View Full Version
Kamis, 22 Feb 2018

Politik Ibadah vs Politisasi Ibadah

Oleh: Ragil Rahayu Wilujeng, SE

Ibadah adalah tujuan penciptaan manusia. Sebagaimana firman Allah swt dal QS adz Dzariyat : 56 yang artinya, "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." Ibadah mewujud dalam dua dimensi yaitu ibadah ritual (mahdhah) dan non ritual (ghairu mahdhah). Ibadah ritual meliputi shalat, puasa, zakat, haji, tilawah al Qur'an, berdzikir, berkurban, dan bershalawat Nabi. Sedangkan ibadah non ritual meliputi semua pelaksanaan syariat Islam di bidang muamalah dan ukubat.

Ibadah harus ikhlas dan benar. Ikhlas maknanya diniatkan lillahi ta'ala. Sedangkan benar artinya sesuai tuntunan syariat. Meski ibadah harus ikhlas, negara berwenang memberi sanksi bagi orang yang meninggalkan ibadah. Karena meninggalkan ibadah adalah tindakan kriminal (jarimah). Khalifah Abu Bakar ra memerangi orang yang tidak mau membayar zakat, hingga mereka kembali taat. Jadi terealisasinya ibadah membutuhkan pengaturan oleh negara. Inilah politik, pengaturan urusan rakyat (ri'ayah syu'un al ummah). Maka ibadah membutuhkan politik ibadah.

Apa itu politik ibadah? Yaitu pengaturan oleh negara untuk memfasilitasi rakyatnya menyembah Allah Rabbul alamin. Politik ibadah tak melulu tentang penyediaan masjid, wakaf Al Qur'an atau penentuan Ongkos Naik Haji (ONH). Politik ibadah meliputi multi dimensi yang menyokong seseorang beribadah, yaitu :

1. Ilmu.

Negara memberlakukan sistem pendidikan Islam kaffah yang mengajarkan tujuan hidup adalah meraih ridha Allah swt dengan beribadah. Juga pembentukan aqidah yang kokoh sehingga bisa membentuk kesadaran rakyat untuk beribadah, tanpa perlu dipaksa-paksa. Kurikulum juga mencakup syariat/fiqh ibadah. Apa itu taharah, macam air, macam najis, anggota wudhu, batasan aurat, syarat dan rukun ibadah, dalil yang melandasi, azab Allah swt yang menolak ibadah, dll.

Penyediaan ilmu ibadah ini tak cukup di sekolah, tapi juga di tengah masyarakat. Sehingga rakyat yang bukan usia sekolah tetap bisa memperoleh ilmu ibadah. Negara harus membuat program pengiriman ulama yang keliling dari masjid ke masjid untuk berdakwah mengajarkan ibadah. Negara juga butuh menyediakan sumber literasi untuk ibadah. Perpustakaan diisi dengan buku ibadah dari beragam madzhab. Ilmu ibadah ini juga harus bisa dijangkau semua rakyat,  baik kaya ataupun miskin. Maka politik ibadah juga meliputi penggratisan pendidikan,  namun dengan kualitas yang tidak "level gratisan".

2. Panduan Ibadah.

Negara harus membuat qanun (UU)  terkait ibadah. Yang memuat ketetapan terkait ibadah. Namun rakyat tidak boleh dipaksa bertaqlid pada imam tertentu. Negara tidak membatasi rakyat harus ikut madzhab tertentu,  karena akan membebani. Qanun ini juga berisi sanksi bagi orang yang tidak mau beribadah wajib, juga mekanisme menyisir ajaran yang menyimpang dari syariah.

3. Ekonomi yang menyejahterakan.

Kefakiran dekat dengan kekufuran. Maka rakyat harus disejahterakan perekonomiannya. Langkah utama mewujudkan kesejahteraan adalah menerapkan sistem ekonomi Islam. Sistem ini mengembalikan sumber daya alam pada pengelolaan negara, bukan swasta, apalagi asing. Sistem ini juga memberantas praktik curang dalam ekonomi seperti adanya mafia komoditas tertentu, penimbunan, monopoli, persaingan tidak sehat,  dll.

...terealisasinya ibadah membutuhkan pengaturan oleh negara. Inilah politik, pengaturan urusan rakyat (ri'ayah syu'un al ummah). Maka ibadah membutuhkan politik ibadah...

4. Fasilitas dan infrastruktur.

Ibadah membutuhkan fasilitas dan infrastruktur. Meliputi pembangunan masjid, Islamic Center,  jaringan air untuk bersuci, jaringan listrik, akses jalan yang memadai, alat komunikasi, observatorium yang canggih, dll. Juga penyediaan tenaga marbot, muadzin, imam dan khatib yang dibiayai negara dan memenuhi standard kelayakan. Juga fasilitas bagi kaum difabel,  termasuk Al Quran braile. Maka pembangunan infrastruktur negara harus berorientasi ibadah, bukan berorientasi kepentingan asing.

5. Teladan penguasa.

Percuma rakyat diuber-uber disuruh sholat, jika pemimpinnya juga jarang sholat. Maka teladan penguasa adalah elemen penting membentuk kebiasaan taat ibadah. Kepala negara adalah imam negara dan sekaligus imam shalat. Para khalifah dalam sejarah peradaban Islam selalu mengimami rakyatnya.

Demikianlah politik ibadah, yaitu pengaturan negara agar semua rakyatnya bisa ibadah. Ternyata politik ibadah bersifat multidimensi, mencakup pelaksanaan sistem ekonomi Islam,  sistem hukum Islam, sistem keuangan publik Islam, sistem tata kota Islam,  dll. Politik ibadah membutuhkan penerapan syariah secara kaffah.

Politik ibadah berbeda secara diametral dengan politisasi ibadah. Politisasi ibadah adalah tindakan negara/individu memperoleh keuntungan politik dari ibadah. Misalnya menggunakan dana haji untuk pembangunan infrastruktur. Juga pemotongan  zakat profesi ASN demi pengentasan kemiskinan.

Di sisi lain negara mengatur ekonomi dengan cara kapitalis sehingga menghasilkan kemiskinan struktural. Lalu dana zakat dijadikan "sabun cuci piring" untuk menyelesaikan problem kemiskinan yang sudah parah. Aksi para politisi yang berubah agamis jelang pemilihan juga merupakan politisasi ibadah. Ibadah tidak dijadikan tujuan, tapi alat untuk meraih keuntungan pribadi.

Politik ibadah mutlak dibutuhkan. Sementara politisasi ibadah adalah kesalahan. Tak boleh dilakukan. Seharusnya ibadah menjadi tujuan, bukan tunggangan untuk kepentingan pribadi. Bagi rakyat jangan tertipu politisasi ibadah, tapi wujudkanlah politik ibadah. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version