View Full Version
Selasa, 10 Apr 2018

Feminisme: Antara Kebutuhan dan Eksploitasi

Oleh: Ranita Shafiyyah

Ada beberapa peristiwa penting yang senantiasa diperingati di bulan Maret. Di tanggal 3 Maret, para aktivis Islam giat memperingati runtuhnya Khilafah, institusi negara berasaskan Islam yang dibubarkan sepihak oleh Kamal Attaturk pada 3 Maret 1924.

Namun ada yang berbeda pada 3 Maret tahun ini. Di 12 kota di Indonesia, ribuan perempuan meramaikan Women's March, Pawai perempuan dalam rangka memperingati hari perempuan internasional yang jatuh setiap 8 Maret.

Women's March yang dilaksanakan di Indonesia bertajuk #LawanBersama ini menyoroti isu kekerasan pada perempuan (femicide), penolakan RKUHP pasal perzinahan, termasuk pengakuan eksistensi LGBTQ di Indonesia (bbc.com).

Women's March lahir pada 2017 di Amerika sebagai reaksi atas terpilihnya Trump sebagai presiden. Di Indonesia, meski mengaku bukan sebuah organisasi terstruktur, gerakan Women's March ini tetaplah terstruktur.

Terbukti dengan dilibatkannya komunitas-komunitas feminis dan LGBTQ dalam aksi serentak di 12 kota di Indonesia. Isu-isu yang disuarakan Women's March Indonesia juga sama seperti yang disuarakan feminis biasanya, yakni kesetaraan dan penghapusan kekerasan berbasis gender.

 

Dari Barat Menuju Negeri Islam

Feminisme lahir karena adanya tuntutan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan di bidang sosial, ekonomi, politik. Lahir pada akhir abad ke 18 dan berkembang pesat di abad 20. Meski tokoh-tokoh feminis awalnya berasal dari Amerika dan Eropa, namun pada akhirnya kalangan muslimah turut menjadi bagiannya, seperti Fatimah Mernissi dan Aminah Waddud.

Kelahiran Feminisme di dunia Barat  wajar terjadi. Barat dalam sistem politik dan pemerintahannya menganut asas sekulerisme, dimana kehidupan publik harus terpisah dari agama. Karena asas inilah produk hukum publik yang lahir akan bebas dari agama.

Undang-Undang lahir dari kesepakatan wakil rakyat yang duduk di kursi legislatif. Siapa yang duduk di pemerintahan, mereka itulah yang menentukan nasib manusia lainnya. Logisnya, jika laki-laki yang membuat dan melegislasi UU, maka produk hukum tersebut akan lebih menguntungkan laki-laki dibandingkan perempuan.

Hal inilah yang mendorong para feminis untuk mendapat persamaan hak bagi perempuan untuk dipilih sebagai wakil rakyat atau presiden. Mereka berharap, semakin banyaknya wakil perempuan di parlemen akan membuat suara mereka lebih didengar.

Menjelang keruntuhan Khilafah Utsmani, sekulerisme ikut menjangkiti negeri-negeri Islam. Kaum muslim yang saat itu silau akan peradaban barat yang semakin maju di bidang sains setelah revolusi industri, menganggap eksistensi Khilafah tak lagi penting. Setelah Khilafah benar-benar runtuh, sekulerisme secara masif dipromosikan hingga akhirnya diadopsi di negeri-negeri muslim, tak terkecuali Indonesia.

Karena hukum dan UU dibuat oleh sekelompok manusia yang lemah, terbatas dan bias kepentingan yang mengatasnamakan wakil rakyat, wajar jika banyak produk hukum atau UU yang menguntungkan sekelompok manusia dan merugikan kelompok manusia yang lain.

 

Islam Mengeksploitasi Perempuan?

Meski feminisme lahir saat Islam dijauhkan dari politik, namun anehnya Islam seringkali dijadikan tertuduh atas ketidakadilan yang menimpa perempuan di negeri-negeri muslim. Ketika ada TKW yang mengalami kekerasan seksual oleh majikan di Arab Saudi, Islam dituding sebagai biang kesalahan. Padahal Arab Saudi dan Negara Timur Tengah lain bukanlah negara Islam.

Di sana, Islam tak dijadikan asas bernegara. Jilbab dan kerudung dituding sebagai simbol pengekangan perempuan. Padahal dengan jilbab dan kerudung, perempuan bebas keluar rumah tanpa khawatir pandangan syahwat laki-laki hidung belang atau bahkan pandangan perempuan dengan orientasi seksual menyimpang.

Barat dengan standar gandanya, terbiasa memainkan strategi blame the victim. Islam dipersalahkan atas ketidakadilan yang menimpa perempuan. Padahal, kaum perempuan saat ini mengalami permasalahan kompleks karena Islam tidak diterapkan sebagai sistem bernegara. Sistem ekonomi liberal misalnya, membuat ekonomi masyarakat kian timpang.

Perempuan terpaksa bekerja keluar rumah bekerja agar kebutuhan hidup terpenuhi. Di satu sisi, kedekatan dengan keluarga terganggu karena frekuensi bertemu suami-istri-anak dengan berbenturan dengan tingginya jam kerja hingga berujung pada permasalahan keluarga dan kenakalan remaja.

Sistem pergaulan yang permisif-hedonis saat ini juga membahayakan perempuan dan anak. Perempuan dan anak diperkosa karena rangsangan film porno yang ditonton pelaku. Kasus yang belakangan marak, para istri terjangkit HIV/AIDS karena suaminya "jajan" dengan pelacur atau gay.

Fakta lainnya, lowongan pekerjaan seringkali mensyaratkan penampilan menarik bagi calon karyawan. Seseorang direkrut bukan karena intelektualitas dan kapabilitasnya, namun karena sisi seksualitasnya.

Jika demikian, untuk apa perjuangan feminisme ini? Agar para perempuan tak dieksploitasi, atau justru menjadikan perempuan sebagai korban eksploitasi berkelanjutan? Anda tentu bisa menjawabnya. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version