwa: “Konsep penguasa/pemegang wewenang (al-hakim) dalam negara modern telah berubah. Dia sudah menjadi bagian dari lembaga dan pranata (seperti undang-undang dasar, peraturan perundang-undangan, eksekutif, legislatif, yudikatif) yang ada, sehingga orang yang duduk di pucuk pimpinan lembaga dan institusi seperti raja, presiden, kaisar atau sejenisnya tidak lagi dapat melanggar seluruh aturan dan undang-undang yang ada. Maka itu, pemegang jabatan dalam situasi seperti ini lebih mirip dengan pegawai yang dibatasi oleh kompetensi dan kewenangan tertentu yang diatur dalam sistem tersebut. Pemilihan orang ini dari kalangan Muslim maupun non Muslim, laki-laki maupun perempuan, tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariah Islam, karena penguasa/pimpinan ini telah menjadi bagian dari badan hukum (syakhsh i’itibari/rechtspersoon) dan bukan manusia pribadi (syakhsh thabi’i/natuurlijke persoon).” (islamindonesia.id)

Dari keterangan di atas, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Catatan pertama, dalam berbagai literatur kitab salaf banyak sekali keterangan ulama yang melarang pengangkatan non-Muslim sebagai pemimpin kaum Muslimin baik kekuasaan universal, regional, maupun sektoral.

Pakar hukum Fiqh Syafi’I al-Mawardi menegaskan bahwa jabatan kementerian atau wazir harus diisi oleh orang yang memenuhi syarat Imam A’zham kecuali syarat dari Quraisy, sehingga memasukkan syarat harus Muslim. (Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 41) Selain itu, al-imarah al-khasshah atau kekuasaan yang mengurusi kewenangan tertentu baik regional maupun sektoral juga disyaratkan harus Muslim dan merdeka. (Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 54)

Al-Nawawi juga mengatakan bahwa mengangkat pejabat penarik iuran wajib dari non-Muslim jika ditujukan untuk masyarakat Muslim hukumnya tidak boleh. (Muhammad Syaraf al-Nawawi, Raudlah al-Thalibin, juz 6 hlm. 367)

Melihat keterangan ulama salaf diatas, maka aneh jika pejuang pimpinan beda agama diatas mengaku bahwa lembaga fatwa Mesir bersikap kontras dengan ulama-ulama pendahulunya. Meski seumpama memang faktanya demikian, maka fatwa tersebut berseberangan dengan keterangan ulama salaf.

Catatan kedua, setelah fatwa yang disebutkan oleh Zuhairi Misrawi diatas menjadi viral di media sosial, banyak pula yang memberikan kritik atas fatwa tersebut, diantaranya adalah situs www.albayan.co.uk. (www.albayan.co.uk/Mobile/Article2.aspx?id=1531) Dalam situs majalah Islam ternama di Arab Saudi pimpinan Ahmad bin Abdurrahman al-Shawayan tersebut dimuat sebuah tulisan berjudul Hukm I’tha al-Muslim Shautahu al-Intikhabiy li Ghair al-Muslim (Hukum Muslim Memberikan Suaranya saat Pemilu kepada Non-Muslim), yang isinya mengkritik pernyataan tentang kebolehan memilih non-Muslim memegang jabatan dalam pemerintahan sistem parlementer negara Islam. Tulisan ini dimuat pada hari Ahad 22 Muharram 1438 H atau 23 Oktober 2016 M, satu minggu setelah tulisan dari Zuhairi Misrawi tersebut dilayangkan.

Artikel tersebut mengawali pembahasan dengan mengkritik analisa tentang status anggota parlemen sebagai wakil karena tidak sesuai dengan kaidah-kaidah perwakilan dalam kitab-kitab Fiqh. Pertama, anggota parlemen tersebut merupakan wakil dari seluruh rakyat suatu negara, bukan hanya wakil dari orang-orang yang memilihnya. Lalu bagaimana dia menjadi berstatus wakil dari orang-orang yang tidak memberikan suara kepadanya? Hal ini menjadikan statusnya sebagai wakil dalam Fiqh menjadi janggal.

...berbagai alasan dan argumentasi yang disodorkan oleh para pejuang pimpinan beda agama untuk mendiskreditkan dan mementahkan fatwa MUI terhadap Basuki Tjahaya Purnama hanyalah menjadi buih dan sarat dengan pembohongan serta penyelewengan dalil

Kedua, anggota pemerintahan parlementer setelah menjadi anggota di dalamnya tidak dapat mengundurkan diri dari sesuai kehendaknya sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan hak seorang wakil yang dapat mengundurkan diri dari apa yang diwakilkan kepada dirinya kapanpun dia mau. Dua hal ini menjadi posisinya sebagai wakil menjadi tidak tepat, akan tetapi jika ditinjau dari kewenangannya menduduki posisi di parlemen berdasarkan suara para pendukungnya maka status wakilnya dapat dikatakan sebagai wakalah naqishah (wakil yang tidak sempurna).

Ketiga, pemerintahan parlementer memiliki wewenang untuk mengawasi dan mengangkat pemerintahan eksekutif, sehingga mereka bertindak sebagai ahlul halli wal ‘aqdi yang bertindak sebagai pengawal berbagai kekuasaan eksekutif dan memiliki kekuasaan penuh dalam menjalankan roda pemerintahan, dimana non-Muslim tidak memiliki wewenang menjabat kekuasaan tersebut.

Keempat, anggota parlemen juga memiliki wewenang membuat serta melaksanakan undang-undang dan kebijakan dimana dalam negara yang mayoritas umatnya adalah Muslim harus selalu sesuai dengan Syari’ah Islam. Adapun non-Muslim tidak memiliki kecakapan dalam memahami agama Islam, sehingga tidak patut menduduki jabatan di pemerintahan ini.

Karena posisi dan tugas pemerintahan yang sangat krusial bagi masyarakat khususnya umat Islam ini, maka posisi ini tidak boleh diberikan kepada non-Muslim seperti halnya tidak boleh diberikan kepada Muslim yang tidak memiliki integritas keislaman yang kuat. (selengkapnya lihat link berikut: www.albayan.co.uk/Mobile/Article2.aspx?id=1531)

Dari beberapa argumentasi diatas, maka kebolehan mengangkat non-Muslim sebagai pimpinan umat Islam adalah pendapat yang lemah dan tidak memahami seberapa pentingnya posisi politik sebagai penentu kehidupan masyarakat.

 

Ibn Taimiyah: Non-Muslim Adil Lebih Baik daripada Muslim Zalim (?)

Untuk mendukung pendapatnya, pejuang pimpinan beda agama seringkali mengangkat berbagai pernyataan ulama yang kemudian dimaknai sesuai keinginannya. Termasuk yang seringkali dikutip adalah pendapat Ibn Taimiyyah:

فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَتَنَازَعُوا فِي أَنَّ عَاقِبَةَ الظُّلْمِ وَخِيمَةٌ وَعَاقِبَةُ الْعَدْلِ كَرِيمَةٌ وَلِهَذَا يُرْوَى : ” اللَّهُ يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً وَلَا يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُؤْمِنَةً ”

"Sesungguhnya manusia telah sepakat bahwa akibat (atau efek) sikap zhalim adalah kebinasaan dan akibat sikap adil adalah kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa Allah akan menolong negara yang adil meski ia kafir dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski ia mukmin."

Dengan demikian, spirit Islam adalah keadilan, dan lawannya adalah kezhaliman. Kalau ada orang yang adil (mampu berbuat adil dan menegakkan keadilan) ya kita dukung meskipun dia bukan Muslim dan Allah akan menolong orang yang adil tersebut. (MusliModerat.Com)

Pernyataan Ibn Taimiyah ini berasal dari kitab beliau Majmu’ Fatawa (juz 8 hlm. 63-64, shamela ishdar 3.15). Akan tetapi, makna dari pernyataan tersebut jika diteliti lebih lanjut sangat berbeda dengan yang disebutkan oleh pejuang pimpinan beda agama diatas. Kutipan ucapan Ibn Taimiyyah tersebut adalah sebagai berikut:

وَكُلُّ بَنِي آدَمَ لَا تَتِمُّ مَصْلَحَتُهُمْ لَا فِي الدُّنْيَا وَلَا فِي الْآخِرَةِ إلَّا بِالِاجْتِمَاعِ وَالتَّعَاوُنِ وَالتَّنَاصُرِ فَالتَّعَاوُنُ وَالتَّنَاصُرُ عَلَى جَلْبِ مَنَافِعِهِمْ ؛ وَالتَّنَاصُرُ لِدَفْعِ مَضَارِّهِمْ ؛ وَلِهَذَا يُقَالُ : الْإِنْسَانُ مَدَنِيٌّ بِالطَّبْعِ . فَإِذَا اجْتَمَعُوا فَلَا بُدَّ لَهُمْ مِنْ أُمُورٍ يَفْعَلُونَهَا يَجْتَلِبُونَ بِهَا الْمَصْلَحَةَ . وَأُمُورٍ يَجْتَنِبُونَهَا لِمَا فِيهَا مِنْ الْمَفْسَدَةِ ؛ وَيَكُونُونَ مُطِيعِينَ لِلْآمِرِ بِتِلْكَ الْمَقَاصِدِ وَالنَّاهِي عَنْ تِلْكَ الْمَفَاسِدِ فَجَمِيعُ بَنِي آدَمَ لَا بُدَّ لَهُمْ مِنْ طَاعَةِ آمِرٍ وَنَاهٍ......... وَلَكِنَّ الْجَزَاءَ فِي الدُّنْيَا مُتَّفِقٌ عَلَيْهِ أَهْلُ الْأَرْضِ . فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَتَنَازَعُوا فِي أَنَّ عَاقِبَةَ الظُّلْمِ وَخِيمَةٌ وَعَاقِبَةُ الْعَدْلِ كَرِيمَةٌ وَلِهَذَا يُرْوَى : " { اللَّهُ يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الْعَادِلَةَ وَإِنْ كَانَتْ كَافِرَةً وَلَا يَنْصُرُ الدَّوْلَةَ الظَّالِمَةَ وَإِنْ كَانَتْ مُؤْمِنَةً } " (مجموع الفتاوى - 28 / 63-64)

“Seluruh manusia tidak dapat sempurna kemaslahatannya di dunia maupun di akhirat kecuali dengan persatuan, kerjasama, dan tolong-menolong. Saling kerjasama dalam mencapai berbagai kemanfaatan, dan saling tolong-menolong dalam menghadapi berbagai bahaya. Karena itu, dikatakan bahwa manusia dapat maju peradabannya secara alami. Jika manusia bermasyarakat maka mereka harus melakukan berbagai usaha untuk mencapai kemajuan dan menolak kemudharatan, serta harus patuh terhadap orang yang memerintahkan untuk mencapai kemajuan dan mencegah dari bahaya tersebut. Karena itulah, maka manusia harus patuh terhadap pimpinan yang memberikan perintah dan larangan….. Akan tetapi balasan di dunia diakui adanya oleh seluruh penduduk bumi. Semua manusia tidak menyangkal bahwa akibat kezaliman adalah kemunduran, sedangkan akibat keadilan adalah kemuliaan. Karena itu dikatakan bahwa Allah menolong negara yang adil meski kafir dan tidak menolong negara zalim meski Mu’min.” (Ibn Taimiyah, Majmu’ Fatawa, juz 28 hlm. 63-64)

Jika dilihat pernyataan Ibn Taimiyah diatas, maka terlihat bahwa tema yang beliau bahas adalah ketaatan dan sikap kooperatif terhadap pemimpin, bukan masalah kepemimpinan non-Muslim. Beliau mengakui ketaatan terhadap pemimpin merupakan modal utama kemajuan suatu bangsa, tanpa melihat status negara tersebut Islam atau kafir. Namun dalam hal ini, tidak ada yang menyebutkan bahwa Ibn Taimiyah memerintahkan Muslim untuk memilih non-Muslim sebagai pimpinan umat Islam.

Namun yang perlu diperhatikan, bahwa Ibn Taimiyyah juga menyatakan bahwa pengangkatan pemimpin ditujukan untuk menjadi jalan umat Islam melakukan amar ma’ruf nahi munkar, jihad, serta penegakan hukum-hukum had. Menurutnya, agama dan dunia tidak dapat berjalan kecuali dengan ada pemerintahan. (al-Siyasah al-Syari’yyah, hlm. 168). Tentu semua ini secara faktual dari dulu sampai sekarang tidak akan pernah terwujud kecuali jika kepemimpinan umat Islam dipegang oleh orang Islam juga. Oleh karena itu, jika disimpulkan bahwa Ibn Taimiyyah membolehkan umat Islam dipimpin oleh non-Muslim akan menjadi sangat janggal, terlebih lagi melihat sosok Ibn Taimiyyah yang jauh lebih radikal dalam masalah kekafiran dibanding ulama-ulama al-madzahib al-arba’ah.

 

Ikhtitam

Dari beberapa pemaparan diatas, dapat ditarik kesimpulan besar bahwa berbagai alasan dan argumentasi yang disodorkan oleh para pejuang pimpinan beda agama untuk mendiskreditkan dan mementahkan fatwa MUI terhadap Basuki Tjahaya Purnama hanyalah menjadi buih dan sarat dengan pembohongan serta penyelewengan dalil. Karena itu, berkali-kali penulis sampaikan bahwa jangan mudah terbujuk dan tertipu dengan alasan-alasan manis yang dibuat-buat oleh para pejuang pimpinan beda agama, selama mereka tidak kapok untuk menentang ajaran ulama Islam Salafusshalih dan menjerumuskan umat Islam kedalam kebodohan.

Karena begitu maraknya kejahatan yang dilakukan oleh para penjahat dalil inilah, maka masyarakat sudah seharusnya waspada dan segera bertindak serta melapor kepada ulama ketika timbul kasus munculnya hukum-hukum aneh semacam ini. Ingatlah, rasa sakit dan pedih karena memperjuangkan ajaran yang benar lebih mudah pertanggungjawabannya di hadapan Allah Ta’ala daripada gelimang harta yang didapat dari menjual agama. WaLlahu A’lam. Selesai. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version