View Full Version
Kamis, 27 Apr 2017

Putusan Progresif Majelis Hukum (Kasus Basuki T. Purnama)

Oleh: DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.

(Pengurus Komisi Kumdang MUI, Doktor Hukum Ketahanan Nasional UNS - Akademisi UNKRIS) 

Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara khusus dan tegas telah memberikan dasar konstitusional yang sangat kuat bagi kekuasaan Kehakiman untuk melakukan fungsi peradilannya. Kekuasaan Kehakiman ditegaskan sebagai kekuasaan yang merdeka dengan tujuan khusus dan utama menegakkan hukum dan keadilan.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 5 ayat (1) menegaskan “Hakim … wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Pada dasarnya, independensi kekuasaan Kehakiman tidak semata-mata independensi kelembagaan, tetapi juga independensi personal hakim.

Independensi hakim adalah kondisi dimana para hakim bebas dari pengaruh apalagi tekanan lingkungannya dan mengadili suatu perkara hanya berdasarkan fakta yang terbukti di pengadilan dan berdasarkan hukum. Jadi, independensi dalam rumusan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 apabila dihubungkan dengan penyelenggaraan peradilan, maka pengertiannya bukan pada kelembagaan, tetapi pada fungsi utama lembaga peradilan di tengah masyarakat, yaitu pemutus suatu perkara hukum. Karena itu, kalimat berikutnya dalam pasal konstitusi tersebut adalah “berdasarkan hukum dan keadilan”.

 

Kasus Basuki T. Purnama Alias Ahok

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin “impartiality” dan “fairness” dalam memutus perkara, termasuk perkara penodaan agama (in casu Basuki T. Purnama). Perkara penodaan agama merupakan kejahatan yang sangat membahayakan kondusifitas Keamanan Dalam Negeri (KAMDAGRI). Tepatlah norma hukum Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dimasukkan ke dalam Bab V mengenai “Kejahatan terhadap Ketertiban Umum.”

Tindak pidana penodaan agama sebagaimana yang dirumuskan pada Pasal 156a huruf a KUHP merupakan tindak pidana yang ditujukan terhadap agama (againts), maksudnya adalah benar-benar membahayakan kepentingan agama dan yang diserang secara lansung. Di sini perbuatan maupun pernyataannya sengaja ditujukan langsung kepada agama. Dapat dimengerti bahwa kepentingan “rasa keagamaan” menjadi suatu hal penting untuk dilindungi.

Pada perkara penodaan agama yang didakwakan kepada Basuki T. Purnama, maka hakim harus cermat dalam memberikan putusan, tidak saja mememuhi rasa keadilan masyarakat, namun harus pula mengedepankan kepatutan, kepentingan umum, dan ketertiban umum. Kita ketahui bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum dengan pidana 1 (satu) tahun dengan masa percobaan selama 2 (dua) tahun sangat jauh dari rasa keadilan masyarakat, dan bahkan berpotensi menimbulkan ancaman terhadap pemeliharaan KAMDAGRI. Jika, tuntutan JPU dan pledoi Basuki T. Purnama dikabulkan oleh Majelis Hakim, maka akan terjadi perlawanan non-yuridis dari masyarakat luas, kegaduhan-kegaduhan baru tidak dapat dielakkan.

Masyarakat akan semakin tidak mempercayai hukum dan penegakan hukum. Di sisi lain, akan tumbuh subur penodaan terhadap agama, disebabkan praktik hukum yang tidak berjalan dengan prima. Hukuman ringan apalagi bebas terhadap pelaku penodaan agama sangat bertentangan dengan makna filosofis perlindungan agama.

Terkait dengan tuntutan JPU, penulis berpendapat seyogyanya Majelis Hakim mampu mengambil posisi yang responsif dan menjatuhkan hukuman dengan progresif. Paradigma hukum progresif sebagaimana diusung oleh almarhun Prof. Satjipto Rahardjo sangat relevan dalam peranan hakim disaat akan memberikan putusan. Hukum progresif menekankan pada kemampuan berpikir kontemporer atau postmodernis, mengeser paradigma hukum yang sangatpositivistik. Bagi para penganut hukum progresif, hukum bukanlah sekedar logika semata,  tetapi lebih daripada itu “hukum merupakan ilmu sebenarnya” (genuinescience).

Kasus Basuki T. Purnama harus dipahami secara holistik bukan parsial. Bukan antara Basuki T. Purnama dengan Majelis Ulama Indonesia dan/atau salah satu Ormas Islam. Kasus ini sangat terkait dengan jaminan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penegakan hukum terhadap pelaku penodaan agama merupakan satu kesatuan dengan menegakkan hukum itu sendiri. Hal ini selaras dengan teori yang memandang “rasa keagamaan” sebagai kepentingan-kepentingan hukum yang harus dilindungi (gefuhlsschutz theorie). Ketika perlindungan terhadap kepentingan agama dicederai, maka itu sama artinya dengan mencederai konsepsi negara hukum dan pada akhirnya mengancam keutuhan bangsa dan negara.

Oleh karena itu, sangat diharapkan Majelis Hakim bersikap progresif dalam memutuskan perkara aquo, diwujudkan dengan menjatuhkan hukuman di atas tuntutan JPU. Dalam sejarah penegakan hukum terhadap perkara penodaan agama, tidak pernah ditemui adanya tuntutan selama 1 (satu) tahun, apalagi dengan percobaan.  JPU telah keliru menuntut dengan percobaan, karena berada diluar kewenangannya (ultra vires). Kewenangan memutus pidana bersyarat (percobaan) menurut Pasal 14a dan seterusnya dalam KUHP adalah mutlak wewenang hakim, bukan JPU.

Dalam sistem peradilan pidana, hakim diperbolehkan membuat Putusan ultra petita, hal ini didasarkan pada prinsip kebebasan hakim yang ada di dalam Pasal 24 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Argumentasi yuridis penerapan putusan ultra petita itu adalah akibat dari ketidaktepatan dan ketidakcermatan JPU dalam merumuskan Surat Tuntutannya.

Sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan, seharusnya JPU menuntut dengan mendasarkan dakwaan alternatif kesatu, yakni Pasal 156a huruf a KUHP, bukan sebaliknya dengan alternatif kedua (Pasal 156 KUHP). Substansi perbuatan pidana lebih mengarah kepada adanya penghinaan kepada Surah Al-Maidah ayat 51 yang oleh terdakwa dijadikan sebagai “sumber kebohongan”, atau setidak-tidaknya digunakan sebagai “alat untuk membohongi dan membodohi” umat Islam, pada khususnya di Kepulauan Seribu.

Semua alat bukti yang dihadirkan di persidangan sejatinya telah memperkuat dakwaan. Ketika pembacaan tuntutan, JPU tidak sama sekali memperkuat, dan justru memperlemah dakwaan alternatif pertama. Hal inilah yang menjadi keyakinan penulis, pada akhirnya Majelis Hakim yang mulia akan menyatakan bahwa dakwaan alternatif kedua dinyatakan secara sah dan meyakinkan tidak terbukti, dan menyatakan secara sah dan meyakinkan dakwaan alternatif pertama terbukti.

Terbukti baik perbuatan maupun kesalahannya dengan tiada alasan penghapus pertanggungjawaban pidana. Tuntutan JPU tidak lagi mengikat Majelis Hakim, karena Jaksa telah ‘salah menerapkan hukum’, oleh karenanya akan ada peningkatan terhadap hukuman yang dijatuhkan. Semoga. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version